Selasa, 31 Januari 2012

Pawang Hujan


“Kalau memang setiap manusia bisa memilih, kenapa aku tak bisa memilih untuk berada di sisimu?”
           
Kau masih duduk di situ, di beranda rumahmu. Dengan wajah tak sabaran kau menanti-nanti. Aku bertanya, ‘Apakah aku yang kau tunggu?’ Tapi aku tahu itu adalah hal yang tak mungkin.
            Lalu hujan turun. Awalnya hanya rintik, tapi kemudian berubah menjadi deras. Raut wajahmu kini berubah menjadi masam. Aku tahu bahwa kau tak membenci hujan, kau malah menyukainya karena kau bisa melihat pelangi setelah hujan reda. Tapi tentu saja kau lebih menyukai senja, yang selalu kau nantikan setiap harinya. Namun hari ini senja itu harus tiada karena hujan, dan pelangi sepertinya tak bisa menghiburmu.
Dengan kecewa kau berbalik lalu berjalan menuju pintu. Aku ingin berteriak, ‘Tunggu!’ tapi seperti biasanya… nyaliku terlalu kerdil untuk melakukan hal tersebut.
            Dan seperti yang sudah-sudah, saat hujan turun di kala senja, aku menatap ke arah langit dan merapalkan sebuah mantra dalam hatiku. Hujan berhenti, kau tersenyum, dan aku bahagia karena bisa mewujudkan keinginanmu. Akhirnya kau tak melewatkan sebuah senja lagi hari ini.
            Lalu diapun muncul, keluar dari rumahmu. Merebut tempat yang berada di sisimu yang seharusnya menjadi milikku, namun kenyataan tak selalu sama dengan apa yang kita harapkan. Sisi di sampingmu adalah miliknya.
“Melihat senja lagi?” aku mendengar dia berkata padamu sambil menyandarkan kepala di bahumu. Hal yang selalu dia lakukan saat menemanimu menikmati senja setiap harinya. Yang berarti tambahan satu torehan lagi pada hatiku.
“Ya, untung tadi hujannya cepat reda…” katamu sambil tersenyum, dan kalian kembali menikmati senja sama seperti hari sebelumnya.
Dan kau tak pernah tahu tentang aku… Tak akan pernah tahu. Karena kau akan selalu mencintai langit senja dan tak akan pernah menyadari pelangi pada langit yang sama, yang tersamar oleh senja.
Pelangi itu, Aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar