Rabu, 03 April 2024

#4 : Fokus pada apa yang ada di bawah kendali kita bisa membuat kita bisa bersyukur (Habis baca : Filosofi Teras)

"Cara kita melihat dan mengukur segala sesuatu termasuk di bawah kendali kita. Dan, di situ tersimpan banyak alasan untuk tetap bersyukur." _ Filosofi Teras, halaman 276.

Ini adalah review lanjutan setelah 3 hal yang aku rangkum setelah membaca bab II buku Filosofi Teras.

(baca selengkapnya: https://kekacauansementara.blogspot.com/2023/09/jurnalmalam-apa-yang-aku-miliki-dan.html?m=1)

Dalam buku ini, dipaparkan beberapa hal yang ada di bawah kendali dan tidak. Salah satu contohnya adalah harta. Seringkali aku sering sedih karena terlalu fokus dengan kondisi keuanganku. Karenanya, hidupku jadi lebih melelahkan dan sulit dijalani. Teman-teman di sekelilingku sering berkata kalau aku sering terlihat susah, padahal gaji/tunjangan baru saja masuk rekening. Aku menyadari hal ini terjadi karena aku selalu menghitung berapa banyak yang aku dapat, dan memikirkan berapa banyak yang harus aku habiskan. Merencanakan keuangan memang tidak salah, kesalahan yang aku lakukan adalah menjadikan uang itu sebagai alasan untuk bahagia. Kalau uang itu sudah berkurang banyak, berkurang pula kebahagiaanku. Membaca buku ini membuat aku belajar bahwa harta, kesehatan, pikiran orang lain, adalah hal yang tidak bisa aku kendalikan. Karena tidak bisa kukendalikan, bukan berarti jadinya aku yang dikendalikan. Seandainya aku bisa membuang pikiran tentang hal-hal di atas, aku bisa lebih bersyukur akan apa yang aku miliki.

Sabtu, 09 Maret 2024

Menghindari Duka

Harus aku akui aku penakut. Bila dihadapkan dengan hal sulit, aku sering menangis. Aku pun jadi sering meramal ketika suatu hal atau peristiwa datang ke hidupku, apa aku bisa melaluinya? Apa itu baik atau buruk? 

Tapi semakin hari, kesempatan untuk menghindar semakin berkurang. Lalu aku semakin membatasi pertemuan yang ingin aku hadiri, membatasi interaksi yang mungkin terjadi, menghindari kalimat yang tidak ingin kudengar.

Rabu, 06 Maret 2024

/coret/Repot/coret/ Murah Hati itu Ngga Apa-Apa (Habis Baca : Minimarket yang Merepotkan)

Jika kamu berjalan ke arah Sookmyung Women's University di daerah Cheongpadong, melewati dua gang sampai tiba di sudut pertigaan, kamu bisa menemukan sebuah minimarket bernama 'ALWAYS' berdiri di depanmu. Pemilik minimarket itu adalah seorang nenek yang baik, mengingatkan aku pada perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati, dimana ibu itu mengajak seorang tunawisma keluar dari Stasiun Seoul, memberinya makan (dan berjanji seterusnya bisa makan gratis di minimarketnya), bahkan memberi tunawisma itu; Dokgo, pekerjaan sebagai pegawai di minimarket. Walau Nyonya Yeom mulai resah karena serangan pikun, tapi hari saat ia bertemu Dokgo, mendapat kebaikan dan membalas kebaikan, sudah cukup membuat harinya terasa lebih baik.

Kebaikan Nyonya Yeom tidak hanya diberikan kepada Dokgo. 
Minimarket yang ia kelola sebenarnya tidak memberikan keuntungan baginya karena uang yang didapat digunakan untuk menggaji pegawainya. Nyonya Yeom sendiri sudah bisa hidup dengan uang pensiunan guru. Bukankah Nyonya Yeom begitu murah hati? Dan siapa yang menyangka kalau kehadiran minimarket yang katanya merepotkan ini sebenarnya bisa jadi tempat bagi orang-orang untuk bertukar kisah, menjadi lebih baik, bahkan bisa bangkit dari masa lalu yang ingin dilupakan? 

Buku 'Minimarket yang Merepotkan' berisi 8 kisah dari berbagai sudut pandang orang yang berkunjung ke Minimarket ALWAYS. Tiap kisah punya pesona masing-masing, aku bingung harus memilih kisah mana yang kusuka. Tapi kalau ditanya kisah mana yang kurang aku suka adalah kisah anak lelaki Nyonya Yeom yang bernama Minsik. Bukan karena kisahnya tidak bagus, tapi Minsik digambarkan sebagai pribadi yang keras kepala dan suka menyalahkan orang lain. Sampai akhir cerita aku tidak menemukan adanya tanda perubahan sikap. Walau begitu, penulis buku ini memutuskan untuk menulis seri kedua buku ini... dan sepertinya Minsik juga ada. Apa ia akan selamanya jadi brengsek? Aku belum tau. 

Akhirnya, kisah terakhir yang judulnya sama dengan dengan nama minimarket ini, dimulai dengan barisan pertanyaan yang membuatku sesak.

"Apa yang terjadi jika kau memikirkan satu hal saja setiap saat; 24 jam sehari, 7 hari seminggu? Bagaimana jika satu pikiran itu adalah ingatan yang penuh akan rasa sakit."

Sebelum bertemu Nyonya Yeom, Dokgo mengisi hari dengan menonton siaran berita 24 jam di TV dan melihat orang-orang yang lewat di stasiun Seoul. Aku punya kebiasaan menulis catatan yang aku selipkan di halaman buku kalau ada hal yang membuatku bertanya-tanya, di kertas itu aku menulis, "Kenapa Dokgo harus menonton TV dan melihat orang-orang?" Setelah membaca kalimat yang mengawali kisah terakhir, aku jadi tau.

"Pada akhirnya, hidup adalah hubungan, dan hubungan adalah komunikasi."

Dari keseluruhan kisah buku ini, bagian yang kena di hati karena juga masih aku alami adalah kemampuan berkomunikasi. Dokgo berbicara dengan terbata setelah memutus paksa hubungan yang ada di masa lalu, lalu hidup ditemani alkohol. Walau ia menonton berita dan mendegar suara-suara orang di stasiun, ia tidak berkomunikasi. Lama-kelamaan kemampuan berkomunikasinya pun menurun. Aku pikir kebaikan Nyonya Yeom yang membawanya keluar dari sana adalah satu-satunya penyelamat yang mengubah hidup Dokgo, tapi aku sadar sekarang, kalau Dokgo tidak mau bergerak dari sana, apa yang bisa Nyonya Yeom lakukan?

Pada akhirnya, sekuat apapun seseorang mencoba untuk menolongmu keluar dari masalah, kalau kamu merasa itu bukan masalah dan tetap diam di dalamnya, segalanya tidak akan berubah.

Hah...

"... kebahagiaan itu tidak jauh dan bisa ditemukan saat berbagi pikiran dengan orang-orang di sekitar."

Kapan ya bisa baca terjemahan 'Minimarket yang Merepotkan 2"?

Sabtu, 24 Februari 2024

#JurnalMalam Bayangkan Hasil Akhir

 Aku berjanji ini ga bakal jadi postingan overthinking.

Tapi mau mulai ngetik apa aja susah.

Jadi tadi baru ikutan seminar buat update ilmu biar ngga ketinggalan kesempatan buat nambah SKP. Tapi ada satu pandangan yang menetap dalam ingatan dan udah aku tulis di X juga barusan :

Baru sadar juga hidupku kebanyakan 'tapi.'
TAPI INI
TAPI ITU
HAH TAPI
TAPI...
Tapi aja terus, hidup kok kehalang tapi.

Hmm... lanjut. Dari kutipan di atas aku jadi kepikiran aku mau hidupku tuh jadi kayak apa sih nantinya?

Mau hidup dikenang sebagai orang yang bermanfaat gitu hidupnya? Harus apa?
Mau hidup lama? Kudu sehat, hidup sehat juga butuh duit, butuh olahraga, butuh istirahat cukup, butuh manajemen stres yang baik.
Mau nikah? Harus apa?
Mau tinggal di rumah ini selamanya? Apa mungkin?
Mau nabung? Buat apa tabungannya? Rencanain dulu mimpinya biar jelas jalannya.
Mau pensiun? Umur berapa? Dana pensiunnya ada?

Demikian keresahan yang aku pikirkan tapi janji ga bakal overthink karena tidak ada gunanya kalo ga ada solusinya.

Pokoknya, kalo mau melakukan ya lakukan. Jangan sekedar coba-coba, kalo niatnya gitu doang mending jangan.


Selasa, 10 Oktober 2023

Menjalani Masa Kini tanpa Lupa Bermimpi... DAN SEBALIKNYA (Habis Baca : Dallergut Toko Penjual Mimpi)

 


Apa kamu termasuk orang yang susah tidur sama sepertiku? Akhir-akhir ini aku perlu meminjam kekuatan dari playlist lagu tidur ataupun dari buku bacaan yang mengundang kantuk jika dibaca dalam kondisi minim cahaya seperti gambar di atas. Itu cukup membantuku agar bisa tidur, juga menjauhkan diriku dari keinginan scrolling media sosial sampai lewat tengah malam; tanpa ada maknanya. Lalu aku akan tidur... dan kadang bangun karena mimpi yang tidak kuinginkan. Mimpi buruk, dalam buku yang baru habis aku baca, "Dallergut : Toko Penjual Mimpi", mimpi seperti ini diproduksi oleh rumah produksi Maxim. Sayang sekali kenapa aku hanya ingat mimpi burukku saat aku terbangun, walau nantinya aku lupa juga setelah beberapa hari. Andai saja kemampuanku untuk mengingat mimpi menyenangkan juga sama baiknya seperti mengingat mimpi buruk.

Lalu, dari mana asal mimpi? Dalam ringkasan cerita di sampul belakang buku ini tertulis, ada sebuah desa yang hanya bisa kamu datangi saat kamu tertidur, dan di desa tersebut, terdapat suatu toko bernama Dallergut yang dijalankan secara turun-temurun. Toko ini menjual mimpi, seperti film dengan genre bervariasi. Kamu bisa mengunjungi lantai mana saja dari lantai 1 sampai 5 sesuai mimpi yang kau impikan. Tentu saja, kamu juga bisa berkonsultasi dengan pemiliknya jika tak kunjung menemukan mimpi yang sesuai untukmu, sehingga bisa jadi saran untuk pembuatan mimpi sesuai pesananmu.

Baiklah, pertama-tama sebenarnya aku agak kebingungan waktu mulai membaca prolog buku ini. Karena aku pikir ini seperti cerita fantasi dimana seorang manusia biasa tersesat dan tanpa sengaja menemukan toko penjual mimpi. Namun ternyata ekspektasiku salah, cerita ini diceritakan dari sudut pandang Penny, seorang gadis yang tumbuh dalam desa fiksi dalam buku tersebut dan ingin bekerja di Dallergut : Toko Penjual Mimpi. Dari sudut pandang Penny, pembaca bisa mengetahui legenda mengapa mimpi itu ada, siapa itu Dallergut, dan seperti apa toko yang dijalankannya (kalimat yang aku suka juga muncul dalam prolog ini : Bermimpi secukupnya, agar mimpimu tidak sampai merampas kenyataan).

Lalu bab selanjutnya mulai menceritakan tentang pelanggan yang datang ke toko dan mimpi yang mereka beli. Aku sendiri pengen mengalami mimpi (juga kenyataan! bila benar terjadi) seperti di bab kedua buku ini.

Spoiler (silahkan block 4 baris di bawah untuk membaca) :

Ah yaa... aku sedikit mengharapkan ada kisah cinta antara Maxim dan Penny (hahahaha) tapi sayang setelah pertemuan terakhir mereka di pertemuan para produser mimpi, Maxim tidak muncul lagi di bab selanjutnya. :"( Apa ada di seri kedua buku ini? (Iya buku ini ada seri duanya tapi bukunya baru aku pesan jadi masih dalam perjalanan).

Kesimpulan yang aku dapat dari membaca buku ini yaitu, dalam menjalani hidup kita juga perlu beristirahat walau hanya sejenak. Kadang kita juga perlu bermimpi agar bangun dengan semangat baru di hari selanjutnya. Seperti kata Bancho, salah satu produser mimpi dalam buku ini, "Jangan sakit, makan yang banyak, tidur yang nyenyak..." semoga kita semua bisa seperti itu!

Senin, 25 September 2023

#JurnalMalam : Sebelum dan Setelah (Habis baca : Orang Berikut Yang Kaujumpai Di Surga, Sedang Baca : Siapa yang datang ke pemakamanku saat aku mati nanti?)

Baru-baru ini salah satu orang baik dalam hidupku berpulang. Namanya tante Adel, sampai sekarang aku masih ingat senyum lebarnya yang memperlihatkan deretan gigi tiruan penuh yang aku buatkan untuknya. Dari semua pasien yang pernah aku kerjakan saat koass, aku sangat bangga bisa membuatkan gigi tiruan itu untuk tante Adel. Senyum yang ia beri sangat tulus, polos, dan tidak ada kepalsuan di dalamnya.

Aku bingung kenapa aku menangis saat menulis ini. Padahal aku bisa menahan air mata di depan jasad beliau.

Kematian ini menjadi alasan aku menyobek plastik pembungkus buku "Siapa yang datang ke pemakamanku saat aku mati nanti." Menurutku, buku ini menyampaikan kekhawatiran penulis seperti, "apa ia sudah cukup baik sebagai manusia sampai akan ada yang datang ke pemakamannya saat ia mati?" Juga mengajak pembaca untuk bisa menghargai perasaan orang lain. Bilang 'maaf' dan 'terima kasih' selagi orang yang pantas menerima kata itu masih hidup.

Tante Adel adalah orang baik, karenanya aku sempat protes waktu mendengar keluarga berencana hanya menulis riwayat hidup yang pendek untuk beliau. Aku mengerti bahwa setiap orang hanya hadir dalam sebagian perjalanan hidup orang lain, juga hanya bisa mengingat porsinya masing-masing dalam cerita hidup tersebut. Tapi protesku hanya sebentar kok, aku sadar yang terpenting adalah mengantar kepergian beliau dengan layak. Dan begitulah riwayat hidup tersebut selesai disusun.

Sesuai jadwal yang ditentukan yaitu hari Selasa, aku dan mama datang ke pemakaman tante Adel. Aku tidak kaget melihat banyaknya orang yang datang. Ibadah pemakaman berlangsung lancar sampai tiba waktunya pembacaan riwayat hidup oleh keluarga. Tapi ternyata setelah pembacaan riwayat hidup, ada beberapa orang terdekat yang diminta untuk menceritakan momen yang pernah mereka alami bersama almarhum. Cerita yang paling aku ingat adalah katanya semasa hidup almarhum selalu rajin pergi ke ibadah pemakaman siapapun yang ia kenal. Walau jauh sekalipun ia selalu berusaha mencari cara agar bisa datang. Saat sesi sharing ini, di kiri kanan aku bisa mendengar orang-orang yang duduk di sebelahku mengiyakan, juga berbagi kebaikan lain yang almarhumah lakukan dalam hidup mereka.

Riwayat hidup yang dituliskan memang hanya pendek, tapi apa itu bisa dibandingkan dengan riwayat hidup yang diceritakan oleh begitu banyak pelayat yang datang dengan ceritanya masing-masing?

*

Karena tidak selalu bisa membawa buku fisik ke mana-mana akhirnya sebelum selesai membaca buku "Siapa yang Datang ke Pemakamanku," aku mengganti sesi baca buku di luar rumah dengan membaca buku digital. Kebetulan saat aku membuka aplikasi iJakarta (perpustakaan online milik pemerintah Jakarta) ada 5 copy buku "Orang Berikut Yang Kau Jumpai di Surga" karya Mitch Albom tersedia untuk dipinjam. 

Saat selesai membaca buku ini aku juga baru sadar kalau kedua buku ini bertema kematian. Aku memang mudah terbawa perasaan. Karena temanya sama, jadi aku ingin menceritakan pengalaman membaca kedua buku ini dalam satu postingan yang sama...

Sesuai judulnya, buku ini menceritakan tentang kejadian yang dialami seorang wanita setelah ia ke Surga. Di sana ia bertemu dengan 5 orang yang punya pengaruh masing-masing dalam hidup wanita tersebut. Bagaimanapun selama hidupnya, Annie --nama wanita tersebut-- menganggap bahwa ia selalu melakukan kesalahan; makanya hidupnya menderita. Kehadiran 5 orang ini lah yang nantinya akan memberitahu Annie bahwa apa yang terjadi dalam hidupnya bukan salah siapa. Mungkin hari itu angin hanya bertiup dan membawa suatu perubahan...

Aku rasa tidak banyak yang bisa aku ceritakan tentang buku ini. Buku ini, menurutku lebih baik jika dibaca dan direnungkan masing-masing oleh tiap orang yang membacanya. Aku bertanya-tanya apa ada orang lain yang menangis saat membuka halaman yang juga membuatku menangis. Pada akhirnya seperti yang ditulis dalam buku ini, ada banyak pertanyaan 'apa' yang akan kita temui namun kapan jawaban dari 'mengapa' itu akan muncul seringkali lebih lama dari yang kita perkirakan.

Sebelum dan Setelah mati, apa dan mengapa, aku harap tiap tahap menuju ke sana bisa aku lalui tanpa penyesalan.

Akhir kata, selamat jalan tante Adel... terima kasih karena tiap kali tante senyum, aku jadi senyum juga. Dan terima kasih juga karena tiap kali aku ingat senyum itu, aku jadi ingat kalau kebaikan ada dalam hidup ini dan aku juga jadi senyum lagi (walau saat ini masih nangis dikit). Aku yakin tante sudah beristirahat dengan tenang, mungkin mengalami pertemuan dengan 5 orang di Surga... apa bahkan ketemu Tuhan? Amiin.

Sabtu, 16 September 2023

#JurnalMalam : Apa yang Aku Miliki dan Tidak (sedang baca : Filosofi Teras)

    Saat memutuskan judul apa yang harus dipakai untuk tulisan kali ini, aku memilih kata jurnal sebagai kata pertama. Sepintas ada sebuah niat untuk membuat ini sebagai tulisan rutin, tapi taulah... apa ya bahasa Indonesianya, "panas-panas tai ayam" (wwkwkkwkwk), kayak niat cuma di awal doang tapi nerusinnya malas. Jadi ya aku mau nulis ini sebebasnya aja tanpa beban untuk harus menulis tulisan lanjutannya. Selain itu, lucunya, saat aku pikirkan lagi aku malah ngga tau arti sebenarnya dari jurnal (wkwkwkwk). Jadi jurnal itu sendiri (menurut Google) adalah catatan yang dibuat secara teratur. Teratur ya... apa bisa aku teratur padahal blog ini aja judulnya 'kacau'? Tapi mari kita coba yaa.

Filosofi Teras
oleh Henry Manampiring
    Sekitar dua atau tiga hari yang lalu, aku berhasil meminjam buku "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring dari aplikasi perpustakaan digital Bank Indonesia (IBI). Aku baru selesai membaca bab II hari ini. Membaca buku saat ini jadi salah satu kegiatan yang bisa aku lakukan untuk menenangkan hati, bersabar saat menunggu antrian, atau kegiatan sebelum tidur. Buku ini bisa dibaca dengan perlahan (karena aku juga bukan tipe pembaca yang cepat) dan sesekali berhenti untuk merenung tentang apa yang baru saja aku baca. Filosofi Teras menceritakan tentang sebuah ajaran yang digagaskan oleh Zeno. Pada mulanya ajaran ini diajarkan di stoa (bahasa Yunani yang artinya beranda, serambi) sehingga kaum yang mengikuti ajaran ini disebut kaum stoa dan ajaran ini selanjutnya disebut Stoisisme. Belum banyak yang bisa aku ceritakan tentang isi buku ini, tapi yang aku maknai ialah :

#1 : kebahagiaan bisa didapat dengan melatih diri kita sendiri
Latihan bahagia? Ada rasa sangsi yang muncul saat aku membacanya. Maksudnya aku harus berlatih biar bisa bahagia gitu? Aku mencoba mengalah dengan rasa sangsi dan membiarkan rasa ingin tahu menang kali ini. Ternyata ada banyak artikel tentang latihan bahagia, jadi kesimpulannya kebahagiaan bukan hanya bisa dilatih tapi bisa juga dicari... asal aku mau dan niat.

"Sama seperti otot harus dilatih dengan berulang-ulang mengangkat barbel, maka batin pun bisa diperkokoh lewat latihan rutin setiap hari lewat STAR (Stop, Think-Assess, Respond)." _ Filosofi Teras, halaman xviii

#2 : bahagia itu artinya bebas dari emosi negatif
Semoga bagian ini ditulis dengan kesadaran bahwa aku harus terus belajar untuk mengatasi emosi dan amarah dalam diri. Emosi yang tidak bisa dikendalikan bukan hanya bisa merusak hubungan dengan orang lain, tapi juga merusak diri sendiri dengan penyesalan yang muncul tiap kali tidak bisa mengontrolnya. Hal ini juga pernah aku baca dalam buku "Going Offline" karya Desi Anwar, "Cara paling baik untuk menghadapi hidup adalah memiliki pengetahuan yang cukup tentang diri sendiri" (baca review "Going Offline": breakTime.... (kekacauansementara.blogspot.com)) yaitu mengenal tanda-tanda yang muncul saat emosi negatif dalam pikiran akan segera meluap dan bisa segera dicegah agar tidak menjadi kata-kata atau marah. Juga nafsu, mengetahui apa bedanya keinginan dan kebutuhan sehingga terbebas dari perilaku ingin mendapatkan apa yang sebenarnya tidak aku perlukan. Hal ini jugalah yang menjadi dasar aku menulis nomor #3 juga judul tulisan ini...

#3 : Menghargai apa yang aku miliki dan tidak terpaku pada apa yang tidak aku miliki
Judulnya jelas ya... sesederhana aku yang terus ingin membeli gadget baru padahal aku sudah punya banyak dan waktuku lebih banyak aku habiskan dengan gadget-gadget tersebut. Aku sering merasa kesepian saat melihat media sosial dari layar gadget... maksudnya, gimana yah menulis perasaan ini. Itu kan tempat bersosialisasi. Tapi duniaku kan isinya bukan hanya itu, itu maya, lebih banyak yang palsu. Kenapa aku harus merasa sepi, aku punya keluarga, aku juga punya teman. Harusnya aku tidak mengurung diri dalam kesepian yang aku ciptakan sendiri dalam benda sekecil gadget. Mungkin jika aku lebih menghargai apa yang ada di dunia nyata di sekitarku, hidupku bisa lebih berarti.

Baru-baru ini pun aku membaca artikel dari Greater Good tentang "10 Hal yang bisa Kamu Lakukan untuk membuat Waktumu lebih Bermakna" (baca : Ten Ways to Make Your Time Matter (berkeley.edu)) Salah satu di antara 10 poin yang ditulis mengatakan, "Distraksi dari dunia digital memungkinkan kita untuk melarikan diri ke dunia di mana keterbatasan manusia yang menyakitkan tampaknya tidak berlaku." Dengan membatasi penggunaan gadget, bahkan menggunakan teknologi dengan satu tujuan seperti kindle untuk membaca (aku lebih tertarik untuk membeli mp3 player sebagai teman untuk membaca buku saja, tapi nanti saja belinya setelah nabung) bisa mengurangi waktu yang digunakan untuk menggulir linimasa media sosial tanpa tujuan, atau menonton Youtube berjam-jam yang isinya rata-rata gadget yang pengen aku beli tapi ga butuh.

Lalu apakah jika aku sudah mendapat hal yang tidak aku miliki, apa akan selalu berujung bahagia? Dan jika tidak punya, apa aku harus tidak bahagia? Rasanya sedih jika membandingkan ketidak bahagiaanku dengan orang-orang di luar sana yang tidak punya banyak hal tapi bisa bahagia. Aku harap apa yang aku ketik setelah ini tidak sensitif untuk mereka yang memiliki keterbatasan baik fisik maupun materi. Saat aku membaca buku ini di ruang tunggu rumah sakit pagi ini, aku melihat layar tv memutar berita tanpa keterangan apa yang jadi topik pembicaraan. Layar itu menampilkan video tanpa suara dan terlihat ada dua orang di sana yaitu polisi pria dan satunya lagi seorang juru bahasa isyarat yang sibuk menggerakan tangan dengan cepat. Aku bukan orang yang mengerti bahasa isyarat, tapi dulu sekali aku sering melihat berita (sepertinya Seputar Indonesia) yang menambahkan sebuah kotak kecil di sudut kanan bawah yang menampilkan juru bahasa isyarat. Hal yang sudah lama tidak aku lihat karena sudah jarang menonton tv apalagi berita ini membuatku berpikir, bagaimana ya perasaan orang yang tuli sejak lahir? Aku pernah menegur petugas apotek yang suaranya tidak kedengaran saat memanggil antrian, bagaimana ya jika suatu saat duniaku nantinya hening... aku tidak bisa membayangkan.

Ternyata, ada banyak yang aku miliki, aku tidak kekurangan.

Sebelum tulisan ini semakin kacau dan ga jelas tujuannya ke mana, aku akan mengakhiri ini di sini saja. Setelah selesai baca buku ini (segera!) aku akan menulis lagi.

Semoga bahagia.