Senin, 09 Januari 2012

Am...


Am
"Memiliki dirimu sebagai sahabat dalam kenanganku adalah sebuah keberuntungan.”
Hawa dingin di penghujung bulan desember menyambutku. Aku kembali lagi, ke kota kecil yang cukup ramai ini. Ada rasa rindu yang kukenali menyeruak dalam hatiku, rasa yang kupikir sudah lama mati namun ternyata keliru. Kutelusuri tembok putih yang kulewati sejak tadi dengan sebelah tanganku, sementara tangan yang satunya kubiarkan mengayun bebas layaknya ujung mantelku yang terus bergerak tertiup angin. Dan tanganku mencapai ujung tembok ini. Sebuah gerbang yang tingginya berkisar dua kali lipat dari tinggi tubuhku menyambutku dengan angkuh, seakan ingin menelan manusia kecil yang sedang berdiri di hadapannya. Aku heran, apa aku yang tak pernah bertumbuh tinggi atau gerbang ini yang sudah diganti dengan yang lebih tinggi? Tapi sepertinya tak ada yang berubah. Berarti... Ah, sudahlah.
Tatapanku beralih pada gedung bergaya jaman tempo dulu yang berdiri kokoh dalam lindungan tembok dan gerbang ini. Tak pernah berubah, pintu kayu berwarna hitam yang membuatku merasa seakan berada dalam penjara saat memasukinya, jendela berterali besi yang dicat warna coklat, tanaman hijau dan bunga beranekaragam yang mengelilingi bangunan ini. Dari luar mungkin ini tak mirip seperti sebuah sekolah menengah atas tapi lebih mirip vila vampir di film-film. Tapi begitulah, ini adalah sebuah sekolah dimana aku adalah salah satu alumninya. Hanya saja suasananya agak sepi karena sedang liburan sekolah, jadinya hanya aku saja yang sedari tadi berkeliaran di sini. Penjaga sekolah sepertinya juga sedang tidak ada dan ini tentu saja hal yang menguntungkan bagiku. Mengapa menguntungkan? Hal ini tergantung pada perkiraanku tepat atau tidak.
Aku berjalan memutar ke bagian belakang sekolah, sesaat tersenyum melihat pohon besar dengan dahan-dahannya yang terjuntai hampir mencapai tanah, lalu mulai memanjatnya. Dengan hati-hati aku menyusuri dahan-dahan tersebut lalu melompat dengan mulus. Ya... Ya... Cara ini memang selalu berhasil sejak dulu. Aku heran kenapa pihak sekolah tak pernah menebangnya. Kurasa semakin banyak rekor murid yang membolos setelah kelulusanku. Hehehe…
Lagi-lagi aku tersenyum mengenang setiap memori yang berebutan untuk masuk dalam pikiranku. Ada tawa, ada kenakalan, ada hukuman, tawa lagi, barisan yang kacau, pengumuman dari kepala sekolah yang membuat semuanya hening, kelas kimia yang membuatku ingin pingsan, dan kenangan-kenangan lain yang membuatku tertawa saat mengingatnya. Perlahan mataku terpejam. Tanganku yang masih bertumpu pada batang pohon setelah melompat tadi kuarahkan untuk turun lebih rendah, dan kedua sisi bibirku tertarik saat merasakan ukiran itu masih ada di sana.
Dan ingatan terakhir tentang sosok gadis rapuh di ruang musik menghangatkan hatiku lagi.
"Aku kembali, Audy..."
***
Besok aku pulang…
Kalimat tersebut terus menggantung di telingaku sejak kemarin.  Membuatku tak berhenti tersenyum hingga hari ini. Dira kembali hari ini? Hmm... Sudah lama sekali kami tak bertemu. Tiga tahun lebih tujuh bulan, terhitung saat terakhir kali aku mengantarnya ke bandara. Bagaimana penampilannya sekarang ya? Apa masih tomboy seperti dulu?
Kenangan tentangku dan Dira menelusup masuk satu persatu dalam pikiranku. Ruang musik, pohon besar di belakang sekolah, sampai upacara kelulusan tak pernah kulewati tanpa Dira yang selalu cerewet di sisiku.
Dira selalu terlihat ceria, itu anggapanku saat pertama kali melihatnya yang sibuk berlari kesana kemari saat menjadi panitia ulang tahun sekolah. Tapi ternyata ia hanya menutupi kesedihannya dengan tawa. Hal ini dimulai setelah kakak yang disayanginya menjadi korban perampokan saat sedang dalam perjalanan pulang dan nyawanya tak bisa diselamatkan lagi. Dan Dira pun mulai berakting, berkata bahwa semua baik-baik saja, tak ada yang terjadi, padahal sebenarnya kenyataannya tak seperti itu.
Sementara aku, aku selalu menutup diri dari orang lain. Setelah Ayah pergi meninggalkan aku dan Ibu bersama wanita lain, aku merasa tak ada lagi yang bisa kupercayai. Namun Dira mampu mengubahnya, dan hal itu dimulai dengan satu kalimat yang diucapkannya di pertengahan semester, di ruang musik yang selalu menjadi tempat ku menyendiri.
