Selasa, 31 Januari 2012

Pawang Hujan


“Kalau memang setiap manusia bisa memilih, kenapa aku tak bisa memilih untuk berada di sisimu?”

Kopi Tubruk

Uap yang mengepul dari gelas di hadapanku mulai menghilang. Hampir tiga puluh menit aku menanti di tempat ini, untuk seseorang yang bahkan tak ku ketahui rupanya. Modalku hanyalah sebuah nama, Ridwan, yang tak sengaja terucap dari mulut Ayah saat bertengkar dengan Ibu dua hari yang lalu. Tapi sepertinya sekarang aku tak bisa menyebutnya Ayah lagi, karena nyatanya ia bukan Ayah kandungku.

Sabtu, 28 Januari 2012

Her Name is YUI


Suka, kata pertama yang muncul di otak saya waktu pertama kali melihat video klip ‘Goodbye Days’ yang diputar di salah satu stasiun tv lokal daerah saya, di pertengahan tahun 2006. Berangkat dari kegilaan saya sama hal-hal berbau Jepang, (jangan salahkan saya, salahkan Doraemon yang sudah nongol di tv sebelum saya lahir dan komik-komik yang bertebaran di toko-toko buku) jadinya saya penasaran pada gadis yang menyanyikan lagu ini. Apalagi di video klip tersebut, gadis ini juga terlihat memainkan gitar. Dan kata lain muncul di kepala saya. Keren!

Jumat, 27 Januari 2012

I'm a little pencil in the hand of a writing God, who is sending a love letter to the world.

Pernah dengar kalimat ini?
Ya, ini kalimat dari Ibu Teresa. Kebetulan saya memang pernah mendengar kalimat ini sebelumnya, tapi tidak tahu siapa sebenarnya sosok yang mengatakan kalimat tersebut. Terus pas iseng nyari quotes dari Ibu Teresa di Goodreads, nemu kalimat ini. Dan jadinya saya berpikir, Apakah saya sudah menjadi sebuah pensil untuk Tuhan? Apa saya sudah menyampaikan surat cinta yang ditulis Tuhan melalui saya? Apa saya sudah cukup tulus mencintai orang lain bahkan alam ini?
Bahan permenungan bagi saya tentunya.

Kamis, 26 Januari 2012

15 Hari Ngeblog FF?

Huaaaaaaaaaaaaa!!!!!! *gayagayahisterisalaABG* Akhirnya udah 15 hari! T - T Masmo! Mbak Unge! Tanggung jawab! Baru kali ini saya nulisnya tiap hari loh! (Hari ini mosting tiga kali malah kalo ditambah ini) :))
Jadi, patutlah kita-kita yang ikutan proyek ini berterima kasih pada dua admin yang katanya kece ini. *plak*

Menikahlah denganku...

"Kau... menipuku..."
Aku menatap gadis di depanku ini dengan bingung? Menipu? Apa maksudnya?
"Kenapa... Kau pikir hal seperti ini lucu, begitu? Kau pikir mempermainkan perasaan orang lain itu menyenangkan? Kau hebat, Jeremy. Sangat hebat..." lanjutnya lagi dengan nada sinis lalu berusaha untuk melepaskan genggamanku di tangannya dan hendak pergi dari tempat ini, tapi aku semakin mengeratkan genggamanku sehingga ia tak bisa pergi dari sini.
"Sepertinya kau salah paham, Grace..." kataku mencoba tenang.
"Salah paham? Salah paham apa lagi, Jer? Semuanya sudah jelas! Kau meneleponku pagi-pagi dan bicara tentang pernikahan. Lalu akhirnya apa? Ternyata yang menikah bukan kau, tapi saudara kembarmu. Apa-apaan ini?" dengan tatapan tak percaya, Grace mulai menyerangku lagi dengan asumsinya yang sudah jelas keliru. Ya, aku memang meneleponnya pagi ini karena Johan, saudara kembarku, memintaku untuk memberitahu Grace tentang pernikahannya hari ini. Memaksa sebenarnya, karena ia tahu bahwa aku dan Grace sedang saling tidak bicara setelah kejadian Grace yang menolak cintaku. Salahku juga mungkin karena terlalu gugup saat mendengar kata 'Halo...' darinya dan hanya bisa merespon dengan kalimat 'Itu... Pernikahan...'
Ya, sepertinya ini memang salahku.

Sah!


“Jujur dengan perasaan kita lebih baik. Kalau cinta, katakan saja terus terang…”

Grace berlari tergesa-gesa keluar rumahnya. Dengan tidak sabaran ia menyalakan mesin mobil lalu melaju dengan kecepatan tinggi ke sebuah tempat. Masa bodoh dengan rambu lalu lintas sekarang, yang harus ia lakukan adalah secepatnya menyadarkan pria bodoh yang mungkin saat ini sudah memasangkan cincin ke jari gadis lain, tanpa tahu bahwa sebenarnya gadis yang lebih bodoh ini juga mencintainya.

Rabu, 25 Januari 2012

Ini bukan judul terakhir


Jemariku menari dengan lincah di atas piano yang kumainkan. ‘Melodies of the wind’, begitulah lagu ini kami namakan. Kami, aku dan Alena. Judul lagu yang pertama sekaligus terakhir yang sempat kami ciptakan bersama-sama.
Alena adalah gadis yang periang. Pertemuan kami berawal dari orang tua Alena yang memintaku untuk menjadi guru les piano untuk Alena. Pembawaan Alena yang menyenangkan dan suka bercanda membuat kami cepat akrab. Terlalu akrab sampai akhirnya membuatku melakukan sebuah kesalahan. Menjadikannya kekasih.

Selasa, 24 Januari 2012

Kalau Odol lagi Jatuh Cinta


“Dinoooo…!”
Seorang gadis berseragam putih abu-abu, berdiri di depan pintu kamar abangnya dengan muka ditekuk. Dengan kasar ia melempar odol yang sedari tadi digenggamnya erat-erat ke wajah abangnya.
“Kenapa sih, Mimi? Pakai acara lempar-lempar odol segala. Kan sakit…” protes Dino, abangnya, sambil mengusap wajahnya. Namun ternyata Mimi belum berhenti sampai di situ. Secara tiba-tiba ia menarik majalah olah raga yang baru dibaca setengah oleh abangnya.
“Sikat gigi sana! Malu tahu diledek sama teman-teman. Masa punya abang malas sikat gigi?!” teriak Mimi dengan tampang jijik.
Ya, Dino, abangnya ini, memang malas sikat gigi. Terakhir kali ia sikat gigi saja ia sudah lupa. Jelas saja Mimi diledek habis-habisan sama temannya.
“Ayo sikat gigi! Nanti kuman-kumannya bersarang di mulut bla bla bla…” kata Mimi lagi menirukan salah satu iklan yang pernah dilihatnya.
“Males, Mi. Lagian ga ngaruh juga…” jawab abangnya enteng.
“Eh? Kenapa?”
“Kan odolnya lagi jatuh cinta sama kuman-kuman di mulut abang. Jadinya dia ga tega ngebasmi kumannya…”
Dan kali ini bukan odol saja yang mengenai wajah Dino, tapi guling, majalah, dan barang-barang lain yang tak bisa disebutkan satu persatu.

(Note : FF tergaje yang pernah saya bikin -_- )

When I Look into Your Eyes...


"Seperti sebuah kotak indah yang dihadiahkan Zeus pada seorang gadis... itulah dirinya. Kotak indah yang terus menyeret rasa penasaran setiap insan yang melihat untuk membukanya..."

Tania melirik pria disampingnya secara sembunyi-sembunyi. Setelan kemeja putih dengan dasi biru tua dan celana panjang hitam terlihat sangat pas di tubuhnya. Tangan kanannya menenteng tas ala pegawai kantoran yang berwarna hitam, warna yang senada dengan sepatu vantouvel yang sedang dikenakannya. Sudah hari ketiga sejak Tania memperhatikan pria yang selalu menunggu bus di halte ini. Awalnya Tania memang tak pernah menunggu bus di halte tersebut karena tempatnya yang agak jauh dari rumahnya. Biasanya ia lebih memilih taksi karena bisa lebih cepat tiba ke kantor. Tapi setelah melihat pria tersebut, akhirnya ia memilih untuk beralih ke bus.

Minggu, 22 Januari 2012

Merindukanmu itu seru!

Aku memandang deretan foto yang terdapat dalam folder berjudul 'On Vacation' di laptopku. Wajah-wajah gembira, melongo karena belum siap di foto, kepolosan anak pribumi yang berseru keheranan saat melihat wajah asing yang tak pernah mereka lihat, atau cuma memperlihatkan indahnya laut dan pulau. Sudah setahun lebih ternyata.

Tentangmu yang Selalu Manis


“Ini apa?”
Kau terkejut saat melihat semua koleksi lukisan yang akan kupamerkan di pameran lukisan pertamaku.
“Ehh? Lukisan tentu saja…” aku, gugup secara total mencoba untuk tidak menatapmu dan mulai mengusap-usap hidungku. Kebiasaan yang kulakukan bila aku sedang gugup.
“Lalu kenapa semuanya wajahku?”
Nah loh! Tentu saja ia akan bertanya seperti ini.
“Karena tema pamerannya kan memang seperti itu. Kau belum membacanya ya?” kataku lagi sambil menunjuk brosur pameran yang sudah kuberikan padanya sejak dua hari yang lalu. Sedangkan pameran itu sendiri akan diadakan seminggu lagi.
“Tentu saja aku sudah membacanya. Temanya kan ‘Tentangmu yang Selalu Manis’…” protesmu lalu akhirnya tersenyum mengerti.
Ya, ini semua tentangmu. Tentangmu yang selalu manis. Yang selamanya akan selalu begitu.

Sabtu, 21 Januari 2012

Weibo?

Apa itu weibo?

Weibo itu semacam twitter tapi made in china (udah kayak barang aja). -_- Pas pertama kali masuk pagenya, kepala saya pusing tujuh keliling. Tapi demi ngefollow akang Icul tergila ya udah bikin. Untung admin Heechulfacts baik dan mau ngajarin. :3
Tetep pake nama StarLuverz nyehehe. ^^

So, find me in weibo, guys. ^^
http://weibo.com/starluverz

BLUB.BLUB.adieu~

Senyum Untukmu yang Lucu

21 Januari 2012,

Dear... Kamu,

Kalimat apa yang bisa menggambarkan diriku tadi? Troli pengangkut barang? Atau mungkin truk saja sekalian? Karena toh, seperti benda pengangkut di atas aku tak bisa protes saat membawa barang yang kamu biarkan begitu saja di atas mejamu saat kau berlari pulang. Tapi kurasa istilah-istilah di atas tak akan kugunakan karena bagaimanapun aku tulus melakukan ini semua. Kalau menggunakannya malah terkesan mengeluh, ya?

Jumat, 20 Januari 2012

Inilah aku, tanpamu...

Kenapa tak membalas sms?
Aku menatap sebaris sms yang masuk di inboxku. Merasa tak bergairah untuk membalas karena sebuah hal. Ya, karena kamu.

Aku mengarahkan pandanganku ke arah setoples biskuit coklat. Mencoba melupakan kesulitan yang kurasakan tanpamu dengan mengemil. Tapi aku tak bisa. Ya, itu semua karena kamu.

Lalu aku mengalihkan perhatianku pada halaman situs pertemanan yang baru bisa kubuka setelah pulang. Menyesal karena melewatkan beberapa comment dan juga ajakan teman-teman yang sudah terlewat beberapa jam yang lalu. Hal-hal yang terjadi karena aku rasanya tak bisa melakukan apa-apa tanpamu.

Lalu nada dering handphoneku berbunyi. Sebuah suara di seberang sana menggerutu karena aku tak memberi kabar sama sekali seharian ini. Tak membalas sms, tak menelepon, dan alasan lainnya.

Itu karena kamu!
Karena aku tak punya kamu!

Ya... Inilah aku, tanpamu... PULSA.

Rabu, 18 Januari 2012

Aku Benci Kamu Hari Ini


“Aku benci kamu hari ini!”
Sebuah teriakan terdengar di dalam café,membuat perhatian para pengunjung teralih ke meja tempat kejadian tersebut berlangsung. Seorang gadis berseragam SMA berdiri di depan sebuah meja yang diduduki oleh seorang pria yang baru saja akan meneguk kopi yang dipesannya.
“Aku benci kamu hari ini!” gadis itu berteriak lagi. Para pengunjung café semakin tertarik pada konflik tersebut. Dengan penasaran mereka menanti ekspresi si pria terhadap gadis itu. Tapi pria itu tak bergeming. Dengan acuh ia berdiri lalu melewati gadis itu dan menuju kasir.
Sebenarnya apa yang terjadi? Mari mundur ke 15 menit yang lalu.

