“Genggam tanganku dan kau akan melihat
Dunia yang kucintai dan lagu yang mengiringinya
Resapkan setiap kata, maknai setiap nada
Kau akan tahu… oleh siapa lagu itu bernyawa.”
“Ivy, apa kau sudah siap?”
Sebuah suara yang familiar
menghentikan aksiku yang meremas-remas gaun karena gelisah, muncul di saat yang
tepat sebelum aku merusak gaun pengantin yang sedang kupakai. Seorang pria
berumur enam puluhan berdiri di depan pintu sambil menatapku lembut. Sekilas
kulihat ada tatapan khawatir yang muncul dari wajahnya, yang langsung hilang beberapa
detik setelahnya. Pria ini memang hebat dalam hal penguasaan diri.
“Ayah…” aku berlari menuju pria yang
berdiri di depan pintu lalu memeluknya. Perlahan air mataku menetes.
“Jangan menangis…” katanya sambil mengusap
puncak kepalaku lalu menghapus air mata yang jatuh dari kedua mataku.
Rasanya aku ingin tertawa saat mendengar
ucapan Ayah yang mirip scene pernikahan pada film-film yang kutonton. Scene
saat sang mempelai wanita menangis pada Ayahnya yang akan mengiringnya ke depan
altar. Yang akan selalu dijawab…
“Mempelai wanita selalu menangis saat
pernikahannya, Ayah…” jawabku yang akhirnya merasa begitu bodoh karena dulu
sempat menertawakan adegan film yang seperti ini.
“Baiklah kalau begitu. Pegang tangan,
Ayah.”
Ku anggukkan kepalaku dan mengenyahkan
semua pikiran negatif yang melayang di otakku sejak tadi. Dan di saat kedua
sisi pintu kayu itu terbuka, jantungku serasa ingin melompat dari tempatnya.
Oh Tuhan… Jangan biarkan aku mati saat
ini.
***
Januari, 31.
Ya… Aku menulis di atas kertasmu
lagi. Aku tahu ini tak lazim bagi seorang wanita seumuranku, apalagi wanita
yang akan segera menikah. Karena itu aku tak lagi memakai embel-embel ‘Dear
Diary’ yang biasa kutulis di umur belasan.
Apa aku menulis kata ‘menikah’
tadi? Ya… Ya… Ya… Menikah. Sampai hari ini aku masih tak bisa mempercayai
kenyataan bahwa aku akan segera menikah dengan Tom, dan kami sudah mendaftarkan
diri sebagai calon pengantin di gereja.
Tapi, entahlah. Ada beberapa hal
yang membuatku takut akhir-akhir ini. Karena itulah aku membuka lembaranmu lagi
dan menulis, karena setiap keluhan yang kukeluarkan saat ini hanya akan
ditanggapi sebagai sindroma pra-nikah oleh semua orang di sekitarku.
Ia sempurna… sangat. Tak ada
pria lain yang kuinginkan bersanding denganku di depan altar selain dirinya. Memang
ada begitu banyak perbedaan. Aku percaya mitos, Tom lebih memilih untuk menertawakannya.
Aku senang menghabiskan waktuku dengan menulis, Tom lebih suka naik gunung. Aku
suka makan cereal dengan banyak susu, Tom lebih suka memakannya langsung dari
kotaknya.
Begitu banyak perbedaan lainnya
yang tak bisa ku sebutkan satu persatu. Dan kurasa hal-hal lain akan menyusul
setelah aku mengenalnya lebih dekat lagi sebagai pendamping hidupku. Aku pernah
mendiskusikan hal ini dengan Tom, tapi Ia hanya menjawabnya dengan senyuman dan
kecupan yang menenangkan di dahiku.
Tom senang memanggilku dengan
nama tengahku, Ivy. Sama dengan cara Ayah dan Ibuku memanggilku. Saat kutanya
alasannya, Ia hanya menjawab, “karena aku suka nama itu…” Aku juga menyukai
namamu Tom, dan kupikir aku tak akan menyukai nama pria lain lagi selain namamu,
Tomas Agustinus.
Jadi… Apa yang harus kulakukan? Pernikahanku
tinggal dua minggu lagi… Apa yang harus kulakukan?
***
“Berawal dari sebuah tanda tanya, lalu koma yang
menggantung. Ada ‘titik-titik’ yang tak bisa dijawab, tanda seru yang
meledak-ledak, lalu akhirnya tiba hari dimana aku bisa membubuhkan tanda titik…
pada hatimu.”
Lantunan lagu Ave maria mengalun
seiring dengan langkahnya menuju altar ini, altar tempatku berdiri menantinya
dengan tatapan terpukau. Aku terlalu khawatir beberapa hari ini. Apa Ia
baik-baik saja? Apa Ia makan tepat waktu? Tapi kekhawatiranku kini lenyap
seketika saat melihatnya melangkah menuju altar yang sama denganku.
Sebuah ingatan singgah di otakku,
menampilkan kilasan peristiwa dua minggu yang lalu yang seperti terulang
kembali di depan mataku. Aku dan Ivy duduk di bangku depan gereja ini,
mengikuti misa seperti minggu-minggu sebelumnya. Hubungan kami sudah
berlangsung selama tiga tahun, dan minggu lalu akhirnya Aku memberanikan diri
untuk melamarnya.
Agak lucu memang jika
mengingat bagaimana caraku melamarnya. Ivy yang hobi bersih-bersih berbaik hati
untuk membersihkan apartemenku, dan aku yang serampangan lupa bahwa cincin yang
kubeli hari sebelumnya untuk melamarnya tergeletak begitu saja di meja ruang
tamu.
“Ini… Cincin?”