“Kenapa kau mengawali lagu dengan nada itu?”
“Eh?”
“A minor… Itu nada sedih kan?”
Aku terdiam mendengar sapaan gadis yang saat itu belum kukenal sama sekali. Rambutnya dikuncir asal-asalan, dengan seragam yang sudah agak kusut dan ujungnya  yang sudah dikeluarkan dari rok. Ia berdiri menatapku dengan tatapan yang berbeda dari yang kudapat selama ini. Ini bukan tatapan mengasihani, bukan juga tatapan orang yang sedang menghina, melainkan tatapan kosong yang membuatku bertanya-tanya, ”apa maksud gadis ini sebenarnya?”
“Itu A minor kan? Am?” tanyanya lagi masih dengan tatapan kosong yang sama. Yang benar saja, aku juga tahu bahwa A minor dan Am itu sama saja. Tapi bukannya berkata seperti itu, aku malah menjawab, “Ya…”
Dan gadis itu duduk di sampingku, menutup mata dan menghela nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan dengan kedua tangan yang terangkat sejajar dengan tuts piano. Lalu nada yang sama dengan yang kumainkan tadi mengalun lewat jemarinya, hanya saja kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Membuat jemariku turut terbawa dengan luapan nada sedih yang dibawakannya lalu mulai mengikuti harmoni nada yang dilantunkan oleh jemarinya.
Hanya seperti itu, sampai bel tanda istirahat selesai berbunyi, namun itu menjanjikan suatu hal yang terbukti di hari-hari selanjutnya. Kunci nada ini tak akan dilantunkan sendirian lagi.
Mengingat Dira memang tak akan membuat saraf tersenyumku lelah. Mengenangnya malah membuatku menuju tempat ini, sekolah. Setelah berhasil memanjat pohon di belakang sekolah, kakiku melangkah sesukanya menelusuri kelas-kelas kosong dengan bangku, meja dan papan tulis yang serasa memanggil diriku agar menjadi bagian dari alur cerita mereka lagi. Dan kakiku berhenti sebelum mencapai ruang musik. Nada ini?
“Dira?”
***
“Bagaimana…”
Kami tertawa bersamaan saat pertanyaan itu keluar dari mulut kami dengan kompak. Saat kami memutuskan untuk pindah dari ruang musik menuju pohon di taman belakang sekolah dan mulai berbincang.
“Bagaimana kabarmu?” Audy memilih untuk memulai duluan mengingat keheningan yang sering terjadi dulu kalau hal seperti ini terjadi.
“Yah, tak pernah sebaik ini. Kau?”
“Sama saja seperti biasanya. Sibuk!” sambungnya lagi sambil terkekeh.
“Jangan terlalu berlagak kuat. Kalau perlu bantuan jangan malu meminta bantuan dari orang lain. Yang dulu-dulu tak usah diulang lagi,” kataku sok menasehati.
“Berlagak kuat? Bukannya itu kau? Nona yang selalu berlagak ceria padahal sebenarnya tidak.”
“Menyindir? Tapi kau kan sama saja. Nona yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri dan berlagak kalau kau tak butuh orang lain…” aku membalas tak mau kalah dan kalimatku ini sukses membuat tawa kami pecah lagi.
Lalu keheningan muncul lagi. Sambil menatap kosong ke arah lapangan basket yang sepi di hadapan kami aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Dan aku seakan bercermin saat melihat sosok gadis dengan rambut dikuncir dan seragam yang kusut melewatiku dan Audy saat ini. Ia tertawa bersama gerombolan teman-temannya yang sama-sama populer seperti dirinya. Tapi ia tahu tawanya itu tak pernah setulus saat ia bersama Audy.
“Kita dulu menyedihkan ya?” ucapan Audy yang tiba-tiba membuat ingatan itu memburam dan kembali ke lapangan basket yang sepi lagi. Audy melanjutkan, “terlalu sering berlagak kuat membuat kita lupa bagaimana membagi air mata kita dengan orang lain. Kita yang dulu memang seperti itu, kan?”
“Ya, kita memang seperti itu.”
“Terasa agak sedih ya? Kita…”
Aku menatap Audy, membenarkan apa yang dikatakannya. Kami yang dulu memang seperti itu. Berpura-pura dengan topengnya masing-masing. Berpikir bahwa orang lain tak perlu tahu dan tak akan mengerti kesedihan yang kami alami padahal semua itu salah. Tapi sekarang semuanya sudah berubah.
“Ku rasa tidak juga…” kataku membalas perkataan Audy tadi.
“Begitukah?”
“Ya. Saat kita menemukan seseorang untuk membagi kesedihan kita, rasanya jadi tak sedih lagi. Malah melegakan…” aku menyelesaikan perkataanku lalu menunjuk ke arah sebuah ukiran di pohon tempat kami berteduh sejak tadi.
“Am”
Dan Audy pun mengangguk. “Ya, kau benar…”
"Kami hanya duduk bersebelahan. Tanpa kata. Hanya seperti ini… Tapi kami tahu bahwa hati kami terhubung satu sama lain. Dalam sebuah nada, Am.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar