Am
"Memiliki
dirimu sebagai sahabat dalam kenanganku adalah sebuah keberuntungan.”
Hawa
dingin di penghujung bulan desember menyambutku. Aku kembali lagi, ke kota
kecil yang cukup ramai ini. Ada rasa rindu yang kukenali menyeruak dalam
hatiku, rasa yang kupikir sudah lama mati namun ternyata keliru. Kutelusuri
tembok putih yang kulewati sejak tadi dengan sebelah tanganku, sementara tangan
yang satunya kubiarkan mengayun bebas layaknya ujung mantelku yang terus
bergerak tertiup angin. Dan tanganku mencapai ujung tembok ini. Sebuah gerbang
yang tingginya berkisar dua kali lipat dari tinggi tubuhku menyambutku dengan angkuh,
seakan ingin menelan manusia kecil yang sedang berdiri di hadapannya. Aku
heran, apa aku yang tak pernah bertumbuh tinggi atau gerbang ini yang sudah
diganti dengan yang lebih tinggi? Tapi sepertinya tak ada yang berubah.
Berarti... Ah, sudahlah.
Tatapanku
beralih pada gedung bergaya jaman tempo dulu yang berdiri kokoh dalam lindungan
tembok dan gerbang ini. Tak pernah berubah, pintu kayu berwarna hitam yang
membuatku merasa seakan berada dalam penjara saat memasukinya, jendela berterali
besi yang dicat warna coklat, tanaman hijau dan bunga beranekaragam yang
mengelilingi bangunan ini. Dari luar mungkin ini tak mirip seperti sebuah
sekolah menengah atas tapi lebih mirip vila vampir di film-film. Tapi
begitulah, ini adalah sebuah sekolah dimana aku adalah salah satu alumninya.
Hanya saja suasananya agak sepi karena sedang liburan sekolah, jadinya hanya
aku saja yang sedari tadi berkeliaran di sini. Penjaga sekolah sepertinya juga
sedang tidak ada dan ini tentu saja hal yang menguntungkan bagiku. Mengapa
menguntungkan? Hal ini tergantung pada perkiraanku tepat atau tidak.
Aku
berjalan memutar ke bagian belakang sekolah, sesaat tersenyum melihat pohon
besar dengan dahan-dahannya yang terjuntai hampir mencapai tanah, lalu mulai
memanjatnya. Dengan hati-hati aku menyusuri dahan-dahan tersebut lalu melompat
dengan mulus. Ya... Ya... Cara ini memang selalu berhasil sejak dulu. Aku heran
kenapa pihak sekolah tak pernah menebangnya. Kurasa semakin banyak rekor murid
yang membolos setelah kelulusanku. Hehehe…
Lagi-lagi
aku tersenyum mengenang setiap memori yang berebutan untuk masuk dalam
pikiranku. Ada tawa, ada kenakalan, ada hukuman, tawa lagi, barisan yang kacau,
pengumuman dari kepala sekolah yang membuat semuanya hening, kelas kimia yang
membuatku ingin pingsan, dan kenangan-kenangan lain yang membuatku tertawa saat
mengingatnya. Perlahan mataku terpejam. Tanganku yang masih bertumpu pada
batang pohon setelah melompat tadi kuarahkan untuk turun lebih rendah, dan
kedua sisi bibirku tertarik saat merasakan ukiran itu masih ada di sana.
Dan
ingatan terakhir tentang sosok gadis rapuh di ruang musik menghangatkan hatiku
lagi.
"Aku
kembali, Audy..."
***
Besok aku pulang…
Kalimat
tersebut terus menggantung di telingaku sejak kemarin. Membuatku tak berhenti tersenyum hingga hari
ini. Dira kembali hari ini? Hmm... Sudah lama sekali kami tak bertemu. Tiga
tahun lebih tujuh bulan, terhitung saat terakhir kali aku mengantarnya ke
bandara. Bagaimana penampilannya sekarang ya? Apa masih tomboy seperti dulu?
Kenangan
tentangku dan Dira menelusup masuk satu persatu dalam pikiranku. Ruang musik,
pohon besar di belakang sekolah, sampai upacara kelulusan tak pernah kulewati
tanpa Dira yang selalu cerewet di sisiku.
Dira
selalu terlihat ceria, itu anggapanku saat pertama kali melihatnya yang sibuk
berlari kesana kemari saat menjadi panitia ulang tahun sekolah. Tapi ternyata
ia hanya menutupi kesedihannya dengan tawa. Hal ini dimulai setelah kakak yang
disayanginya menjadi korban perampokan saat sedang dalam perjalanan pulang dan
nyawanya tak bisa diselamatkan lagi. Dan Dira pun mulai berakting, berkata bahwa
semua baik-baik saja, tak ada yang terjadi, padahal sebenarnya kenyataannya tak
seperti itu.
Sementara
aku, aku selalu menutup diri dari orang lain. Setelah Ayah pergi meninggalkan
aku dan Ibu bersama wanita lain, aku merasa tak ada lagi yang bisa kupercayai. Namun
Dira mampu mengubahnya, dan hal itu dimulai dengan satu kalimat yang
diucapkannya di pertengahan semester, di ruang musik yang selalu menjadi tempat
ku menyendiri.