Sepucuk surat (bukan) dariku

Aku sedang sibuk di dapur ketika Rony datang. Kuabaikan klakson mobil Rony yang berbunyi beberapa kali untuk dibukakan pintu. Toh dia punya kunci sendiri.
"Kok pintunya tak dibukakan?" katanya dengan nada kesal yang dibuat-buat, tapi lagi-lagi aku lebih memilih menekuni masakan yang berada di depanku.
Lalu tiba-tiba Ia memelukku dari belakang. Kurasakan kedua tangannya mendekap erat pinggangku dan hembusan nafasnya yang menyapu rambutku. Sangat menyenangkan rasanya disayangi seperti ini. Rony memang semakin perhatian sejak kami menikah setahun yang lalu.
"Terima kasih, sayang. Suratnya sudah aku baca..." ujarnya sambil mengeratkan pelukannya.
"Surat?"
"Ya. Ini..." katanya lagi sambil menunjukkan sebuah amplop putih tanpa nama pengirim. Hanya tertulis 'Untuk Rony yang kusayangi...'
"Aku bahagia sekali. Akhirnya kita dikaruniai seorang anak. Tuhan sudah menjawab doa kita."
"I... Itu..."
"Awalnya kukira kau hanya ingin menjahiliku dengan mengirim surat yang hanya bertuliskan 'aku hamil!' tapi tak tahunya di dalam amplop masih ada ini..." katanya lagi sambil menunjukkan sebuah test pack. Positif.
Dan Ronypun meninggalkanku yang berdiri terdiam, terlanjur gembira dengan kenyataan bahwa Ia telah menjadi Ayah walau nyatanya yang mengandung anak itu, wanita itu dan pengirim surat itu... bukan aku.

Senin, 16 Januari 2012

Ada dia di matamu...


“Aku tak bisa membaca matamu, itu kesalahan terbesar yang pernah kulakukan. Ingin kukatakan bahwa cinta itu tidak buta, cinta itu tidak menyesatkan, tapi nyatanya aku tersesat…”

Rin menatap status di salah situs pertemanan yang baru saja muncul di layar handphonenya. Sebaris kalimat yang biasa, hanya menulis tentang sebuah nama tempat. Tapi sosok yang menulisnya lah yang tidak biasa. Seorang pria, yang pernah dijulukinya sebagai ‘Si Manis’ tapi akhirnya dibencinya karena perbuatan pria itu.
Berawal dari sebuah perkenalan pada umumnya, tak ada yang istimewa sebenarnya. Sampai akhirnya Rin sadar ada sesuatu yang lebih. Hatinya tak dapat berbohong.
“Be mine?”
Sebaris kalimat yang sempat terucap dari pria itu kembali terngiang. Dan mau tak mau ingatan itu muncul lagi dalam pikirannya, membuat kedua matanya terpejam, lalu mengingat kepingan peristiwa yang dulu sempat ingin dibuangnya jauh-jauh. Tapi nyatanya Ia tak bisa.
“Tapi kenapa?” Rin, menatap lurus ke arah kedua mata pria itu. Tak bisa terbaca.
“Entahlah…” jawab pria itu penuh misteri.
Ya, entahlah. Semua dimulai dengan kata itu. Sebuah harapan, lalu rasa rindu, dan akhirnya sepi.
Rin menatap status itu lagi, dan akhirnya tersenyum. Dan Ia tahu senyum kali ini bukanlah senyuman pahit. Sesuatu yang terjadi antara mereka, bahkan sebenarnya belum dimulai sama sekali, adalah sebuah pelajaran. Cinta, genggaman tangan, bahkan bayangan yang ada di kedua mata pria itu bukanlah miliknya. Karena…
“Karena hanya ada dia di matamu, kan?” Rin berujar pada udara kosong di depannya, dan membiarkan kata-kata itu terbawa oleh angin, lalu akhirnya menghilang.

“… nyatanya aku tersesat. Ya, aku sempat. Tapi apakah kau tahu? Ternyata aku masih bisa menemukan jalanku lagi dan tersenyum. Karena cinta yang sebenarnya telah memanggilku, dan cinta itu bukan kau.”

Jadilah milikku, mau?


"Jadilah milikku, mau?"
Aku menatap pria yang entah sejak kapan berdiri di depanku dengan mata dan bibir yang sama-sama membulat karena kaget. Ia memakai kaus dan celana kain dengan warna yang senada yaitu warna putih, lalu menatapku sambil tersenyum.
"Eh?"
"Jadilah milikku, mau?" katanya lagi kali ini dengan posisi yang berbeda. Berlutut sambil mengulurkan tangan kanannya.
Sebuah pagi di hari libur, setelah mengecek kulkas yang kosong melompong aku memutuskan untuk membeli nasi bungkus di warung dekat rumah. Rasanya ingin cepat pulang saat si bibi penjual makanan memberikan bungkusan plastik itu padaku. Tapi niatku terhalang karena kemunculan pria ini.
"Tidak, terima kasih."
Aku pun mempercepat langkahku agar cepat sampai ke rumah. Nasi bungkus yang kubeli tadi sudah mendesak-desak untuk kumakan. Tapi pria itu tetap tidak mau menyerah. Ia menghalangi jalanku dengan kedua tangannya lalu berteriak, "Jadilah milikku! Mau?!"
"Sudah kubilang tidak mau! Lagipula kau ini siapa sih?"
Suara ambulans terdengar. "Ahh! Itu dia!" beberapa orang berseragam putih turun dari ambulans lalu menyeret pria tadi. Kupandangi tulisan yang tertera di salah satu sisi mobil 'Rumah Sakit Jiwa XXX'. Astaga!
"Maaf ya, mbak. Dia ini memang seperti itu. Gagal menikah terus jadi gila. Untung mbak tidak diapa-apakan. Ya sudah, mbak. Permisi..." kata salah satu perawat lalu bergegas masuk ke dalam ambulans. Meninggalkan aku yang hanya bisa melongo karena hal aneh yang baru saja terjadi.
Dan teriakan pria itu masih terdengar walau pintu ambulans sudah tertutup, "Jadilah milikku... Milikku! Mau?!"

Sabtu, 14 Januari 2012

AKU MAUNYA KAMU TITIK!


Laut yang biru menyambut kami. Ombak yang terbawa sampai ke pantai membasahi kedua kakiku. Sejuk sekali rasanya. Ahh… Aku sangat suka laut.
“Kau bahagia?” tanyanya sambil tersenyum padaku. Tangannya sedari tadi tak mau melepas genggamannya pada tanganku. Jemari kami saling bertaut, layaknya pasangan pada umumnya yang sedang jatuh cinta.
“Tentu saja,” jawabku dan membalas senyumannya. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia. Pergi ke tempat kesukaanku, bersama orang yang kusukai pula. Sempurna!
“Tapi aku tak bisa terus bersamamu. Aku harus pergi.” Ia berkata lirih lalu memandangku sedih. Matanya berkaca-kaca saat mengatakan hal tersebut.
“Kenapa? Aku salah apa?”
“Kamu tak salah apa-apa. Ini sepenuhnya salahku.”
Air mata perlahan menetes di kedua pipiku. Kenapa semuanya harus berakhir secepat ini? Padahal kami baru saja memulai. Aku benar-benar tidak rela.
“Kurasa ini adalah pertemuan terakhir kita,” lanjutnya lagi. Dengan enggan Ia melepas jemari kami yang saling bertaut. “Kamu pasti bisa bahagia dengan pria lain…” katanya lagi sebelum berbalik meninggalkanku.
“Tapi… Tapi… AKU MAUNYA KAMU! TITIK!”
Aku berdiri dan tiba-tiba sadar. Aku ada di kelas, ternyata tadi cuma mimpi. OH-MY-GOD.
“Kenapa kamu teriak-teriak? Mau saya usir?” tegur dosen yang sedang mengajar di mata kuliah ini.
Dan aku hanya tertawa cengengesan lalu menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. “Tidak, Pak.”
“Ya sudah. Duduk!” perintahnya galak. Dan tak perlu hitung sampai tiga aku sudah duduk lagi ke kursiku.
“Aku maunya kamu… Titik…” bisik teman sekelasku yang duduk di belakang lalu tertawa cekikikan.
Hahaha… Rasanya aku ingin sembunyi dalam gua sekarang.

Kamu manis, kataku...


"Hei, boleh duduk di sini?"
Suara seorang pria mengagetkanku. Dengan cepat aku menyeka air mata yang masih menggantung di pelupuk mata lalu mengangkat kepala. Aku mencoba melihat siapa yang menyapa, tapi wajahnya silau terhalang cahaya matahari.
"Boleh..." kataku sambil bergeser untuk memberinya tempat di sebelahku.
"Terima kasih." katanya pendek. Ia lalu duduk di sampingku dalam diam. Kedua tangannya diletakkan di samping tubuhnya dan bertumpu pada bangku yang kami duduki. Ia bukan tipikal orang yang bisa diam sepertinya. Sedari tadi Ia sering mengayunkan kakinya dan mengetuk-ngetukkan jari-jari tangannya pada bangku, menimbulkan kegaduhan yang jujur saja sangat mengganggu.
“Bisa diam sedikit?”
“Hah?” Ia menolehkan kepalanya padaku sambil mencabut headset yang menancap di telinganya. Ahh… pantas saja.
“Tidak, lupakan saja.”
Kami kembali sibuk dengan dunia kami masing-masing. Tapi itu tak berlangsung lama karena pria itu lagi-lagi menimbulkan bunyi berisik saat membuka bungkusan plastik yang dibawanya. Es krim?
"Kamu mau?"
Sejenak aku menatapnya dengan bingung. Siapa orang ini? Tiba-tiba datang lalu meminta untuk duduk di sampingku, dan sekarang malah menawarkan es krim.  Kutolehkan kepalaku ke kanan dan kiri. Bangku di sebelahku kosong, kenapa orang ini memilih duduk di sebelahku?
“Apa aku mengenalmu?” tanyaku curiga.
“Tidak.”
“Lalu? Kenapa kamu bisa bersikap sok akrab seperti ini padaku?”
“Suka saja. Es krim? Tapi makan sisi yang coklat saja. Yang Strawberry punyaku,” katanya lagi sambil menunjuk batas yang menunjukkan jatah es krim ku dan miliknya.
Satu kotak besar es krim, dengan dua rasa dan dua sendok, sungguh sesuatu yang tidak wajar. Tapi aku seakan lupa nasehat Ibu untuk berhati-hati pada orang asing. Entah kenapa tapi aku merasa nyaman di sampingnya. Aku malah menerima tawarannya untuk berbagi headset. Dan kami berdua pun menyendok es krim yang menjadi jatah masing-masing sambil mendengarkan lagu yang mengalun.
“Ternyata begitu…” kataku tiba-tiba.
“Apanya?”
“Jatuh cinta. Seperti lirik lagu yang tadi, jatuh cinta itu biasa saja…” sambungku lagi sambil menyenandungkan salah satu kalimat dari lagu yang tadi kami dengar.
“Ohh, ya. Kalau begitu cepatlah jatuh cinta padaku.”
“Eh?”
Ia tersenyum lebar sampai gusinya terlihat lalu berkata lagi, “Kan jatuh cinta itu biasa saja. Nanti kalau sakit hatimu sudah hilang, kau jatuh cinta padaku saja, ya?” dan aku hanya bisa terbengong-bengong dibuatnya.
“Ya sudah. Aku pulang… jangan lupa untuk jatuh cinta padaku, ya?” katanya sambil bangkit berdiri lalu mengulurkan jari kelingkingnya padaku. “Ya?”
Dan aku tertawa. Entah terhipnotis atau apa, aku menjulurkan jari kelingking dan menjawab, “Ya.”
Lalu Ia pun melambaikan tangannya sambil tertawa lagi dan berlari meninggalkanku. Sayup-sayup aku masih mendengar sorakannya dan mendadak tersenyum. Patah hati lalu jatuh cinta, apakah ini bisa terjadi hanya dalam hitungan jam? Walau semua masih tanda tanya, tapi kurasa itu mungkin saja terjadi, karena kamu manis. Karena kamu manis, kataku.

Kamis, 12 Januari 2012

Dag Dig Dug!


