Rintik hujan membasahi kota ini, kota
yang tak pernah sepi dari bunyi kendaraan yang menjadi salah satu donatur asap
bagi langitnya. Bunyi kecipak terdengar bersahut-sahutan akibat langkah
orang-orang yang berlari disana-sini untuk mencari tempat berteduh. Hari ketiga
di bulan Oktober menjadi hari yang dibenci sebagian orang karena aktivitas
mereka yang harus terhenti. Dan disinilah aku, berdiri di antara kerumunan
orang yang memilih tempat yang sama untuk menghindar dari hujan. Sebuah halte
di depan kompleks pertokoan kini disulap menjadi tempat berteduh, menyebabkan
orang-orang yang menggunakan fungsi halte sebagaimana mestinya agak kesulitan
dan harus berteriak agar bisa lolos dari kerumunan ini.
Bulir-bulir hujan terus berjatuhan menimpa
bumi. Semakin keras, seakan tak mau berpisah dengan tanah yang hanya bisa Ia
temui saat langit berubah warna menjadi kelabu. Aku mengeluarkan sebungkus
rokok dan menarik linting terakhir yang tersisa, tak peduli dengan desisan
menyindir dari wanita paruh baya di sebelahku. Alih-alih memasukkannya kembali
dalam bungkus rokok, aku malah menyalakannya dan menghembuskan asap tebal dari
mulutku.
‘Jangan
terlalu banyak merokok…’ sebuah bisikan mengagetkanku. Linting rokok terakhir
yang baru sekali kuhisap terjatuh dan beradu dengan tanah yang becek.
'Lea?'
batinku menyerukan sebuah nama namun dipatahkan oleh akal sehatku yang berkata
bahwa Lea sudah tiada.
Aku memalingkan kepalaku ke kiri dan
kanan. Hanya ada wanita paruh baya tadi (yang masih menatap sinis padaku) dan
anak laki-laki dengan jas hujan berwarna biru yang menggandeng tangan Ibunya.
Tak mungkin... Bagaimana bisa orang yang sudah meninggal mau repot-repot keluar
dari kuburnya hanya untuk memperingatkan agar aku jangan merokok? Hah! Lucu
sekali pemikiranmu. Sedangkan bangun saja Ia sudah tidak bisa. Jangan
berhalusinasi, bung!
Aku menajamkan pendengaranku, berharap
suara itu muncul lagi tapi yang kudengar hanya bunyi hujan dan suara
orang-orang disekitarku. Dan entah mengapa aku merasa kecewa. Kecewa karena
suara itu tak ada lagi, kecewa karena mungkin itu hanya halusinasi, kecewa
karena... Lea sudah tak ada lagi disisiku.
Namun setiap tetes hujan memiliki
cerita, dan kali ini Ia memilih kenangan antara aku dan Lea.
***
Ia benci hujan, namun berlari di atas
rerumputan yang basah setelah hujan adalah kegemarannya. Merasakan sensasi
menyejukkan yang diterima oleh reseptor indera pada kakinya, yang meneruskan
stimuli ke otaknya dan menghasilkan sebuah tawa kecil dari mulutnya. Aku
bertanya-tanya, "adakah ciptaan Tuhan yang lebih menakjubkan dari
dirinya?" Garis wajah yang sempurna, lekuk tubuh yang membuat setiap
pakaian selalu terasa pas, dan senyum kekanakan yang memancing orang lain untuk
tertawa bersama saat melihatnya.
Aku masih ingat bagaimana pertemuan
kami yang pertama. Di hari dimana hujan juga turun dengan derasnya seperti hari
ini.
"Kau
tahu kenapa aku benci hujan?"
"Eh?"
aku menatap heran pada gadis yang berdiri di sebelahku. Apa Ia sedang
mengajakku ngobrol?
"Kau...
Bicara denganku?"
"Iya...
Memangnya sama siapa lagi?" katanya sambil tersenyum. Warung ini memang
sedang sepi, hanya kami berdua yang berteduh di bawah terpal plastik yang
berfungsi sebagai atap warung ini. Sementara penjualnya sepertinya tertidur
karena faktor hujan yang membuat warungnya sepi pelanggan.
"Kenapa?"
jawabku menimpali, masa bodoh dengan basa-basi orang yang baru pertama kali
bertemu. Dia yang mulai duluan kan?
"Karena
hujan selalu membawa cerita sedih." katanya sambil memandang sendu ke arah
langit.
"Hah?
Masa?" tanyaku namun tak digubris olehnya.
Hujan terus turun, mengisi kekosongan
antara kami yang terperangkap dalam diam. Sesekali aku melirik ke arah gadis
itu yang masih menatap langit dengan sendu. Ada apa dengan hujan? Mengapa gadis
ini begitu membencinya?
Keheningan
itu terus berlanjut, sampai akhirnya hujan berhenti dan gadis itu pergi tanpa
berkata apa pun padaku.
Dan
rasanya aku ingin mempercayai mitos yang berkata, "Kalau jodoh, pasti akan
bertemu lagi," saat melihat gadis itu kembali berteduh di tempat pertama
kali kami bertemu.
“Apa
sekarang rasa bencimu pada hujan sudah berubah?” kataku tiba-tiba yang
membuatnya terkejut. Ia sedang melamun sepertinya.
“Tidak.”
“Sayang
sekali kalau begitu. Padahal aku ingin menunjukkan sesuatu yang asyik…”
“Apa?”
Aku
terkekeh menatap wajahnya yang penasaran. “Katanya benci hujan…” kataku dengan
nada meledek.
"Kali
ini kuberi pengecualian."
"Baiklah!
Ikut aku."
"Sekarang?"
tanyanya sambil memberikan pandangan 'yang benar saja' yang kujawab dengan satu
tarikan pada lengannya. Dan seperti di film-film romantis lainnya , kami
berlari menerobos hujan sambil berpegangan tangan.
***
"Lea."
"Apa?"
lagi-lagi perkataan gadis ini membuat kedua alisku bertaut karena bingung.
"Itu
namaku... Lea. L-E-A," jelasnya lalu mengulurkan tangan kanannya.
"Oh...
Ya. Andre..." kataku lalu menyambut uluran tangannya. Sebuah obrolan
pertama setelah aksi lari-larian kami di tengah hujan. Bukan maksudku ingin
membuatnya merasakan hujan yang Ia benci, aku hanya ingin mengajaknya secepat
mungkin ke tempat ini, taman rahasiaku. Bukan taman yang istimewa sebenarnya,
bahkan bisa dibilang cukup aneh karena taman yang kumaksud adalah taman di area
salah satu Rumah Sakit.
“Lalu…
Kenapa tempat ini?” katanya sambil mengayunkan kedua kakinya yang menggantung karena
tak mencapai tanah.
“Tidak.
Hanya saja aku menyukai tempat ini, dan kuharap di masa depan nanti aku bisa
bekerja di gedung itu,” kataku sambil menunjuk ke arah Rumah Sakit.
“Hah?
Percaya diri sekali…”
“Tentu
saja! Itu adalah mimpiku sejak kecil. Dan apakah kau tahu? Kau adalah orang
pertama yang kuberitahu tentang hal ini.”
“Begitukah?
Aku istimewa sekali kalau begitu…”
“Kau
memang istimewa… Peri hujanku…” kataku hampir tak terdengar, sebelum keheningan
panjang yang lagi-lagi menerobos masuk di antara kami berdua. Tapi kurasa
seperti ini saja sudah cukup. Duduk berdua di bangku taman, merasakan atmosfer
sehabis hujan. Hanya berdua.
Ku
harap kata ‘berdua’ akan berlaku untuk selamanya, tapi impianku serasa
ditertawakan oleh hari berhujan yang mulai Ia cintai. Hari dimana hujan turun,
membasahi pemakaman yang mulai sepi setelah upacara yang berlangsung sejam yang
lalu. Lea, peri hujanku, telah berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa akibat
penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Lea, peri hujanku, tak akan lagi menemaniku
di saat hujan.
Pusaran
dalam otakku berhenti dan melemparkanku kembali ke alam nyata. Kembali ke hari
ketiga di bulan Oktober dimana aku masih berdiri dalam kerumunan orang yang
berteduh di halte ini. Dan dengan kedua tanganku aku merasakan titik-titik
hujan yang turun, berharap masih ada kehadiran Lea yang bisa kurasakan lewat
setiap tetesnya lalu tersenyum pahit.
Ketika
hujan berbisik… kau tak akan pernah tahu kenangan apa yang akan Ia bisikkan
pada kedua telingamu.
Ketika
hujan berbisik… kau tak akan pernah menyadari bagaimana Ia membawa jiwamu
pergi… Berkelana dalam ingatan yang bahkan tak ingin kau ingat.
Ketika
hujan berbisik… kau dan dia yang masih membeku dalam ingatan hanya bisa
berserah… membiarkan Ia menjejalkan beribu macam kenangan dalam pikirmu.
Dan
suatu hari, ketika hujan berbisik lagi… kau akan tahu bahwa kau, pikiranmu,
hatimu… sudah cukup kuat untuk mendengarnya sambil tersenyum.