Random, kacau, gagal total. Semua
rencana cara melamar yang paling romantis hasil begadang semalaman hancur sudah
karena sifatku yang berantakan ini. Dan yang terjadi selanjutnya menjadi sumber
kelucuan dari prosesi pelamaran ini. Ahirnya dengan wajah bingung, aku berlutut
di hadapannya lalu melamar Ivy. Tak ada makan malam romantis, tak ada lantunan
piano atau biola, hanya ada seorang pria dengan kaus putih kusut bertuliskan ‘I
Believe My Self!’ dipadu dengan celana pendek biru serta gadis dengan terusan rumah
berwarna baby pink yang dibalut oleh celemek karena sedang bersih-bersih. Dan
jawabannya adalah “Iya”.
“Akan masuk dalam pernikahan yang
suci, Saudara Tomas Agustinus dengan Saudari Imanuella Ivy . Apabila kedua
mempelai hadir saat ini, dimohonkan untuk bangkit berdiri.”
Aku menatap pantulan diriku yang
terlihat begitu bahagia saat nama kami disebut. Sambil berpegangan tangan, kami
berdiri dan tersenyum kepada orang-orang yang menghadiri misa pagi itu. Dan
tepukan riuh menyambut kami berdua. Bahagia sekali rasanya saat itu.
Kupikir hari itu adalah
hari yang paling membahagiakan, tapi ternyata perkiraanku salah saat melihat
dirinya yang kini sudah berjalan mendekatiku. Ivy menyeret langkahnya yang
terlihat kaku, membiarkan ujung gaun putih berbahan satin yang membalut
tubuhnya bergesekan dengan ubin gereja yang bercorak klasik. Tangannya terus
mendekap lengan Ayahnya, sementara tangan yang lainnya memegang sebuket bunga Daisy
yang dirangkai dengan bunga Ivy di sekelilingnya. Senada dengan rangkaian bunga
Ivy yang menghiasi tiang penyangga gereja serta bangku yang berjejer rapi lengkap
dengan para manusia yang mendudukinya dengan mata tertuju pada sang pengantin
wanita. Sama seperti namanya, Ivy. Nama yang kusukai karena memiliki arti cinta
yang tak pernah berakhir, sama seperti cintaku padanya.
“Di hadapan imam dan para saksi, saya,
Tomas Agustinus menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa Imanuella Ivy yang hadir
di sini sejak saat ini menjadi istri saya. Saya berjanji akan tetap setia kepadanya
dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup…”
“Saudari Imanuella Ivy, bersediakah
Saudari menikah dengan Saudara Tomas Agustinus yang hadir di sini dan mencintainya
dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?”
“Ya, saya bersedia…”
***
“Jadi… Apa yang kau lihat?!” tanya
Rudi antusias saat Tom melepas topi aneh dengan lampu warna-warni di sisi
depannya dan kawat kecil dengan kabel-kabel yang membentuk susunan tak beraturan.
“Tak ada…” jawab Tom, Ia menatap Rudi
dengan tatapan tanpa ekspresi lalu melempar topi aneh (yang kata Rudi akan jadi
penemuan terbaik di akhir abad ke-21) tepat ke wajah penciptanya.
“Hei! Kau pasti bohong! Mana mungkin
alat ini tidak berfungsi? Kemarin saat kupakai berhasil kok! Di masa depan aku
jadi ilmuwan hebat, punya perusahaan pencipta barang-barang dengan teknologi
paling mutakhir dan… ubbhhhhhh… aabbpphhhh!”
Tom tertawa puas melihat Rudi yang
akhirnya berhenti bicara panjang lebar setelah mulutnya Ia bungkam dengan roti.
Lagipula mana ada omong kosong seperti melihat masa depan dengan sebuah topi?
Dan kenapa masa depan yang Ia lihat adalah sebuah pernikahan?
“Hei… Kau menjatuhkan topimu…” sebuah
suara dari arah belakang menghentikan tawa Tom. Mau tak mau membuatnya
berbalik.
“Ahh, bukan itu topi Ru…”
“Ini topimu kan? Ini ku kembalikan…”
Ia tercengang melihat gadis yang
berdiri di depannya. “Ivy…” panggilnya dengan nada tak yakin.
“Ya? Itu memang nama tengahku. Tapi
teman-teman di kampusku dulu lebih sering memanggil nama depanku, Imanuella. Bagaimana
kau tahu? Apa kau punya indera keenam atau sejenisnya?” tanyanya dengan nada
tertarik yang tak bisa disembunyikan.
“Ahh… Tidak. Ngomong-ngomong namaku
Tom. Salam kenal…”
“Ya. Salam kenal…” balas gadis itu
lalu tersenyum.
Dan kedua insan manusia itu
saling tersenyum, seorang pria muda yang belum percaya pada masa depan yang Ia
lihat dan seorang gadis yang belum tahu bahwa Ia akan menjadi bagian dalam masa
depan si Pria. Tak peduli akan apa yang akan terjadi di masa depan, namun akan
terus berharap. Karena mereka tahu, “masa depan memiliki janjinya sendiri”.
Eh... udah bikin lagi aja. gw belum soalnya, kemaren kebanyakan maen :))
BalasHapusBagus2... agak2 sci-fi :D
sci-fi?
BalasHapusapa tuh? -_-a
Ini bikinnya krna kmrin di gereja ada pengumuman klo ada yg mo nikah. wkaka
yg di bawah ga jelas smua. -_-
sci-fi itu science fiction...
BalasHapusitu ceritanya time travel kan? :D
Ohh. Iya. Wkwkk
BalasHapuskrna gtw mo bkin ending kya apa. Jadinya kepikiran kya gitu.
Idenya parah bgt masa pke topi. :p