Dua insan berlainan jenis itu terdiam. Hanya dua cangkir kopi yang sejak lima menit yang lalu beradu dengan alasnya. Saling menatap juga seakan ditabukan bagi kedua manusia yang sedang sibuk menahan debarannya masing-masing ini dan memilih meredamnya dalam secangkir kopi. Sebuah kedai kopi yang hanya diisi pengunjung serta pegawai yang berjumlah tak sampai sepuluh orang memberikan suasana yang agak hening bagi mereka berdua. Ya, suasana yang cukup hening sehingga mereka mungkin bisa mendengar debaran jantung mereka sendiri.
"Kau..." si pria memilih untuk mengakhiri kebisuan yang terjadi sejak tiga puluh menit yang lalu.
"Ya?"
Tindakan wanita itu yang menyela kalimatnya membuatnya memilih untuk diam lagi. Dan lagi-lagi dua cangkir kopi di depan mereka lah yang terlihat lebih ‘hidup’.
"Kau tak jadi menikah?"
Akhirnya pertanyaan itu muncul juga. Genggaman pria itu pada cangkir kopi yang baru saja akan diminumnya terlihat menguat. Semuanya harus diutarakan, sebelum acara makan siang ini berubah menjadi makan sore.
"Kalau aku menikah, mana mungkin aku mendaftar ke biro jodoh?"
Kini giliran wanita itu yang terlihat tegang. Rasa marah, rindu dan bingung bercampur dalam tatapan matanya untuk pria itu.
"Jadi apa kesibukanmu sekarang?" tanya pria itu lagi.
"Kurasa kau tak perlu menanyakannya. Kita sama-sama tahu kan profesi pengacara itu seperti apa."
Nada sinis yang muncul dari ucapan wanita itu membuat si pria sadar bahwa rasa benci itu belum memudar. Secara sembunyi-sembunyi Ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru dari kantongnya. Kotak yang sampai sekarang belum dibuka oleh sang penerima hadiah karena memang Ia belum menerimanya sama sekali.
"Sudah kuduga kau masih membenciku…" kata si pria tanpa mengalihkan pandangannya dari kotak itu.
"Dan itu wajar."
"Ya, aku tahu."
Dan wanita itu tak dapat lagi menahan dirinya untuk berdiri. Diletakannya beberapa lembaran Rupiah seharga kopi yang dipesannya tadi lalu berjalan meninggalkan pria itu. Tapi langkahnya berhasil dijejeri oleh si pria yang kini sudah menarik tubuh wanita itu dalam pelukannya. Mereka berpelukan cukup lama, melepas semua rasa sakit, rindu, sayang yang dulu sempat terjamah oleh kata penghianatan. Ya, penghianatan yang direkayasa oleh pria itu untuk memberi kejutan sebelum melamar si wanita. Yang akhirnya malah membuat hubungan mereka retak.
Tapi kini semuanya akan mereka mulai dari awal lagi, saat si pria berlutut sambil memberikan sekotak cincin pada wanita itu dan berkata, “Dari awal memang hanya ada kau, tak pernah ada yang lain.”
“Tapi wanita itu?”
“Semuanya bisa kujelaskan.”
Dan sebegitu mudahnya wanita itu memaafkan si pria, memeluk dan berkata “Iya” sambil merasakan degupan jantung mereka yang bersahut-sahutan dalam rongga dada masing-masing. Lalu mereka tersenyum, tak menghiraukan tatapan sakit dari wanita lain yang menatap mereka dari sudut kedai kopi. Wanita yang dulu pernah dimintai tolong untuk menjadi bagian dari sandiwara acara lamaran si pria. Wanita yang entah bodoh atau apa, merancang pertemuan yang terjadi siang ini tanpa diketahui oleh dua orang yang sedang larut dalam dunia mereka sendiri. Wanita yang tak pernah membiarkan pria itu tahu bahwa Ia memendam rasa cinta pada pria itu. Wanita itu, Aku.
Dan ‘Dag dig dug’ yang kurasakan sejak satu jam yang lalu kini berubah menjadi rasa sakit.

Halo, siapa namamu?

Pintu besi itu terbuka lagi.

Jean sedikit memanjangkan lehernya untuk melihat sosok yang keluar dari pintu dan lagi-lagi Ia harus memasang wajah kesal.

"Kenapa?" tanya Silvi yang duduk di sebelah Jean.
"Bukan dia."
"Dia siapa?"

Jean lebih memilih tak menanggapi pertanyaan Silvi yang terakhir. Bukan karena Ia malas menjawab hanya saja Ia memang tidak tahu siapa nama pria yang dinantinya. Yang Ia ketahui dari pria itu hanyalah kenyataan bahwa pria itu menarik dalam usianya yang berkisar di angka tiga puluh dan ada aroma manis roti yang pekat dari tubuhnya setiap kali pria itu lewat. Ya, mereka memang sedang bersantai di sebuah toko roti. Lebih tepatnya Silvi lah yang sedang bersantai. Sedangkan Jean? Tentu saja sibuk menanti pria-beraroma-roti tadi. Sudah minggu kedua sejak Jean mulai memperhatikan pria itu namun sampai sekarang Ia belum bisa mengorek identitasnya. Tak jarang timbul niat untuk nekat berteriak, "Halo, siapa namamu?!" tapi bayangan mobil Ambulance dari Rumah Sakit Jiwa membuatnya ngeri. Namun hari ini Jean sudah bertekad untuk menuntaskan semuanya.

Dan tiba-tiba pintu besi itu terbuka, mengeluarkan pria yang sudah dinantikannya sejak satu setengah jam yang lalu. Pria itu berjalan dengan langkah yang cepat sambil mengangkat sekeranjang roti tawar yang belum dibungkus plastik. Mulutnya tak berhenti mengucap kata permisi pada orang-orang yang berdiri menghalanginya dan tak memperhatikan tatapan sarat emosi yang keluar dari kedua mata Jean.

Itu dia.

Jean menggeser kursinya, berjalan menuju pria itu, dan melebarkan kedua tangan untuk menghadangnya.

"Kau siapa?" tanya pria itu kebingungan.

Salah satu sisi bibir Jean tertarik membentuk sebuah senyuman sinis. Dengan kasar Ia melempar beberapa lembar foto yang sudah kusut.

"Kau tak harus tahu siapa aku. Yang harus kau lakukan hanyalah menghilang dari kehidupan wanita dalam foto ini secepat mungkin..." Jean menatap cukup lama pada pria itu lalu mengalihkan pandangannya pada tanda pengenal di saku pria tersebut. Namanya Pramudia.

Dan Jean tidak menghiraukan Silvi yang memanggil namanya berkali-kali saat Ia berlari keluar dari toko roti. Ia terus berlari dengan mata tertuju pada sosok wanita berwajah keibuan pada foto di dalam dompet yang tersenyum di sebelah ayahnya. Wanita yang sama yang berpose mesra dengan pria bernama Pramudia di foto yang dilemparkannya tadi. Tak menyadari sebuah mobil yang melaju cepat dan menghantam tubuhnya.

Jean memanggil nama itu lagi dan perlahan pandangannya mengabur.
“Ibu...”
Semuanya gelap sekarang.

Senin, 09 Januari 2012

Am...


Am
"Memiliki dirimu sebagai sahabat dalam kenanganku adalah sebuah keberuntungan.”
Hawa dingin di penghujung bulan desember menyambutku. Aku kembali lagi, ke kota kecil yang cukup ramai ini. Ada rasa rindu yang kukenali menyeruak dalam hatiku, rasa yang kupikir sudah lama mati namun ternyata keliru. Kutelusuri tembok putih yang kulewati sejak tadi dengan sebelah tanganku, sementara tangan yang satunya kubiarkan mengayun bebas layaknya ujung mantelku yang terus bergerak tertiup angin. Dan tanganku mencapai ujung tembok ini. Sebuah gerbang yang tingginya berkisar dua kali lipat dari tinggi tubuhku menyambutku dengan angkuh, seakan ingin menelan manusia kecil yang sedang berdiri di hadapannya. Aku heran, apa aku yang tak pernah bertumbuh tinggi atau gerbang ini yang sudah diganti dengan yang lebih tinggi? Tapi sepertinya tak ada yang berubah. Berarti... Ah, sudahlah.
Tatapanku beralih pada gedung bergaya jaman tempo dulu yang berdiri kokoh dalam lindungan tembok dan gerbang ini. Tak pernah berubah, pintu kayu berwarna hitam yang membuatku merasa seakan berada dalam penjara saat memasukinya, jendela berterali besi yang dicat warna coklat, tanaman hijau dan bunga beranekaragam yang mengelilingi bangunan ini. Dari luar mungkin ini tak mirip seperti sebuah sekolah menengah atas tapi lebih mirip vila vampir di film-film. Tapi begitulah, ini adalah sebuah sekolah dimana aku adalah salah satu alumninya. Hanya saja suasananya agak sepi karena sedang liburan sekolah, jadinya hanya aku saja yang sedari tadi berkeliaran di sini. Penjaga sekolah sepertinya juga sedang tidak ada dan ini tentu saja hal yang menguntungkan bagiku. Mengapa menguntungkan? Hal ini tergantung pada perkiraanku tepat atau tidak.
Aku berjalan memutar ke bagian belakang sekolah, sesaat tersenyum melihat pohon besar dengan dahan-dahannya yang terjuntai hampir mencapai tanah, lalu mulai memanjatnya. Dengan hati-hati aku menyusuri dahan-dahan tersebut lalu melompat dengan mulus. Ya... Ya... Cara ini memang selalu berhasil sejak dulu. Aku heran kenapa pihak sekolah tak pernah menebangnya. Kurasa semakin banyak rekor murid yang membolos setelah kelulusanku. Hehehe…
Lagi-lagi aku tersenyum mengenang setiap memori yang berebutan untuk masuk dalam pikiranku. Ada tawa, ada kenakalan, ada hukuman, tawa lagi, barisan yang kacau, pengumuman dari kepala sekolah yang membuat semuanya hening, kelas kimia yang membuatku ingin pingsan, dan kenangan-kenangan lain yang membuatku tertawa saat mengingatnya. Perlahan mataku terpejam. Tanganku yang masih bertumpu pada batang pohon setelah melompat tadi kuarahkan untuk turun lebih rendah, dan kedua sisi bibirku tertarik saat merasakan ukiran itu masih ada di sana.
Dan ingatan terakhir tentang sosok gadis rapuh di ruang musik menghangatkan hatiku lagi.
"Aku kembali, Audy..."
***
Besok aku pulang…
Kalimat tersebut terus menggantung di telingaku sejak kemarin.  Membuatku tak berhenti tersenyum hingga hari ini. Dira kembali hari ini? Hmm... Sudah lama sekali kami tak bertemu. Tiga tahun lebih tujuh bulan, terhitung saat terakhir kali aku mengantarnya ke bandara. Bagaimana penampilannya sekarang ya? Apa masih tomboy seperti dulu?
Kenangan tentangku dan Dira menelusup masuk satu persatu dalam pikiranku. Ruang musik, pohon besar di belakang sekolah, sampai upacara kelulusan tak pernah kulewati tanpa Dira yang selalu cerewet di sisiku.
Dira selalu terlihat ceria, itu anggapanku saat pertama kali melihatnya yang sibuk berlari kesana kemari saat menjadi panitia ulang tahun sekolah. Tapi ternyata ia hanya menutupi kesedihannya dengan tawa. Hal ini dimulai setelah kakak yang disayanginya menjadi korban perampokan saat sedang dalam perjalanan pulang dan nyawanya tak bisa diselamatkan lagi. Dan Dira pun mulai berakting, berkata bahwa semua baik-baik saja, tak ada yang terjadi, padahal sebenarnya kenyataannya tak seperti itu.
Sementara aku, aku selalu menutup diri dari orang lain. Setelah Ayah pergi meninggalkan aku dan Ibu bersama wanita lain, aku merasa tak ada lagi yang bisa kupercayai. Namun Dira mampu mengubahnya, dan hal itu dimulai dengan satu kalimat yang diucapkannya di pertengahan semester, di ruang musik yang selalu menjadi tempat ku menyendiri.
“Kenapa kau mengawali lagu dengan nada itu?”
“Eh?”
“A minor… Itu nada sedih kan?”
Aku terdiam mendengar sapaan gadis yang saat itu belum kukenal sama sekali. Rambutnya dikuncir asal-asalan, dengan seragam yang sudah agak kusut dan ujungnya  yang sudah dikeluarkan dari rok. Ia berdiri menatapku dengan tatapan yang berbeda dari yang kudapat selama ini. Ini bukan tatapan mengasihani, bukan juga tatapan orang yang sedang menghina, melainkan tatapan kosong yang membuatku bertanya-tanya, ”apa maksud gadis ini sebenarnya?”
“Itu A minor kan? Am?” tanyanya lagi masih dengan tatapan kosong yang sama. Yang benar saja, aku juga tahu bahwa A minor dan Am itu sama saja. Tapi bukannya berkata seperti itu, aku malah menjawab, “Ya…”
Dan gadis itu duduk di sampingku, menutup mata dan menghela nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan dengan kedua tangan yang terangkat sejajar dengan tuts piano. Lalu nada yang sama dengan yang kumainkan tadi mengalun lewat jemarinya, hanya saja kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Membuat jemariku turut terbawa dengan luapan nada sedih yang dibawakannya lalu mulai mengikuti harmoni nada yang dilantunkan oleh jemarinya.
Hanya seperti itu, sampai bel tanda istirahat selesai berbunyi, namun itu menjanjikan suatu hal yang terbukti di hari-hari selanjutnya. Kunci nada ini tak akan dilantunkan sendirian lagi.
Mengingat Dira memang tak akan membuat saraf tersenyumku lelah. Mengenangnya malah membuatku menuju tempat ini, sekolah. Setelah berhasil memanjat pohon di belakang sekolah, kakiku melangkah sesukanya menelusuri kelas-kelas kosong dengan bangku, meja dan papan tulis yang serasa memanggil diriku agar menjadi bagian dari alur cerita mereka lagi. Dan kakiku berhenti sebelum mencapai ruang musik. Nada ini?
“Dira?”
***
“Bagaimana…”
Kami tertawa bersamaan saat pertanyaan itu keluar dari mulut kami dengan kompak. Saat kami memutuskan untuk pindah dari ruang musik menuju pohon di taman belakang sekolah dan mulai berbincang.
“Bagaimana kabarmu?” Audy memilih untuk memulai duluan mengingat keheningan yang sering terjadi dulu kalau hal seperti ini terjadi.
“Yah, tak pernah sebaik ini. Kau?”
“Sama saja seperti biasanya. Sibuk!” sambungnya lagi sambil terkekeh.
“Jangan terlalu berlagak kuat. Kalau perlu bantuan jangan malu meminta bantuan dari orang lain. Yang dulu-dulu tak usah diulang lagi,” kataku sok menasehati.
“Berlagak kuat? Bukannya itu kau? Nona yang selalu berlagak ceria padahal sebenarnya tidak.”
“Menyindir? Tapi kau kan sama saja. Nona yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri dan berlagak kalau kau tak butuh orang lain…” aku membalas tak mau kalah dan kalimatku ini sukses membuat tawa kami pecah lagi.
Lalu keheningan muncul lagi. Sambil menatap kosong ke arah lapangan basket yang sepi di hadapan kami aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Dan aku seakan bercermin saat melihat sosok gadis dengan rambut dikuncir dan seragam yang kusut melewatiku dan Audy saat ini. Ia tertawa bersama gerombolan teman-temannya yang sama-sama populer seperti dirinya. Tapi ia tahu tawanya itu tak pernah setulus saat ia bersama Audy.
“Kita dulu menyedihkan ya?” ucapan Audy yang tiba-tiba membuat ingatan itu memburam dan kembali ke lapangan basket yang sepi lagi. Audy melanjutkan, “terlalu sering berlagak kuat membuat kita lupa bagaimana membagi air mata kita dengan orang lain. Kita yang dulu memang seperti itu, kan?”
“Ya, kita memang seperti itu.”
“Terasa agak sedih ya? Kita…”
Aku menatap Audy, membenarkan apa yang dikatakannya. Kami yang dulu memang seperti itu. Berpura-pura dengan topengnya masing-masing. Berpikir bahwa orang lain tak perlu tahu dan tak akan mengerti kesedihan yang kami alami padahal semua itu salah. Tapi sekarang semuanya sudah berubah.
“Ku rasa tidak juga…” kataku membalas perkataan Audy tadi.
“Begitukah?”
“Ya. Saat kita menemukan seseorang untuk membagi kesedihan kita, rasanya jadi tak sedih lagi. Malah melegakan…” aku menyelesaikan perkataanku lalu menunjuk ke arah sebuah ukiran di pohon tempat kami berteduh sejak tadi.
“Am”
Dan Audy pun mengangguk. “Ya, kau benar…”
"Kami hanya duduk bersebelahan. Tanpa kata. Hanya seperti ini… Tapi kami tahu bahwa hati kami terhubung satu sama lain. Dalam sebuah nada, Am.”

Minggu, 01 Januari 2012

The Future has Its Own Promise


“Genggam tanganku dan kau akan melihat
Dunia yang kucintai dan lagu yang mengiringinya
Resapkan setiap kata, maknai setiap nada
Kau akan tahu… oleh siapa lagu itu bernyawa.”

“Ivy, apa kau sudah siap?”
Sebuah suara yang familiar menghentikan aksiku yang meremas-remas gaun karena gelisah, muncul di saat yang tepat sebelum aku merusak gaun pengantin yang sedang kupakai. Seorang pria berumur enam puluhan berdiri di depan pintu sambil menatapku lembut. Sekilas kulihat ada tatapan khawatir yang muncul dari wajahnya, yang langsung hilang beberapa detik setelahnya. Pria ini memang hebat dalam hal penguasaan diri.
“Ayah…” aku berlari menuju pria yang berdiri di depan pintu lalu memeluknya. Perlahan air mataku menetes.
“Jangan menangis…” katanya sambil mengusap puncak kepalaku lalu menghapus air mata yang jatuh dari kedua mataku.
Rasanya aku ingin tertawa saat mendengar ucapan Ayah yang mirip scene pernikahan pada film-film yang kutonton. Scene saat sang mempelai wanita menangis pada Ayahnya yang akan mengiringnya ke depan altar. Yang akan selalu dijawab…
“Mempelai wanita selalu menangis saat pernikahannya, Ayah…” jawabku yang akhirnya merasa begitu bodoh karena dulu sempat menertawakan adegan film yang seperti ini.
“Baiklah kalau begitu. Pegang tangan, Ayah.”
Ku anggukkan kepalaku dan mengenyahkan semua pikiran negatif yang melayang di otakku sejak tadi. Dan di saat kedua sisi pintu kayu itu terbuka, jantungku serasa ingin melompat dari tempatnya.
Oh Tuhan… Jangan biarkan aku mati saat ini.
***
Januari, 31.
Ya… Aku menulis di atas kertasmu lagi. Aku tahu ini tak lazim bagi seorang wanita seumuranku, apalagi wanita yang akan segera menikah. Karena itu aku tak lagi memakai embel-embel ‘Dear Diary’ yang biasa kutulis di umur belasan.
Apa aku menulis kata ‘menikah’ tadi? Ya… Ya… Ya… Menikah. Sampai hari ini aku masih tak bisa mempercayai kenyataan bahwa aku akan segera menikah dengan Tom, dan kami sudah mendaftarkan diri sebagai calon pengantin di gereja.
Tapi, entahlah. Ada beberapa hal yang membuatku takut akhir-akhir ini. Karena itulah aku membuka lembaranmu lagi dan menulis, karena setiap keluhan yang kukeluarkan saat ini hanya akan ditanggapi sebagai sindroma pra-nikah oleh semua orang di sekitarku.
Ia sempurna… sangat. Tak ada pria lain yang kuinginkan bersanding denganku di depan altar selain dirinya. Memang ada begitu banyak perbedaan. Aku percaya mitos, Tom lebih memilih untuk menertawakannya. Aku senang menghabiskan waktuku dengan menulis, Tom lebih suka naik gunung. Aku suka makan cereal dengan banyak susu, Tom lebih suka memakannya langsung dari kotaknya.
Begitu banyak perbedaan lainnya yang tak bisa ku sebutkan satu persatu. Dan kurasa hal-hal lain akan menyusul setelah aku mengenalnya lebih dekat lagi sebagai pendamping hidupku. Aku pernah mendiskusikan hal ini dengan Tom, tapi Ia hanya menjawabnya dengan senyuman dan kecupan yang menenangkan di dahiku.
Tom senang memanggilku dengan nama tengahku, Ivy. Sama dengan cara Ayah dan Ibuku memanggilku. Saat kutanya alasannya, Ia hanya menjawab, “karena aku suka nama itu…” Aku juga menyukai namamu Tom, dan kupikir aku tak akan menyukai nama pria lain lagi selain namamu, Tomas Agustinus.
Jadi… Apa yang harus kulakukan? Pernikahanku tinggal dua minggu lagi… Apa yang harus kulakukan?
***
“Berawal dari sebuah tanda tanya, lalu koma yang menggantung. Ada ‘titik-titik’ yang tak bisa dijawab, tanda seru yang meledak-ledak, lalu akhirnya tiba hari dimana aku bisa membubuhkan tanda titik… pada hatimu.”

Lantunan lagu Ave maria mengalun seiring dengan langkahnya menuju altar ini, altar tempatku berdiri menantinya dengan tatapan terpukau. Aku terlalu khawatir beberapa hari ini. Apa Ia baik-baik saja? Apa Ia makan tepat waktu? Tapi kekhawatiranku kini lenyap seketika saat melihatnya melangkah menuju altar yang sama denganku.
Sebuah ingatan singgah di otakku, menampilkan kilasan peristiwa dua minggu yang lalu yang seperti terulang kembali di depan mataku. Aku dan Ivy duduk di bangku depan gereja ini, mengikuti misa seperti minggu-minggu sebelumnya. Hubungan kami sudah berlangsung selama tiga tahun, dan minggu lalu akhirnya Aku memberanikan diri untuk melamarnya.
Agak lucu memang jika mengingat bagaimana caraku melamarnya. Ivy yang hobi bersih-bersih berbaik hati untuk membersihkan apartemenku, dan aku yang serampangan lupa bahwa cincin yang kubeli hari sebelumnya untuk melamarnya tergeletak begitu saja di meja ruang tamu.
“Ini… Cincin?”
Random, kacau, gagal total. Semua rencana cara melamar yang paling romantis hasil begadang semalaman hancur sudah karena sifatku yang berantakan ini. Dan yang terjadi selanjutnya menjadi sumber kelucuan dari prosesi pelamaran ini. Ahirnya dengan wajah bingung, aku berlutut di hadapannya lalu melamar Ivy. Tak ada makan malam romantis, tak ada lantunan piano atau biola, hanya ada seorang pria dengan kaus putih kusut bertuliskan ‘I Believe My Self!’ dipadu dengan celana pendek biru serta gadis dengan terusan rumah berwarna baby pink yang dibalut oleh celemek karena sedang bersih-bersih. Dan jawabannya adalah “Iya”.
“Akan masuk dalam pernikahan yang suci, Saudara Tomas Agustinus dengan Saudari Imanuella Ivy . Apabila kedua mempelai hadir saat ini, dimohonkan untuk bangkit berdiri.”
Aku menatap pantulan diriku yang terlihat begitu bahagia saat nama kami disebut. Sambil berpegangan tangan, kami berdiri dan tersenyum kepada orang-orang yang menghadiri misa pagi itu. Dan tepukan riuh menyambut kami berdua. Bahagia sekali rasanya saat itu.
Kupikir hari itu adalah hari yang paling membahagiakan, tapi ternyata perkiraanku salah saat melihat dirinya yang kini sudah berjalan mendekatiku. Ivy menyeret langkahnya yang terlihat kaku, membiarkan ujung gaun putih berbahan satin yang membalut tubuhnya bergesekan dengan ubin gereja yang bercorak klasik. Tangannya terus mendekap lengan Ayahnya, sementara tangan yang lainnya memegang sebuket bunga Daisy yang dirangkai dengan bunga Ivy di sekelilingnya. Senada dengan rangkaian bunga Ivy yang menghiasi tiang penyangga gereja serta bangku yang berjejer rapi lengkap dengan para manusia yang mendudukinya dengan mata tertuju pada sang pengantin wanita. Sama seperti namanya, Ivy. Nama yang kusukai karena memiliki arti cinta yang tak pernah berakhir, sama seperti cintaku padanya.
“Di hadapan imam dan para saksi, saya, Tomas Agustinus menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa Imanuella Ivy yang hadir di sini sejak saat ini menjadi istri saya. Saya berjanji akan tetap setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup…”
“Saudari Imanuella Ivy, bersediakah Saudari menikah dengan Saudara Tomas  Agustinus yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?”
“Ya, saya bersedia…”
***
“Jadi… Apa yang kau lihat?!” tanya Rudi antusias saat Tom melepas topi aneh dengan lampu warna-warni di sisi depannya dan kawat kecil dengan kabel-kabel yang membentuk susunan tak beraturan.
“Tak ada…” jawab Tom, Ia menatap Rudi dengan tatapan tanpa ekspresi lalu melempar topi aneh (yang kata Rudi akan jadi penemuan terbaik di akhir abad ke-21) tepat ke wajah penciptanya.
“Hei! Kau pasti bohong! Mana mungkin alat ini tidak berfungsi? Kemarin saat kupakai berhasil kok! Di masa depan aku jadi ilmuwan hebat, punya perusahaan pencipta barang-barang dengan teknologi paling mutakhir dan… ubbhhhhhh… aabbpphhhh!”
Tom tertawa puas melihat Rudi yang akhirnya berhenti bicara panjang lebar setelah mulutnya Ia bungkam dengan roti. Lagipula mana ada omong kosong seperti melihat masa depan dengan sebuah topi? Dan kenapa masa depan yang Ia lihat adalah sebuah pernikahan?
“Hei… Kau menjatuhkan topimu…” sebuah suara dari arah belakang menghentikan tawa Tom. Mau tak mau membuatnya berbalik.
“Ahh, bukan itu topi Ru…”
“Ini topimu kan? Ini ku kembalikan…”
Ia tercengang melihat gadis yang berdiri di depannya. “Ivy…” panggilnya dengan nada tak yakin.
“Ya? Itu memang nama tengahku. Tapi teman-teman di kampusku dulu lebih sering memanggil nama depanku, Imanuella. Bagaimana kau tahu? Apa kau punya indera keenam atau sejenisnya?” tanyanya dengan nada tertarik yang tak bisa disembunyikan.
“Ahh… Tidak. Ngomong-ngomong namaku Tom. Salam kenal…”
“Ya. Salam kenal…” balas gadis itu lalu tersenyum.
Dan kedua insan manusia itu saling tersenyum, seorang pria muda yang belum percaya pada masa depan yang Ia lihat dan seorang gadis yang belum tahu bahwa Ia akan menjadi bagian dalam masa depan si Pria. Tak peduli akan apa yang akan terjadi di masa depan, namun akan terus berharap. Karena mereka tahu, “masa depan memiliki janjinya sendiri”.