Dua insan berlainan jenis itu
terdiam. Hanya dua cangkir kopi yang sejak lima menit yang lalu beradu dengan
alasnya. Saling menatap juga seakan ditabukan bagi kedua manusia yang sedang
sibuk menahan debarannya masing-masing ini dan memilih meredamnya dalam
secangkir kopi. Sebuah kedai kopi yang hanya diisi pengunjung serta pegawai yang
berjumlah tak sampai sepuluh orang memberikan suasana yang agak hening bagi
mereka berdua. Ya, suasana yang cukup hening sehingga mereka mungkin bisa
mendengar debaran jantung mereka sendiri.
"Kau..." si pria
memilih untuk mengakhiri kebisuan yang terjadi sejak tiga puluh menit yang
lalu.
"Ya?"
Tindakan wanita itu yang menyela
kalimatnya membuatnya memilih untuk diam lagi. Dan lagi-lagi dua cangkir kopi
di depan mereka lah yang terlihat lebih ‘hidup’.
"Kau tak jadi menikah?"
Akhirnya pertanyaan itu muncul
juga. Genggaman pria itu pada cangkir kopi yang baru saja akan diminumnya
terlihat menguat. Semuanya harus diutarakan, sebelum acara makan siang ini berubah
menjadi makan sore.
"Kalau aku menikah, mana
mungkin aku mendaftar ke biro jodoh?"
Kini giliran wanita itu yang
terlihat tegang. Rasa marah, rindu dan bingung bercampur dalam tatapan matanya
untuk pria itu.
"Jadi apa kesibukanmu
sekarang?" tanya pria itu lagi.
"Kurasa kau tak perlu menanyakannya.
Kita sama-sama tahu kan profesi pengacara itu seperti apa."
Nada sinis yang muncul dari
ucapan wanita itu membuat si pria sadar bahwa rasa benci itu belum memudar. Secara
sembunyi-sembunyi Ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru dari kantongnya.
Kotak yang sampai sekarang belum dibuka oleh sang penerima hadiah karena memang
Ia belum menerimanya sama sekali.
"Sudah kuduga kau masih
membenciku…" kata si pria tanpa mengalihkan pandangannya dari kotak itu.
"Dan itu wajar."
"Ya, aku tahu."
Dan wanita itu tak dapat lagi
menahan dirinya untuk berdiri. Diletakannya beberapa lembaran Rupiah seharga
kopi yang dipesannya tadi lalu berjalan meninggalkan pria itu. Tapi langkahnya
berhasil dijejeri oleh si pria yang kini sudah menarik tubuh wanita itu dalam
pelukannya. Mereka berpelukan cukup lama, melepas semua rasa sakit, rindu,
sayang yang dulu sempat terjamah oleh kata penghianatan. Ya, penghianatan yang
direkayasa oleh pria itu untuk memberi kejutan sebelum melamar si wanita. Yang
akhirnya malah membuat hubungan mereka retak.
Tapi kini semuanya akan mereka
mulai dari awal lagi, saat si pria berlutut sambil memberikan sekotak cincin
pada wanita itu dan berkata, “Dari awal memang hanya ada kau, tak pernah ada
yang lain.”
“Tapi wanita itu?”
“Semuanya bisa kujelaskan.”
Dan sebegitu mudahnya wanita itu
memaafkan si pria, memeluk dan berkata “Iya” sambil merasakan degupan jantung
mereka yang bersahut-sahutan dalam rongga dada masing-masing. Lalu mereka tersenyum,
tak menghiraukan tatapan sakit dari wanita lain yang menatap mereka dari sudut
kedai kopi. Wanita yang dulu pernah dimintai tolong untuk menjadi bagian dari
sandiwara acara lamaran si pria. Wanita yang entah bodoh atau apa, merancang
pertemuan yang terjadi siang ini tanpa diketahui oleh dua orang yang sedang
larut dalam dunia mereka sendiri. Wanita yang tak pernah membiarkan pria itu
tahu bahwa Ia memendam rasa cinta pada pria itu. Wanita itu, Aku.
Dan ‘Dag dig dug’ yang kurasakan
sejak satu jam yang lalu kini berubah menjadi rasa sakit.
beugh, lamaran dengan sandiwara??? bad idea
BalasHapusTapi ceritanya ga bad story kan? ;)
HapusWaduh...
BalasHapusSabar ya, Stany...
Laen kali minta dicomblangin aja, jangan nyomblangin orang *eh :p
Lah..
HapusComblangin dong, Tam. :p