Sabtu, 29 Desember 2012

Gambar gaje

Tadi temen-temen YL Manado rencananya mau bikin kaos tuh, mau pake gambar ini.



Jumat, 28 Desember 2012

Blog lirik ^^

Nah nah... berhubung kadang susah nyari blog terjemahan bahasa Indonesia buat lagu-lagu yang saya suka, jadi apa salahnya bikin sendiri. -_-

Nih blognya : http://mylyricstranslation.wordpress.com/

Mudah-mudahan keurus ._.

Rabu, 19 Desember 2012

Harus Terpisah (?)

Ia memandang linimasa dengan malas, entah kenapa Ia tak bisa menikmati semua permainan ini lagi. Sebaris keluhan telah Ia lontarkan, tapi saat yang lain bertanya mengapa Ia hanya berkata "aku baik-baik saja." Kebohongan seperti ini sudah biasa.

Rabu, 28 November 2012

O Poor Lil' Fairy

O poor lil' fairy, lost her way to fairyland.
She has no flying dust in her pocket anymore.
"Where am I?" she asked, but no one answer it.

O poor lil' fairy, asking the way to home to invitation sender.
"I'm trapped too," said that person, "Sorry, I've invited you."

O poor lil' fairy, tried to fly but she cannot.
Did she forget the way to fly?
O poor lil' fairy, o poor lil' fairy.

posted from Bloggeroid

Selasa, 27 November 2012

갇혀

"Merindukan dunia itu di masa yang dulu? Aku lebih merindukan hidupku sebelum mengenal dunia itu." - Anonim

Senin, 19 November 2012

Faker

I love you, even I knew it hurts.
I stay next to you
but I crying in my heart.

Rabu, 14 November 2012

Wisata Tengah Malam

Well... postingan ini ditulis di tengah perjalanan menuju kampung halaman. Kenapa pulang jam segini? Ya ada ceritanya. Ceritanya apa? Ya saya ga bisa cerita.

Jangan gampar saya, sobat.

Berhubung bosan dan ga tau ngapain dalam mobil yaiks (?) si galau bergalau di mari aja. Walaupun ga ada yang penting, ya udah si galau bacot suka-suka aja.

Serem, ga mau liat jendela. (Derita siapa?)

Ga jelas bener. (Emang)

Nulis apa lagi ya? (Tidur aja woiii!)

Ya udah tidur. (Dari tadi kek!)

Oke sip... dadahhh.
/

Jumat, 02 November 2012

#PantunGaje

Di sela-sela kestressan si galau, si galau suka ngepantun loh. Yuk mari dibaca. Cek cek cek!

6 Okt :
"Nyari harta sambil makan sagu
Kalo cinta, kenapa harus  ragu?"

"Beli angsa di Bekasi,
Kalo ada rasa, kenapa harus gengsi?"

7 Okt :
"Makan pepaye di musim kemarau,
 Ciyeeeeee....... galau."

"Ian Kasela nonton teater,
Si Ga****la kepincut stalker."

"Ada bazooka, ada meriam.
Kalo suka, kenapa mesti diam?"

"Pesan keris sama mbah Panca.
**** manis punyanya ***"

9 Okt :
"Ngeliat Pegi jalan sama Drajat,
selamat pagi orang-orang hebat."

"Om brewok suka mewek,
cowok kok kayak cewek?"

11 Okt :
"Sore-sore makan es,
Hore-hore! Aku stress."

22 Okt :
Ke kebun binatang liat monyet girang,
Monyetnya dikasih biji pala.
Ku kan berdendang tuk masa gemilang,
merdu lagunya syalalala..."

JLEB!

"Bila Tuhan berada di pihak kita, siapakah lawan kita?" - Kakak baik hati *LOL

Jedeng!
Si galau lagi galau (lagi).
Berhubung blognya sepi kayak kuburan -karena satu-satunya setan yang ada di sini cuma Se-tany- jadi galau di mari aja.

Selasa, 30 Oktober 2012

Sabtu, 08 September 2012

P. S. I Love You

Delay...”

Aku melirik jam besar yang menggantung di dinding dekat salah satu loket check-in lalu mengalihkan pandanganku pada jadwal kedatangan pesawat pada hari ini. Waktu kedatangannya sudah lewat. Seharusnya pesawat jenis Boeing 737 yang bertolak dari Narita itu sudah mendarat sejak 45 menit yang lalu, tapi tentu saja penundaan seperti ini memang sering terjadi.

Selasa, 04 September 2012

A Letter from a... Stalker

“@You : @He Dia memang hiatus dari sini, tapi dia ga pernah hiatus nge-stalk.”

Dia mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan diri dengan sinar matahari yang masuk dari ventilasi kamarnya dan tanpa kasihan menyerang indera penglihatannya. Pagi kelima di bulan September, masih dengan rasa gerah yang diberi musim panas, dia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di rumah saja hari ini. Dengan posisi yang masih meringkuk dengan selimut yang sudah tak beraturan posisinya, dia mulai meraba-raba di sekitar tempat tidurnya, lalu tersenyum.

Minggu, 02 September 2012

The "Role" (I Left Now)

Sign in.

Dia memilih untuk mengarahkan kursor pada tulisan tersebut, pada bagian atas dari halaman social network yang baru saja dibukanya. Dengan ragu-ragu mengetikkan sebuah username dan password, lalu menekan ‘Enter’. Dia tersenyum tipis saat melihat tampilan layar yang berubah, memperlihatkan sederetan nama yang akan membuat orang lain bingung bila baru pertama kali tersesat di tempat ini, lalu mulai menilai. Topik apa yang sedang dibahas oleh linimasanya sekarang ini?

Minggu, 22 Juli 2012

Randooooom.

Hari ini, jauh dari hiruk pikuk kota, aku menatap hamparan langit biru dengan langit yang mulai memerah. Ombak yang menerpa batu-batu besar di pantai desa Lilang dan suara anak-anak yang bermain "domikado" di belakangku membuatku tersenyum.
"Kak Stan! Ke sini kwa, jangan talalu lama bagalau..." salah satu juniorku dan temanku di kampus memanggilku dan akupun bergabung.
Hari semakin sore, suara "domikado" yang tadi sudah menghilang. Ternyata mereka kini sedang berlomba siapa yang paling jauh melempar batu.
"Satu... Dua... Tiga..." beberapa batu melesat di udara lalu menghilang ditelan laut, kemudian anak-anak itu tertawa. Ya, tertawa. Sederhana sekali ya alasan mereka untuk tertawa?
Random. Mungkin saya galau karena ga ada signal. LOL Tapi kegalauan saya terbayar dengan melihat ciptaan Tuhan yang satu ini.

Lilang, 22 Juli 2012
PJPnas KMK FK Unsrat, "Warna-warni keluarga"


posted from Bloggeroid

Kamis, 14 Juni 2012

Jingga di Ujung Senja

"Apakah kau tak bisa berhenti melakukan hal bodoh seperti itu?"
"Itu bukan hal bodoh, bu."
"Kau itu perempuan, Laras!"
"Lalu?"

Pertengkaran yang terjadi tadi pagi masih jelas dalam ingatanku. Aku memang tak pernah bisa sependapat dengan Ibu. Gayaku yang tomboi dan cuek memang tak pernah bisa diterima oleh ibu sehingga kami sering terlibat dalam pertengkaran.

Puncak pertengkaran antara aku dan ibu terjadi pagi tadi. Saat aku mengatakan tak ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah dan mengejar mimpiku untuk menjadi seorang pelukis. Tapi ibu tak bisa mengerti apa yang kuinginkan, ia terus memaksaku untuk kuliah di fakultas ekonomi. Bekal untuk meneruskan usaha keluarga katanya.

Tapi bukan Laras namanya kalau sepakat dengan permintaan ibu. Yang kulakukan selanjutnya adalah menenteng tas ranselku, menyumpal telingaku dengan earphone yang menyenandungkan lagu bervolume maksimum, lalu melangkah menuju pintu rumah tanpa mendengar omelan ibu. Jembatan Ampera, sungai Musi, tempat itulah yang menjadi tujuanku selanjutnya.

*

Sungai Musi di saat senja menyambutku dengan pantulan warna jingga dari Langit. Sangat indah, benar-benar membuatku ingin menyentuhnya. Belum pernah terpikir bagiku untuk melakukan hal ini, tapi saat ini aku sudah tak peduli lagi.

"Aku sudah siap."

Tubuhku meluncur ke bawah, mengikuti grafitasi bumi. Bayangan langit jingga terlihat semakin dekat, dan aku tertawa.

Langit jingga di ujung senja yang memantul di sungai Musi, ijinkan aku menyentuhmu.

*

"LARAS!"

Teriakan terdengar di atas jembatan Ampera. Seorang gadis berlari dengan gembira sambil mengangkat tinjunya tinggi-tinggi ke udara. Ya, gadis itu aku. Aku baru saja melakukan atraksi bungee jumping dari atas jembatan Ampera, melakukan hal yang jelas-jelas dilarang oleh ibuku.

"Kau keren! Apa kau berhasil melakukannya?" kata Edo sambil menepuk pundakku keras-keras. Mungkin ia lupa kalau aku masih perempuan.

"Menyentuh langit jingga yang terpantul di sungai musi? Tentu saja..." kataku lalu kamipun tertawa.

Jingga di ujung senja di sungai Musi menghilang ditelan malam. Aku dan teman-temanku menatap warna sungai Musi yang berubah menjadi hitam. Semuanya terdiam, mungkin merenungi petualangan baru yang kami lakukan hari ini. Mungkin berjanji bahwa ini tak akan menjadi yang terakhir. Mungkin...

Jingga di ujung senja yang memantul di sungai Musi, aku akan menyentuhmu lagi.


posted from Bloggeroid

Selasa, 12 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan

“Aku ingin mencintaimu seperti pagi…”

“Ndra! Hati-hati!”

Teriakan Wulan menghentikan aktifitas memotretku dan membuatku sadar kalau aku hampir terjatuh saat mencoba memanjat batu granit yang berada di tepi pantai ini. Pulau Lengkuas, sebuah pulau yang terletak di arah Utara Tanjung Binga kali ini menjadi tempat kami berpetualang. Pantainya sangat indah, hasil perpaduan dari pasir putih yang terhampar di pulau ini dan air laut yang jernih. Pepohonan hijau yang memagari pantai pulau ini juga membuat pulau ini semakin indah.

“Hehe… maaf, Lan. Keasikan motret,” kataku sambil membentuk huruf V dengan jariku, tanda berdamai.

“Ck, ceroboh…” gerutunya lalu menarik tanganku agar segera menjauh dari batu-batu granit tersebut. Wajahnya benar-benar terlihat kesal saat ini, aku jadi merasa sedikit bersalah. Memang salahku yang selalu tidak hati-hati karena terbawa suasana saat memotret dan Wulan tahu itu. Karena itu ia selalu bersikeras untuk ikut denganku ke manapun aku pergi saat kantor sedang libur. Walau sebenarnya aku yang lebih ingin memaksa dirinya untuk berada pada setiap petualanganku.

“Ayo ke mercusuar saja. Kau tak ingin kehilangan kesempatan untuk memotret saat matahari terbit kan?” Lamunanku terhenti saat Wulan menggandeng tanganku, menuntunku melewati perairan dangkal yang tadi kulewati saat ingin mencapai batu-batu granit tersebut. Wajahnya sudah tidak kesal lagi. Ia memang penyabar dan pengertian.

Wulan memang benar, aku tak ingin melewatkan momen tersebut. Mercusuar ini memang tujuanku untuk datang ke pulau Lengkuas. Aku sempat mencari data-data tentang pulau Lengkuas dari internet dan benar-benar tertarik melihat bangunan tunggal yang berdiri di pulau ini. Aku bahkan menolak usul Wulan untuk datang saat hari sudah siang dan bersikeras untuk menginap di pulau ini karena ingin memotret matahari terbit dari atas mercusuar.

Mercusuar ini dibangun oleh Belanda pada tahun 1882 dan masih berfungsi dengan baik. Katanya, kita bisa melihat semua pemandangan di pulau ini dari mercusuar tersebut. Dan benar saja, aku benar-benar terpesona saat tiba di lantai paling atas dari mercusuar ini. Mulutku membuka secara sempurna saat melihat kekayaan alam yang ada di hadapanku.

“Luar biasa,” kataku lalu mulai memotret. Walaupun saat ini matahari belum muncul, tapi keindahan yang dimiliki oleh pulau ini sudah mulai terlihat. Tapi tentu saja hal terindah yang pernah kulihat ada di sisiku, dan saat ini ia sedang tersenyum seiring cahaya keemasan yang mulai menerangi pulau ini.

“Cantik, ya.” Refleks, aku mengatakan hal tersebut saat melihat wajah Wulan yang tersenyum. Secara sembunyi-sembunyi memotret satu senyuman lagi yang akan bergabung dengan potret dirinya yang lain.

“Iya…” katanya tak sadar bahwa maksudku adalah dirinya dan bukan keindahan alam yang kami lihat.
Matahari mulai terbit dari arah Timur Pulau Lengkuas. Dan saat kehangatan matahari menyelimuti kami berdua, sekali lagi aku tahu bahwa aku tak pernah salah memilih seseorang yang akan selalu kutempatkan di urutan terawal. Seseorang yang kuibaratkan sebagai pagi yang akan mengawali hariku. Seseorang yang selalu membuatku merasa beruntung karena memilikinya. Seseorang itu Wulan, istriku.

“Terima kasih sudah menemaniku dalam petualangan yang baru lagi…” aku menyelipkan jemariku di sela-sela jemarinya, dan aku selalu merasa bersyukur karena jemari itu tak akan pernah menolak.

“Sama-sama, Ndra.”


“… karena pagi adalah awal. Pagi kuning keemasan.”



posted from Bloggeroid

Menunggu Lampu Hijau

"Menanti saat kembali berkumpul bersamamu lagi seperti... menanti lampu merah yang tak kunjung berganti menjadi hijau."

"Jadi ini yang disebut Jam Gadang?" seorang gadis bersyal biru tua tersenyum samar saat mendongakkan kepalanya di depan menara jam yang ada di hadapannya. Ia sempat mencari tahu lewat internet tentang Jam Gadang dan menemukan fakta bahwa bangunan ini memiliki mesin yang sama dengan Big Ben, menara jam yang bersatu dengan Istana Westminster di kota London dan merupakan jejak dari negara Jerman yang tertinggal saat negeri ini sempat dijajah oleh Belanda. Sesaat gadis itu berpikir mereka seperti keluarga yang terpisah, namun akhirnya tertawa saat menyadari fakta bahwa hanya manusia yang punya keluarga.
 
Ia menyingkirkan pikiran konyol tentang kemungkinan kalau Jam Gadang dan Big Ben bersaudara lalu kembali fokus pada tujuannya berada di sini. Hari ini adalah hari pertamanya di Bukit Tinggi, hasil dari persekongkolan bodoh yang ia susun dengan suara asing yang menelponnya tepat ketika liburan kenaikan kelas dimulai. Lalu kenapa orang yang ia nantikan tak kunjung datang?
 
"Nunggu lama, ya?" akhirnya orang yang ia tunggu datang juga, pemilik suara asing yang benar-benar mirip dengannya. Tapi alih-alih tersenyum lega, ia hanya meniup ujung poni yang menutupi dahinya ---kebiasaan yang ia lakukan kalau sedang kesal.
 
"Kamu kesal karna nunggu aku ya? Maaf deh, Raya..."
 
"Huh... Tentu saja kamu harus minta maaf."
 
Raya menekuk wajahnya sambil menatap gadis itu, Disa, lalu meniup poninya lagi. Bersikap masa bodoh dengan permintaan maaf yang didengarnya tadi.
 
"Jadi... kamu mau muter-muter dulu atau?"

"Ga usah. Di sini aja. Ngomong-ngomong ide kamu apa?"
 
"Ide? Ga ada. Aku cuma pengen ketemu saudara kembarku aja."
 
"Kamu mau aku telen hidup-hidup ya?" Raya melotot pada Disa tapi yang dipelototi hanya tertawa.
 
Ia dan Disa adalah saudara kembar, tapi mereka harus hidup terpisah karena orangtua mereka bercerai. Jadilah mereka harus hidup terpisah. Raya bersama Papanya di Bandung dan Disa dengan Mamanya di Bukittinggi.
 
"Kapan ya lampu merah di hati Papa sama Mama berubah jadi hijau? Aku cape, Dis."
 
"Sama."
 
“Kira-kira kita bisa sama-sama kayak dulu lagi ga ya?”
 
“Aku juga ga tau, Ra.”
 
Mereka terdiam lalu menatap Jam Gadang yang berdiri di hadapan mereka. Sesaat memikirkan hal konyol tentang Jam Gadang dan Big Ben yang bersaudara seperti mereka, tapi harus terpisah.
 
Kapankah lampu merah itu akan berganti menjadi hijau? Saat ini mereka sama sekali tidak tahu. Tapi mereka akan segera mewujudkan hal tersebut. Pasti…
 
“Menunggu lampu merah menjadi hijau memang menyebalkan… tapi aku akan selalu menanti saat itu tiba. Semoga… lebih cepat dari yang kuinginkan.”

Senin, 11 Juni 2012

Rain

Aku melihat hujan perlahan turun
Satu demi satu
Langit mendung, matahari tak terlihat
Ke mana perginya cahaya? Ke mana perginya kehangatan?
Ke mana... Kamu?

Kuulurkan telapak tanganku
Mencoba menyentuh hujan
Mengingat setiap kepingan "kamu" yang ia bawa
Hujan selalu berkisah. Hujan selalu bertutur.
Hujan... Aku menangis

Dan kuharapkan hujan tak berhenti
Namun ku tahu itu tak akan mungkin
Bisakah esok hujan datang lagi?
Bawa kenangan tentangmu?

Aku melihat hujan perlahan turun
Satu demi satu
Dan aku mengingatmu

posted from Bloggeroid

Minggu, 13 Mei 2012

Lalalala... YUI17Melodies!



Yeahyeahyeah! Akhirnya setelah proses yang lumayan panjang (dari pemilihan cerpen, puisi dan flashfict plus ngedit draft bareng Tammy), buku ini nyampe juga di tangan saya. ^^
Awalnya sempat was-was, takut bukunya nyasar. Tapi pas kirimannya nyampe rasanya legaaaaaaaaa banget!

Buku ini diawali dengan cover keren karya Fheyb (makasih Fheyb ;D ) Suka banget sama covernya!

Cerita pertama adalah karya... Ehm... Saya. (_ _"!|) Agak aneh juga sih pas baca tulisan sendiri. Kayak ada yang kurang tapi ga tau kurangnya di mana. Mudah-mudahan tanggapan pembaca yang lain ga kayak gitu (Aminnn).

Terus lanjut ke karya si partner (hihi) yang selalu keren. Masalah yang diangkat dalam cerita ini adalah masalah umum yang tentunya pernah dihadapi seseorang.

Secara keseluruhan buku ini... Keren! Ga nyangka ternyata lagu YUI bisa menginspirasi para kontributor buku ini untuk mengisahkan lagu tersebut dengan versi mereka sendiri. Bagian favorit saya adalah karya Ganjar yang berjudul "Gadis yang dirantai", tapi bukan berarti saya ga suka cerita yang lain yaa. :D

Bagian terakhir ada bonus track berupa cerita pendek yang ditulis oleh... cari tau aja sendiri di bukunya. :p

Mau tau isi buku ini? Ayo buruan pesan ke nulisbuku.com. Semoga melodi lagu YUI yang kami beri melalui buku #YUI17Melodies juga bisa kalian rasakan. :D

Spread the writing virus and publish your dream!

P.S : Bonus foto gaje saya hahahah.


posted from Bloggeroid

Rabu, 09 Mei 2012

Aska si Penanya

Dahulu kala di sebuah dusun yang kecil, hiduplah seorang kakek dan cucunya Aska yang gemar bertanya. Saking seringnya ia bertanya, anak-anak yang tinggal di desa tersebut memberinya julukan 'Aska si penanya'.
Setiap hari ada saja pertanyaan baru yang ditanyakan Aska pada kakeknya. Bagaimana burung bisa memiliki sayap; mengapa daun berwarna hijau; apakah awan mendung memiliki musuh, dan pertanyaan tak masuk akal lainnya sudah pernah ditanyakan oleh Aska. Tapi kakeknya terus menjawab setiap pertanyaan Aska dengan sabar. Walau kadang Aska masih tidak merasa puas dengan jawabannya.
Suatu hari, saat matahari bersinar lebih terik dari biasanya, Aska berlari riang setelah pulang bermain. Dengan cepat ia mencari kakeknya lalu tersenyum saat mendapati kakeknya yang sedang asyik memberi makan perkutut peliharaannya.
"Kek, Kakek... Benarkah harta karun itu ada?" tanya Aska sambil terengah-engah karena baru habis berlari.
Kakek Aska sempat kebingungan mendengar pertanyaan Aska kali ini. Ia bahkan mengacuhkan kicauan perkutut kesqyangannya yang protes karena makan siangnya terganggu. Tapi karena Aska terus mendesak, akhirnya ia berkata, "Hmm... Semua manusia punya harta karun masing-masing."
"Benarkah? Kalau begitu kakek juga punya harta karun?"
"Tentu saja ada."
"Lalu... apa kakek punya peta harta karun juga?" Aska bertanya lagi, tapi kakek hanya tersenyum sambil membawa pisang sisa makan siang si perkutut lalu masuk ke dalam rumah.
Keesokan harinya Aska masih penasaran soal harta karun milik kakek. Ia lalu menghampiri kakek yang sedang membaca buku di teras.
"Kek, kakek... bisakah kakek meminjamkan peta harta karun kakek untukku?"
"Hmm... Peta harta karun?"
"Iya! Peta harta karun seperti milik bajak laut itu, kek!" seru Aska bersemangat.
Lagi-lagi kakek merasa bingung menjawab pertanyaan Aska. Tapi kakek tak kehabisan akal. Ia masuk ke dalam kamarnya, mengambil selembar kertas dan pensil, lalu mulai menggambar. Tak lama kemudian kakek keluar lalu memberikan kertas tersebut pada Aska.
"Ini petanya?" seru Aska lagi.
"Ya, itu petanya. Ikuti saja petunjuk yang ada di peta itu."
Tanpa pikir panjang Aska pun langsung mengikuti petunjuk pada peta yang digenggamnya. Berjalan memutar di kebun sayuran milik kakek, berdiri di depan sangkar perkutut selama 7 menit, dan perintah selanjutnya dilaksanakannya dengan senang hati. Tapi ujung-ujungnya Aska merasa kecewa karena tempat harta karun tersebut ternyata adalah kamarnya sendiri.
"Loh? Kenapa ujung peta ini malah kamarku, kek?" tanya Aska.
Kakek tersenyum mendengar pertanyaan Aska lalu mengambil peta tersebut. Dengan lembut kakek mengusap rambut Aska dan berkata, "Karena harta karun kakek ada di sini. Suatu hal bisa menjadi harta bukan hanya diukur dari seberapa mahal harganya atau kilau yang dimilikinya, tetapi bagaimana pentingnya hal tersebut bagi orang yang memilikinya. Dan karena hal terpenting yang kakek miliki ada di sini, jadi di sinilah harta karun kakek berada."
Aska menatap kakek lalu menatap ke arah kamarnya dan akhirnya menyadari maksud perkataan kakek. Harta karun bisa dimiliki oleh setiap orang asalkan mereka bisa lebih bersyukur dengan apa yang mereka punya. Dan bagi kakek dan juga Aska, harta karun mereka adalah... Keluarga.

posted from Bloggeroid

Rabu, 25 April 2012

Instagram ohh Instagram...

Akhirnya hari ini download Instagram buat si mungil galYoung. :)) Dan yang jadi korban uploadan saya adalah dua makhluk ini.

Hahaha. Siapa suruh make hp orang buat narsis-narsisan. Hihi. ^^

posted from Bloggeroid

Dan...

Ada saat di mana kita ---yang walaupun memiliki teman di mana-mana, merasa begitu kesepian. Begitu pula dengan saya yang akhir-akhir ini sibuk berkutat dengan proposal skripsi dan dengan tiba-tiba dilanda masalah, akhirnya sadar bahwa : ada banyak nama dalam kontak di handphone yang saya anggap sahabat namun tak bisa menjadi teman untuk berbagi masalah saya yang sekarang. Saya tahu ini bukan salah siapapun. Saya hanya mengalami apa yang pernah saya tulis di twitter, "terlalu sering berlagak kuat membuat kita lupa untuk berbagi air mata dengan orang lain."
Berada di fase ini membuat saya berpikir lagi. Apakah saya benar-benar mempercayai orang-orang yang percaya pada saya? Apakah saya sudah benar-benar menerima mereka sebagai orang yang berarti bagi saya? Nyatanya sampai saat ini saya belum bisa menjawab pertanyaan tersebut
Saya lebih memilih "menulis" daripada "bicara". Dan walau ini membuat saya terlihat seperti orang bodoh, akhirnya ini bisa menenangkan hati saya.

posted from Bloggeroid

Minggu, 01 April 2012

Menanti Bintang Jatuh


Kita membicarakan tentang impian
Tentang dunia yang berkilau di masa depan
Kaubilang kita kan menggapainya bersama
Ya, ku masih merasa ingin percaya

Senyum kita masih ada di sana
Abadi dalam sebuah bingkai foto berdebu
Kaubilang sinar itu kan jadi milik kita
Ya, ku masih tetap ingin percaya

Selalu dan selalu
Harapan itu bersenandung dalam hatiku
Sepasang tangan yang menemaniku menggapai bintang
Mengapa seakan menghilang?
Kini dan nanti
Kelip bintang masih ingin kuraih
Bila impian itu memburam, bila cahaya itu tak bisa kusentuh
Tak apa...
Aku masih menanti bintang jatuh

Dan kini aku merasa sendiri
Tapi aku masih mempercayai kata-katamu
Kita akan selalu terhubung,
layaknya bintang yang membentuk sebuah rasi

Selalu dan selalu
Harapan itu bersenandung dalam hatiku
Sepasang tangan yang menemaniku menggapai bintang
Mengapa seakan menghilang?
Kini dan nanti
Kelip bintang masih ingin kuraih
Walau segalanya menjadi mustahil, walau cahaya itu semakin menjauh
Tak apa...
Aku masih menanti bintang jatuh

Selasa, 27 Maret 2012

4: 41 - Kamu dan Es Krim Coklat

Kamu membuka kemasan es krim coklatmu dengan bersemangat lalu senyam-senyum sendiri. Pukul 16.41, sedikit terlambat dibanding hari-hari sebelumnya, kamu duduk di kursi taman. Kamu dan es krim coklat, lagi-lagi melewati sore bersama.
Dengan cepat kamu menggigit es krim coklatmu. "Enaknya!" kamu berseru tanpa mengalihkan pandanganmu dari bungkusan es krim coklat yang hampir habis. Kamu dan es krim coklat, lagi-lagi diam dalam dunia kalian sendiri.
Es krim coklatmu sudah habis, kamu pun beranjak dari kursi taman yang selalu menjadi kesayanganmu di sore hari. Siulan asal terdengar dari mulutmu, awalnya cukup keras, lalu akhirnya menghilang. Hari ini sebuah kesempatan terlewat lagi seperti sebelumnya.
"Kamu dan es krim coklat, kapankah bisa kuhampiri lebih dekat?"

Kamis, 15 Maret 2012

Hei...


Hei, katakan padaku
Ke mana perginya semua sanjungan?
Andai semua hanya imajinasi
Tawa mereka tak akan terdengar begitu nyata

Matahari yang bertahta di atas langit
Masihkah Ia menaungi diriku?
Angin yang bertiup terasa menusuk
Aku terhuyung di jalan menuju masa depan

Jumat, 09 Maret 2012

A Room in Our Hearts


Credit to : www.shutterstock.com

“Kau tak akan pernah tahu kapan cinta datang dan menetap dalam ruang kecil di hatimu,
Sampai akhirnya ruang tersebut terlanjur menjadi semakin besar.”

                “Aku akan menjemputmu di kantor…”
                Kalimat yang dibacanya lewat pesan pendek yang dikirim pria yang akhir-akhir ini mondar-mandir dalam hidupnya membuat Diandra mendengus. Kalau saja pesan singkat tersebut dibacanya beberapa hari yang lalu, saat Tian belum mengakui kebohongannya, mungkin Diandra akan tersenyum sepanjang hari sampai ia berhasil bertemu dengan Tian. Namun sekarang semuanya berbeda. Sekarang Diandra malah membenci pria itu setengah mati dan sempat bersumpah untuk tidak bertemu dengan Tian lagi.
                Namun Diandra selalu lemah dengan hal-hal yang berhubungan dengan Tian. Ia malah mengiyakan saat Tian berkata ia akan datang ke kantornya.
Diandra merogoh dalam isi tas kerjanya dan menemukan headphone. Seperti yang sudah-sudah saat sedang stress, ia pasti akan mendengarkan musik. Perlahan sebuah lagu mengalir di kedua telinganya.
Aku tak bisa membencimu
Aku anak yang cengeng
Kau berpura-pura tidak tahu
Oh, caramu licik, kan?*
Sekelebat bayangan melintas dalam pikirannya. Pria itu, pria yang selama ini mengaku sebagai pengagum rahasianya sejak masa SMA, ternyata tak lebih dari seorang pembohong.
“Pria itu pembohong, Diandra… Lupakan dia…” batinnya terus menyuarakan kalimat yang sama. Namun seperti kaset rusak yang selalu mengulang bagian yang sama, ingatan tentang pria itu terus berputar dalam pikirannya. Tanpa disadarinya pria itu sudah mendominasi sebagian besar ruang di hatinya. Otaknya ingin membuang jauh-jauh ingatan tentang Tian, tapi ia tahu hatinya tak berkata seperti itu.
Ingatan Diandra kini beralih pada kejadian setahun yang lalu. Reuni sekolah yang diadakan setelah lima tahun kelulusan mereka yang berhasil mempertemukannya dengan pria itu lagi. Saat itu Diandra baru saja pulang dari kantor dan Vera dengan teganya berhasil menyeret Diandra untuk ikut dalam reuni itu. Walau sebenarnya Diandra merasa tak perlu ikut.

Satu tahun yang lalu…
                “Eh, lihat di sana!”
                Sepasang mata milik gadis yang mengenakan blazer biru muda itu mengikuti arah yang ditunjuk oleh sahabatnya, lalu akhirnya memiringkan kepalanya sambil memasang tampang bosan, seolah sosok yang dipandanginya tadi tak menarik sama sekali. Di ujung sana berdiri seorang pria dengan penampilan ala pegawai kantoran namun saat ini kemejanya sudah digulung ke atas sehingga memberi kesan yang lebih santai. Pria itu, Tian, sepertinya belum bisa menanggalkan status pria pujaan yang disandangnya semasa sekolah dulu. Terbukti dari gerombolan wanita yang berdiri di sekelilingnya dan secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka pada pria tersebut.
                “Kamu masih ngefans sama dia? Ya ampun, Vera! Sudah berapa tahun sejak kita lulus SMA dan kamu masih tetap suka sama Tian? Ternyata kamu nggak berubah, ya…” gadis berblazer biru muda itu menatap sahabatnya Vera dengan tatapan tak percaya, sementara Vera hanya bisa membalasnya dengan sebuah dengusan. Hari ini mereka memang sedang menghadiri reuni yang diadakan oleh SMA mereka, dan Vera – entah bisa dikatakan beruntung atau tidak – akhirnya bisa bertemu lagi dengan senior yang sempat diincarnya dulu semasa mereka masih sekolah.
                “Aku nggak habis pikir bisa-bisanya ada cewek yang nggak ngefans sama si Tian. Dasar Alien!”
                “Dan Alien itu sahabatmu, kan?”
                Lagi-lagi Vera mendengus saat mendengar balasan dari sahabatnya – yang menurutnya lebih pantas disejajarkan dengan kaum Alien – sambil menggelengkan kepalanya. Sahabatnya Diandra memang seperti itu. Saat semua gadis di SMA mereka dulu belomba-lomba untuk merebut perhatian Tian, Diandra malah tidak ingat siapa Tian itu. Yang ia ingat adalah ia memang pernah bertemu satu kali dengan Tian di ruang guru saat hari pertama ia pindah ke SMA mereka. Tian sedang dimarahi bersama seorang murid laki-laki lain karena berkelahi dan Diandra tak begitu peduli untuk mengingat wajah Tian beserta murid lain yang ada di sebelahnya. Hari-hari selanjutnya sama saja. Diandra lebih memilih untuk menuju perpustakaan sekolah di saat Vera dan gadis-gadis lainnya dengan hebohnya menyoraki Tian saat jam istirahat. Cara yang berhasil untuk tidak mengingat wajah pria pujaan gadis satu sekolahan. Ia baru tahu siapa itu Tian saat hari kelulusan dan Tian diundang untuk maju ke depan untuk menerima penghargaan karena prestasinya di bidang olah raga.
                “Ya, sudah. Aku pergi dulu, ya?” Diandra beranjak dari meja tempat ia dan Vera duduk tadi, hendak melangkah ke arah pintu. Namun belum sempat ia melangkah lebih jauh, Vera sudah menarik tangannya lalu menatapnya dengan pandangan curiga.
                “Jangan bilang kamu masih penasaran sama pengagum rahasia yang selalu memasukkan surat ke dalam tas kamu waktu kita masih SMA! Kamu mau nyari dia sekarang, kan?” Vera memicingkan matanya sambil menatap Diandra lekat-lekat.
                “Siapa bilang? Aku harus pulang, Bodoh. Kasihan Mama di rumah sendirian,” Diandra tersenyum kecil pada sahabatnya itu lalu melangkah lagi ke arah pintu. Pesta mungkin masih panjang, tapi ia tahu ada sosok yang lebih penting yang tengah menunggunya saat ini. Ia tak bisa berlama-lama meninggalkan Ibunya sendirian di rumah. Terakhir kali Diandra meninggalkan Ibunya untuk tugas luar, Ia malah mendapati Ibunya yang meringkuk di tempat tidur sambil memeluk bingkai foto keluarga dan masih menggunakan baju yang sama seperti saat Diandra berpamitan.
Sebenarnya dugaan Vera tak sepenuhnya keliru, Diandra memang masih penasaran dengan pengagum rahasianya itu. Ia pun sempat menoleh ke arah taman yang dulunya sempat ditulis dalam surat yang dikirim oleh pengagum rahasia itu sebagai tempat pertemuan mereka. Tapi sayangnya baik hari saat perjanjian itu dilakukan, hingga reuni sekolah mereka setelah lima tahun terlewati, Diandra bahkan tak pernah bisa melihat bayangan pria tersebut.
Bus yang dinaikinya melaju menembus kelap-kelip lampu kota yang mulai bermunculan seiring datangnya malam. Bulan yang masih bersembunyi di balik awan membuat Diandra bertanya-tanya; sedang bersembunyi dari siapakah bulan itu? Tapi belum sempat pertanyaannya terjawab, bus tersebut sudah terlanjur berhenti pada halte dekat rumahnya. Poster-poster yang ditempel di tiang halte beberapa bulan yang lalu kini sudah berganti dengan poster yang baru. Ditimpa begitu saja pada tempat yang sama hanya karena poster tersebut sudah tidak menarik dan mulai terkelupas. Begitulah, yang lama, yang sudah tak berharga dan terlihat jelek sesegera mungkin akan digantikan oleh sesuatu yang baru. Sungguh menyedihkan jika ada manusia yang memiliki pola pikir seperti itu, tapi sayangnya itulah yang terjadi dalam keluarganya. Ayahnya pergi meninggalkan Ibunya karena tergoda pada wanita lain yang umurnya lebih muda. Apakah Ayahnya akhirnya masuk dalam kumpulan manusia yang berpola pikir seperti di atas? Sepertinya, iya.
                Diandra baru saja menutup pintu rumah ketika ia menangkap sebuah sosok wanita paruh baya yang tertidur di sofa dari sudut matanya. Ia bisa melihat bekas air mata yang belum mengering di pipi Ibunya. Sebuah bingkai foto berada dalam pelukannya, sebuah foto keluarga.
 “Ma…” Ia mengusap pipi Ibunya secara perlahan lalu mengambil posisi duduk pada lantai sambil merebahkan kepalanya di atas sofa. Ia bisa melihat kerutan di wajah Ibunya yang menua pada jarak sedekat itu. Sudah lewat empat tahun sejak peristiwa itu terjadi, namun Ibunya belum bisa merelakan Ayahnya yang berselingkuh dengan wanita lain.
Diandra menatap Ibunya lagi lalu membiarkan matanya yang mengantuk menutup begitu saja. Satu hari yang sibuk berhasil dilewatinya lagi. Entah apa yang akan dibawa oleh hari esok, ia tak mau memikirkannya.
***
Diandra adalah tipe orang yang tak suka membuang-buang waktu untuk melakukan hal yang tidak penting. Bagi orang lain mungkin dunia ini seperti sebuah taman bermain, tapi baginya? Dunia ini adalah medan perang. Tak ada waktu untuk bersantai-santai.
Tapi akhirnya Diandra yang begitu menghargai waktu harus rela membuang beberapa menit berharga dalam hidupnya dengan mematung karena sebuah surat yang menyembul dari kotak posnya pagi ini.
Dear Diandra,
        Aku tak pernah menyangka bisa bertemu denganmu lagi setelah sekian lama. Dulu aku sempat berpikir bahwa tak ada lagi kesempatan bagiku untuk mengejarmu lagi, tapi saat aku melihatmu sosokmu di malam reuni itu, aku tahu aku tak bisa mundur lagi…
                “Apa maksud…” ujar Diandra lalu membolak-balik surat tersebut dengan wajah bingung. Ia tak menyangka pengagum rahasia yang dulu selalu menyisipkan surat ke dalam tasnya kini beraksi kembali. Bedanya saat ini ia langsung menyambangi rumah Diandra dan menyelipkan suratnya ke dalam kotak pos.
                Diandra masih sibuk membolak-balik surat tanpa nama pengirim tersebut dan tak menyadari kehadiran seseorang yang telah berdiri di depannya.
                “Diandra?”
                Diandra terkesiap mendengar namanya disebut. Dan saat ia mengangkat kepalanya, seorang pria telah menatap dirinya dengan tatapan penuh minat. Kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut pria itu malah menambah kekagetannya.
                “Akhirnya aku menemukan rumahmu.”
                Pria itu Tian.
***
“Ruang di hati ini… Hanya tersedia untuk satu nama saja.”

“Kopi?” Tian menyodorkan segelas kopi yang dibelinya dari mesin minuman di kantor Diandra. Sudah sepuluh menit ia berada di situ, tapi Diandra sepertinya belum mau membuka mulutnya sama sekali.
                Ia tahu ini sepenuhnya kesalahannya. Dirinya tak bisa berpikir jernih saat Diandra dengan bersemangat bertanya padanya tentang pengagum rahasia yang dulu sering menyelipkan sebuah surat ke dalam tas Diandra dan langsung mengaku sebagai pengagum rahasia itu. Padahal hari itu ia hanya ingin melihat rumah Diandra saja dan berpikir tentang cara mendekati gadis tersebut. Diandra memang berbeda dengan gadis lainnya. Entah kenapa Tian tak pernah mendapat celah untuk mendekati Diandra. Bahkan sampai hari kelulusannya, ia tak pernah berhasil untuk mengajak Diandra berkenalan.
                “Diandra… Maaf…” Tian masih berusaha membujuk Diandra, tapi Diandra tak bergeming. Diandra terus menatap ke arah lain dan tak mau menatap Tian.
“Kamu tau, kan? Aku benci dibohongi…”
Tian mengangkat kepalanya lalu menyadari sorot mata Diandra yang menghunjam padanya.
“Ya, karena itu…”
“Kamu juga tau, kan? Bagaimana pria itu… Papaku… mengkhianati Mama?”
Tian tak bisa menemukan kata-kata untuk membela dirinya. Diandra benar, hatinya sudah terlalu sakit untuk menerima kebohongan lagi. Tapi Tian tak bisa melepas Diandra begitu saja.
                “Diandra…” Tian meraih sepasang tangan milik Diandra ke dalam genggamannya, “lihat ke dalam hatimu. Kamu pasti tau apa yang lebih penting.”
                “Aku nggak tau… sama sekali nggak tau…”
                Keheningan merayap di antara mereka. Tian memilih untuk menatap langit yang mulai gelap dari jendela kantor Diandra sedangkan Diandra mulai menyesap kopi yang dibelikan oleh Tian tadi. aroma Latte memenuhi ruangan saat Diandra membuka tutup dari gelas plastik tersebut.
                “Berjanjilah…” Diandra membuka mulutnya setelah kopi dalam gelasnya habis, “berjanjilah untuk menjadi diri sendiri mulai sekarang. Berhenti menggunakan embel-embel pengagum rahasia itu. Cintai aku sebagai Septian Rajasa, bukan yang lain…”
                Binar kebahagiaan muncul di mata Tian. Ia dan Diandra memang tak pernah bertengkar dalam jangka waktu yang lama, tapi ia tak menyangka kalau Diandra bisa memaafkannya kali ini.
                “Kira-kira apa yang akan terjadi besok, ya?” Diandra memutar posisi duduknya lalu menatap langit yang memerah saat senja tiba.
                “Entahlah… Tapi sepertinya semua akan baik-baik saja bila kita melewatinya bersama.”
                Tian menggenggam tangan Diandra dengan lembut lalu ikut menatap langit di luar sana. Matahari mulai menghilang di kaki langit. Ia tak peduli tentang apa yang akan dibawa oleh hari esok, namun ia tahu ruang di hatinya hanya ada untuk Diandra.
Buktikanlah cinta ini
Dan kita berdua kembali membicarakan tentang masa depan
Menghabiskan setiap hari tanpa peduli.*
                Ya, semua akan baik-baik saja bila mereka bersama.
***
                “Ada surat.”
                Tian mengikuti arah yang ditunjukkan oleh telunjuk Diandra lalu melihat ujung amplop yang menyembul dari kotak pos. Mereka baru saja pulang dari kantor Diandra dan tiba-tiba dikagetkan oleh sebuah surat yang berada dalam kotak pos dengan ciri-ciri yang sama dengan yang sering dikirimkan oleh pengagum rahasia itu.
                “Coba lihat apa lagi yang dia tulis sekarang?” Tian menarik surat tersebut dengan tidak sabaran lalu membaca isi surat tadi bersama Diandra. Dan mata mereka melotot hampir bersamaan saat membaca nama pengirim yang tertera di bagian akhir surat itu.
"Hah?!"
***
“Believe… Love will find a way.”

Seorang anak kecil bersayap tersenyum saat melihat sepasang manusia berlainan jenis terkejut menatap surat terakhir yang diletakkannya di kotak pos gadis tersebut.
Dear Diandra dan Tian,
        Aku sempat ragu saat mendapat tugas untuk menautkan benang merah di antara kalian. Apa kalian tahu? Sudah lama aku melihat benang merah antara kalian yang selalu menegang layaknya terkena sengatan listrik ketika kalian berpapasan. Tapi sayangnya entah kenapa benang tersebut tak kunjung bertaut. Aku tak tahu apa yang salah, sepertinya seluruh prosedur sudah kulaksanakan dengan benar.
        Aku mulai menulis surat untuk Diandra. Aku tahu mungkin ini agak konyol. Mana mungkin Cupid mengirim surat untuk manusia? Tapi begitulah, aku sudah putus asa dengan ketidakpedulian antara kalian berdua, jadi aku memilih untuk menempuh cara ini.
        Jadi, selamat! Akhirnya kalian menjadi pasangan. Aku berharap hubungan kalian akan awet (aku menjamin keawetan hubungan kalian. Aku Cupid, ingat?) sampai seterusnya.
        Selamat berbahagia, Diandra dan Tian. Tetaplah untuk saling menjaga cinta dalam ruang di hati kalian.

Sincerely,    

Cupid         
"Yang benar saja! Surat ini dari Cupid?!"
Anak kecil bersayap itu tersenyum saat mendengar namanya disebut lalu terbang menjauh dari dua manusia tadi. Akhirnya pasangan yang selama ini begitu sulit untuk disatukannya kini bisa saling mencintai dan ia sangat bahagia saat melihat benang merah antara keduanya saling bertaut dengan erat. Sepasang manusia berhasil menemukan takdirnya lagi. Who’s next?

Note : * : Lirik lagu YUI – a room

Rabu, 29 Februari 2012

Cinta di Musim Dingin

            “Jika bisa, aku tidak ingin memikirkan kesedihan
Tapi hal itu akan datang lagi, kan?”
                Natsu menatap salju yang turun dari balik jendela taksi yang dinaikinya. Hari ini ia harus meninggalkan semuanya, tepatnya mengembalikan sesuatu yang dari awal memang bukan miliknya. Belum-belum ia sudah merindukan kota ini, bagaimana ia bisa menghadapi kesepian yang akan muncul sedikit demi sedikit? Namun seiring dengan taksi yang mulai berjalan, demikian pula ia harus rela melepas kenangan manis yang dialaminya di kota ini.
                “Selamat tinggal…” ia memberikan lambaian terakhir pada deretan gedung yang mulai menjauh lalu meraih ear phone yang tergeletak di sisinya. Perlahan sebuah nada mengalun di telinganya. Lagu yang sama, lagu yang mereka sukai. Apakah mereka bisa mendengarkan lagu ini bersama lagi? Ia tidak tahu…
***
Awal musim dingin, di sebuah taman di Tokyo…
                Salju pertama baru saja mulai menyelimuti kota Jepang ketika Natsu melebarkan tangannya dan menghirup udara di sekelilingnya dengan bersemangat. Demi memenuhi permintaan saudara kembarnya, Yuuki, akhirnya ia kembali menapaki kota kelahirannya yang sudah ditinggalkannya selama tujuh tahun.
“Hanya selama liburan musim dingin...” begitulah yang dikatakan oleh Yuuki ketika memohon pada Natsu untuk kembali. Natsu memang tak bisa menolak setiap permohonan Yuuki, jadinya ia langsung menyanggupi permohonan tersebut.
                Ia baru saja berniat ingin berlama-lama bermain di dalam salju, ketika sebuah suara yang asing menyebut nama yang seharusnya bukan ditujukan untuknya.
“Yuu-chan?”
Natsu berbalik, menatap pria berkaca mata yang tersenyum kaku di hadapannya. Syal berwarna abu-abu terlihat sangat cocok dengan mantel putih yang digunakannya saat ini. Membuat pria itu terlihat lebih berkilau.
“Ya?”
                Kebohongan pertama sudah dimulai.
***
“Beruntung sekali, ya? Kita bisa melewati malam Natal bersama-sama lagi. Untung kau tidak jadi berlibur ke Paris,” Yuujiro tersenyum sambil menyesap Espresso yang masih panas. Senyumnya yang tak lagi kaku seperti tadi membuat Natsu sadar kalau pria ini tak tahan terhadap udara dingin.
Ia terus berceloteh sejak pertama kali mereka bertemu. Bahan obrolannya seakan tak ada habisnya. Ia bercerita tentang Ibunya yang tiba-tiba datang ke apartemennya yang kacau –Yuujiro langsung diomeli akibat tumpukan pakaian kotor yang tak dicucinya selama beberapa bulan–,  tentang nilai mata kuliahnya yang lulus secara ajaib, dan hal-hal lainnya yang menurut Natsu tak penting untuk didengarkan. Ia heran bagaimana bisa Yuuki yang pendiam bisa bertahan dengan pria secerewet Yuujiro. Kalau saat ini Natsu sedang menjadi dirinya sendiri, mungkin ia akan meladeni ocehan pria ini. Tapi menjadi Yuuki yang kalem berarti ia harus sebisa mungkin mengubah semua kelakuannya menjadi semirip Yuuki.
Awalnya ia berpikir berakting menjadi Yuuki adalah hal yang mudah. Ia hanya tinggal menyanggupi permintaan Yuujiro untuk kencan di hari-hari selanjutnya, menghabiskan waktu di taman bermain dan tempat lainnya yang menjadi tempat favorit bagi Yuujiro dan Yuuki, serta hal-hal lain yang biasa mereka lakukan.
Tapi ternyata semuanya tidak mudah. Terlalu sering berada di sisi pria ini dan bergandeng tangan dengannya membuatnya merasakan hal yang lain. Cinta, sesuatu yang tak masuk dalam perjanjian antara Yuuki dan Natsu. Tapi ia tak bisa berbohong. Ia mencintai pria ini, dan ia berharap musim dingin kali ini akan lebih panjang dari biasanya.
***
            “Aku akan pulang besok, Na-chan!” seru Yuuki dari telepon yang berada di telinga Natsu.
“Kau… Pulang?” sahut Natsu terbata saat mendengar teriakan Yuuki.
“Tentu saja! Memangnya kau berharap aku tak akan kembali menjadi Yuuki?”
Rasanya Natsu ingin menangis saat itu juga. Kenangan musim dingin yang dilewatinya bersama Yuujiro seakan berjalan mundur di kepalanya. Akhirnya kebohongan ini harus diakhiri.
“Aku sudah memesan tiket ke London untukmu. Terima kasih ya, Na-chan… Banyak yang ingn kuceritakan tentang liburanku, tapi sayangnya kau juga harus segera pulang, kan?”
            Perkataan Yuuki barusan membuat Natsu tersadar. Musim dingin akan segera berakhir dan itu artinya ia harus segera kembali ke London untuk melanjutkan kuliahnya.
“Ya… Sayang sekali ya, Yuu-chan…”
            Sayang sekali, hanya itu yang bisa dikatakannya. Sayang sekali ia menyanggupi untuk ikut dalam sandiwara ini. Sayang sekali ia harus mengenal Yuujiro. Sayang sekali… ia jatuh cinta.
***
Akhir musim dingin, Bandara Narita…
            Natsu menghirup udara di sekitarnya sebanyak-banyaknya. Ia ingin merasakan atmosfer Negara ini sebelum ia benar-benar meninggalkannya. Secercah harap muncul dalam benaknya, ia berharap mungkin saja Yuujiro akan berlari ke arahnya, menerobos warna-warni manusia dengan koper di tangan mereka, lalu memeluknya erat. Tapi saat ia berbalik lagi, tak ada sosok Yuujiro yang muncul di hadapannya.
            Yuujiro sudah menjadi milik Yuuki lagi.
            Kecewa, hanya itu yang dirasakannya saat ini. Ia lalu menyeret kopernya untuk beranjak menuju pesawat, tapi sebuah suara membuat langkahnya berhenti seketika.
“Natsu! Jangan pergi!” Sosok seorang pria berlari ke arahnya lalu langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Yuujiro? Kenapa? Yuuki…”
“Dari awal aku dan Yuu-chan hanya bersahabat. Apa kau tak tahu? Kami memang sering menghabiskan waktu bersama-sama, tapi itu bukan kencan. Namun denganmu… kurasa itu lain cerita. Aku mencintaimu…”
            Selamat tinggal hari-hari di musim dingin. Hari-hari saat aku menjadi orang lain. Selamat datang musim yang baru… selamat datang, cinta…

Senin, 27 Februari 2012

Serenade



Hei, kamu.