“Kenapa
kau mengawali lagu dengan nada itu?”
“Eh?”
“A
minor… Itu nada sedih kan?”
Aku
terdiam mendengar sapaan gadis yang saat itu belum kukenal sama sekali. Rambutnya
dikuncir asal-asalan, dengan seragam yang sudah agak kusut dan ujungnya yang sudah dikeluarkan dari rok. Ia berdiri
menatapku dengan tatapan yang berbeda dari yang kudapat selama ini. Ini bukan
tatapan mengasihani, bukan juga tatapan orang yang sedang menghina, melainkan
tatapan kosong yang membuatku bertanya-tanya, ”apa maksud gadis ini sebenarnya?”
“Itu
A minor kan? Am?” tanyanya lagi masih dengan tatapan kosong yang sama. Yang benar
saja, aku juga tahu bahwa A minor dan Am itu sama saja. Tapi bukannya berkata
seperti itu, aku malah menjawab, “Ya…”
Dan
gadis itu duduk di sampingku, menutup mata dan menghela nafas panjang lalu
menghembuskannya perlahan dengan kedua tangan yang terangkat sejajar dengan
tuts piano. Lalu nada yang sama dengan yang kumainkan tadi mengalun lewat
jemarinya, hanya saja kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Membuat jemariku
turut terbawa dengan luapan nada sedih yang dibawakannya lalu mulai mengikuti
harmoni nada yang dilantunkan oleh jemarinya.
Hanya
seperti itu, sampai bel tanda istirahat selesai berbunyi, namun itu menjanjikan
suatu hal yang terbukti di hari-hari selanjutnya. Kunci nada ini tak akan
dilantunkan sendirian lagi.
Mengingat
Dira memang tak akan membuat saraf tersenyumku lelah. Mengenangnya malah membuatku
menuju tempat ini, sekolah. Setelah berhasil memanjat pohon di belakang
sekolah, kakiku melangkah sesukanya menelusuri kelas-kelas kosong dengan
bangku, meja dan papan tulis yang serasa memanggil diriku agar menjadi
bagian dari alur cerita mereka lagi. Dan kakiku berhenti sebelum mencapai ruang
musik. Nada ini?
“Dira?”
***
“Bagaimana…”
Kami
tertawa bersamaan saat pertanyaan itu keluar dari mulut kami dengan kompak. Saat
kami memutuskan untuk pindah dari ruang musik menuju pohon di taman belakang
sekolah dan mulai berbincang.
“Bagaimana
kabarmu?” Audy memilih untuk memulai duluan mengingat keheningan yang sering
terjadi dulu kalau hal seperti ini terjadi.
“Yah,
tak pernah sebaik ini. Kau?”
“Sama
saja seperti biasanya. Sibuk!” sambungnya lagi sambil terkekeh.
“Jangan
terlalu berlagak kuat. Kalau perlu bantuan jangan malu meminta bantuan dari
orang lain. Yang dulu-dulu tak usah diulang lagi,” kataku sok menasehati.
“Berlagak
kuat? Bukannya itu kau? Nona yang selalu berlagak ceria padahal sebenarnya
tidak.”
“Menyindir?
Tapi kau kan sama saja. Nona yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri dan
berlagak kalau kau tak butuh orang lain…” aku membalas tak mau kalah dan
kalimatku ini sukses membuat tawa kami pecah lagi.
Lalu
keheningan muncul lagi. Sambil menatap kosong ke arah lapangan basket yang sepi
di hadapan kami aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Dan aku seakan bercermin
saat melihat sosok gadis dengan rambut dikuncir dan seragam yang kusut melewatiku
dan Audy saat ini. Ia tertawa bersama gerombolan teman-temannya yang sama-sama
populer seperti dirinya. Tapi ia tahu tawanya itu tak pernah setulus saat ia
bersama Audy.
“Kita
dulu menyedihkan ya?” ucapan Audy yang tiba-tiba membuat ingatan itu memburam
dan kembali ke lapangan basket yang sepi lagi. Audy melanjutkan, “terlalu
sering berlagak kuat membuat kita lupa bagaimana membagi air mata kita dengan
orang lain. Kita yang dulu memang seperti itu, kan?”
“Ya,
kita memang seperti itu.”
“Terasa
agak sedih ya? Kita…”
Aku
menatap Audy, membenarkan apa yang dikatakannya. Kami yang dulu memang seperti
itu. Berpura-pura dengan topengnya masing-masing. Berpikir bahwa orang lain tak
perlu tahu dan tak akan mengerti kesedihan yang kami alami padahal semua itu
salah. Tapi sekarang semuanya sudah berubah.
“Ku
rasa tidak juga…” kataku membalas perkataan Audy tadi.
“Begitukah?”
“Ya.
Saat kita menemukan seseorang untuk membagi kesedihan kita, rasanya jadi tak
sedih lagi. Malah melegakan…” aku menyelesaikan perkataanku lalu menunjuk ke
arah sebuah ukiran di pohon tempat kami berteduh sejak tadi.
“Am”
Dan
Audy pun mengangguk. “Ya, kau benar…”
"Kami
hanya duduk bersebelahan. Tanpa kata. Hanya seperti ini… Tapi kami tahu bahwa
hati kami terhubung satu sama lain. Dalam sebuah nada, Am.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar