Kamis, 12 Januari 2012

Dag Dig Dug!


Dua insan berlainan jenis itu terdiam. Hanya dua cangkir kopi yang sejak lima menit yang lalu beradu dengan alasnya. Saling menatap juga seakan ditabukan bagi kedua manusia yang sedang sibuk menahan debarannya masing-masing ini dan memilih meredamnya dalam secangkir kopi. Sebuah kedai kopi yang hanya diisi pengunjung serta pegawai yang berjumlah tak sampai sepuluh orang memberikan suasana yang agak hening bagi mereka berdua. Ya, suasana yang cukup hening sehingga mereka mungkin bisa mendengar debaran jantung mereka sendiri.
"Kau..." si pria memilih untuk mengakhiri kebisuan yang terjadi sejak tiga puluh menit yang lalu.
"Ya?"
Tindakan wanita itu yang menyela kalimatnya membuatnya memilih untuk diam lagi. Dan lagi-lagi dua cangkir kopi di depan mereka lah yang terlihat lebih ‘hidup’.
"Kau tak jadi menikah?"
Akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Genggaman pria itu pada cangkir kopi yang baru saja akan diminumnya terlihat menguat. Semuanya harus diutarakan, sebelum acara makan siang ini berubah menjadi makan sore.
"Kalau aku menikah, mana mungkin aku mendaftar ke biro jodoh?"
Kini giliran wanita itu yang terlihat tegang. Rasa marah, rindu dan bingung bercampur dalam tatapan matanya untuk pria itu.
"Jadi apa kesibukanmu sekarang?" tanya pria itu lagi.
"Kurasa kau tak perlu menanyakannya. Kita sama-sama tahu kan profesi pengacara itu seperti apa."
Nada sinis yang muncul dari ucapan wanita itu membuat si pria sadar bahwa rasa benci itu belum memudar. Secara sembunyi-sembunyi Ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru dari kantongnya. Kotak yang sampai sekarang belum dibuka oleh sang penerima hadiah karena memang Ia belum menerimanya sama sekali.
"Sudah kuduga kau masih membenciku…" kata si pria tanpa mengalihkan pandangannya dari kotak itu.
"Dan itu wajar."
"Ya, aku tahu."
Dan wanita itu tak dapat lagi menahan dirinya untuk berdiri. Diletakannya beberapa lembaran Rupiah seharga kopi yang dipesannya tadi lalu berjalan meninggalkan pria itu. Tapi langkahnya berhasil dijejeri oleh si pria yang kini sudah menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Mereka berpelukan cukup lama, melepas semua rasa sakit, rindu, sayang yang dulu sempat terjamah oleh kata penghianatan. Ya, penghianatan yang direkayasa oleh pria itu untuk memberi kejutan sebelum melamar si wanita. Yang akhirnya malah membuat hubungan mereka retak.
Tapi kini semuanya akan mereka mulai dari awal lagi, saat si pria berlutut sambil memberikan sekotak cincin pada wanita itu dan berkata, “Dari awal memang hanya ada kau, tak pernah ada yang lain.”
“Tapi wanita itu?”
“Semuanya bisa kujelaskan.”
Dan sebegitu mudahnya wanita itu memaafkan si pria, memeluk dan berkata “Iya” sambil merasakan degupan jantung mereka yang bersahut-sahutan dalam rongga dada masing-masing. Lalu mereka tersenyum, tak menghiraukan tatapan sakit dari wanita lain yang menatap mereka dari sudut kedai kopi. Wanita yang dulu pernah dimintai tolong untuk menjadi bagian dari sandiwara acara lamaran si pria. Wanita yang entah bodoh atau apa, merancang pertemuan yang terjadi siang ini tanpa diketahui oleh dua orang yang sedang larut dalam dunia mereka sendiri. Wanita yang tak pernah membiarkan pria itu tahu bahwa Ia memendam rasa cinta pada pria itu. Wanita itu, Aku.
Dan ‘Dag dig dug’ yang kurasakan sejak satu jam yang lalu kini berubah menjadi rasa sakit.

4 komentar:

  1. beugh, lamaran dengan sandiwara??? bad idea

    BalasHapus
  2. Waduh...

    Sabar ya, Stany...
    Laen kali minta dicomblangin aja, jangan nyomblangin orang *eh :p

    BalasHapus