Aku tahu sosok yang selalu ada di matamu bukan aku. Tapi aku sudah terbiasa dengan ini, berpura-pura. Perlu kujelaskan seberapa banyak dusta yang kulakukan pada diriku sendiri? Dusta yang kubuat supaya aku tetap tegar di hadapanmu yang tak pernah menganggapku?
Tapi aku tak pernah bisa berhenti memikirkanmu. Kamu, yang selalu memesan secangkir Latte sejak pertama kali aku melihatmu. Apa kau tahu? Potret dirimu yang menghirup aroma yang menguar dari cangkirmu adalah momen terbaik dalam hidupku.
Aku tak bisa memikirkan bagaimana jadinya hidupku tanpamu, jadi bisakah aku menghentikan monolog ini dan menggantinya menjadi dialog antara aku dan kamu?
***
"Aku sering memikirkanmu…waktu tidak berhenti bagiku
Hatiku yang kosong masih belum bisa menemukan perasaanmu
Aku ingin mendengar “lagu cinta”-mu, Aku memandang wajahmu
Aku ingin mengenalmu, karena Aku telah bertemu denganmu”*
                Aku menyanyikan sebait lagu di bawah jendela itu. Jendelamu. Dan yang kunanti-nantikan terjadi, kamu membuka jendelamu, menatap diriku yang sedang berserenade untukmu. Kamu menatapku bingung dan bertanya.
“Apa yang kau lakukan?”
                Nyanyianku terhenti, tatapan bingungmu sudah berubah menjadi tatapan marah. Belum sempat kuungkap semua, kau sudah menutup jendelamu, dan kurasa jendela hatimu juga ikut menutup.
“Apa perbuatanku ini salah?” aku berteriak ke arah jendelamu. Tak ada jawaban. Apa tak ada kesempatan lagi untukku?
                Tapi tiba-tiba jendelamu terbuka lagi. Baru saja sebuah harapan muncul dalam hatiku, kau sudah menghancurkannya lagi.
“Pulanglah…” kau berkata dengan mimik yang datar lalu sekali lagi menutup jendela tersebut.
“Kumohon berikan Aku sayap dan percaya bahwa,
hanya dengan lagu ini,
Aku bersumpah
Aku telah memutuskan untuk menerima semua masa lalu…”*
                Bait terakhir dari Serenade yang tak sempat kesenandungkan untukmu berputar-putar dalam pikiranku. Kurasa belum saatnya monolog ini berhenti.

Note : * : Lirik lagu YUI – LOVE & TRUTH

Minggu, 26 Februari 2012

Nebula


'Kacau.'
Cermin yang menggantung di depan Sasha seakan berkata kepadanya. Rambut yang acak-acakan serta bagian bawah matanya yang menghitam membuat ia merasa ngeri saat melihat sosok dirinya yang terpantul di cermin.
"Kau gagal..."
Sebuah suara berseru dalam pikirannya. Ya, ia memang gagal dalam mengikuti ujian masuk ke sebuah perguruan tinggi. Sasha masih ingat bagaimana ekspresinya saat membaca pengumuman yang dimuat hari ini di sebuah surat kabar. Namanya memang ada, tapi bukan pada jurusan yang diinginkannya. Yang bisa ia lakukan selanjutnya hanya mengurung diri dalam kamar, mematikan lampu dan menangis di sudut kamar sambil memeluk kedua lututnya. Menyedihkan memang, tapi begitulah kenyataannya.
Lagi-lagi Sasha bergidik saat melihat tampilan dirinya di cermin, lalu memutuskan untuk menjauh saja dari benda persegi itu. Ia lalu beranjak ke arah jendela, dan membiarkan angin malam memenuhi kamarnya yang gelap. Sebuah bintang yang redup menarik perhatiannya. Ahh... Dirinya seperti bintang itu, redup. Sementara yang lainnya bercahaya dan berhasil meraih apa yang mereka inginkan, ia malah terkurung dalam kamar ini, memikirkan masa depan yang sama redupnya dengan cahaya bintang yang dilihatnya sekarang.
"Apa yang harus kulakukan, bintang?" katanya bertanya-tanya. Ia mengacungkan telunjuk kanannya ke atas, menulis kata 'future' di udara lalu menatap langit dengan sendu.
"Sha... Mama masuk ya?" tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu, diikuti dengan bunyi pintu yang dibuka secara perlahan. Dan tanpa disadarinya Mamanya sudah berdiri di sebelahnya lalu bergabung untuk menatap bintang di atas sana.
“Kau lihat bintang yang redup itu? Mungkin kau mengira kalau itu adalah bintang. Tapi sebenarnya bukan, itu adalah Nebula, awan yang bercahaya dan sering dikira sebagai bintang,” ujar Mamanya sambil menunjuk bintang redup –yang ternyata adalah Nebula- yang sedari tadi ditatap oleh Sasha.
Mamanya melanjutkan, “Nebula bisa terbentuk karena kematian sebuah bintang. Bintang baru yang tak cukup kuat untuk melewati tahap sebelum ia menjadi bintang yang sebenarnya akan hancur menjadi segumpalan kabut dan terbentuklah Nebula. Tapi lihatlah, walau bintang tersebut sudah mati, ia masih berusaha untuk memberikan sinarnya dengan menjadi Nebula. Walau cahayanya redup, yang penting ia sudah berusaha untuk mengerahkan sisa cahaya yang dimilikinya untuk menerangi malam…”
                Sasha menatap Mamanya, kemudian mengerti arah pembicaraan ini. Dirinya saat ini mungkin seperti bintang baru yang gagal untuk menjadi bintang yang berkilau seperti bintang yang lain. Tapi ia tahu, ia masih bisa menjadi Nebula. Ia masih bisa berusaha lagi untuk memberi cahaya yang ia punya.
“Masih ada kesempatan lain,” kata Mamanya sambil mengelus puncak kepalanya dengan lembut, dan itu menenangkan hatinya. Ia akan berusaha lagi.
“Jangan menyerahKita pasti bisa meraih kejayaan yang bersinar itu…”*
                Ya, ia tak akan menyerah. Ia akan mulai lagi. Dan suatu hari nanti ia yakin, ia tak akan hanya menjadi Nebula. Ia akan berubah menjadi bintang yang berkilau. Suatu hari…


Note : * : Penggalan lirik YUI - GLORIA