Minggu, 01 Januari 2012

The Future has Its Own Promise


“Genggam tanganku dan kau akan melihat
Dunia yang kucintai dan lagu yang mengiringinya
Resapkan setiap kata, maknai setiap nada
Kau akan tahu… oleh siapa lagu itu bernyawa.”

“Ivy, apa kau sudah siap?”
Sebuah suara yang familiar menghentikan aksiku yang meremas-remas gaun karena gelisah, muncul di saat yang tepat sebelum aku merusak gaun pengantin yang sedang kupakai. Seorang pria berumur enam puluhan berdiri di depan pintu sambil menatapku lembut. Sekilas kulihat ada tatapan khawatir yang muncul dari wajahnya, yang langsung hilang beberapa detik setelahnya. Pria ini memang hebat dalam hal penguasaan diri.
“Ayah…” aku berlari menuju pria yang berdiri di depan pintu lalu memeluknya. Perlahan air mataku menetes.
“Jangan menangis…” katanya sambil mengusap puncak kepalaku lalu menghapus air mata yang jatuh dari kedua mataku.
Rasanya aku ingin tertawa saat mendengar ucapan Ayah yang mirip scene pernikahan pada film-film yang kutonton. Scene saat sang mempelai wanita menangis pada Ayahnya yang akan mengiringnya ke depan altar. Yang akan selalu dijawab…
“Mempelai wanita selalu menangis saat pernikahannya, Ayah…” jawabku yang akhirnya merasa begitu bodoh karena dulu sempat menertawakan adegan film yang seperti ini.
“Baiklah kalau begitu. Pegang tangan, Ayah.”
Ku anggukkan kepalaku dan mengenyahkan semua pikiran negatif yang melayang di otakku sejak tadi. Dan di saat kedua sisi pintu kayu itu terbuka, jantungku serasa ingin melompat dari tempatnya.
Oh Tuhan… Jangan biarkan aku mati saat ini.
***
Januari, 31.
Ya… Aku menulis di atas kertasmu lagi. Aku tahu ini tak lazim bagi seorang wanita seumuranku, apalagi wanita yang akan segera menikah. Karena itu aku tak lagi memakai embel-embel ‘Dear Diary’ yang biasa kutulis di umur belasan.
Apa aku menulis kata ‘menikah’ tadi? Ya… Ya… Ya… Menikah. Sampai hari ini aku masih tak bisa mempercayai kenyataan bahwa aku akan segera menikah dengan Tom, dan kami sudah mendaftarkan diri sebagai calon pengantin di gereja.
Tapi, entahlah. Ada beberapa hal yang membuatku takut akhir-akhir ini. Karena itulah aku membuka lembaranmu lagi dan menulis, karena setiap keluhan yang kukeluarkan saat ini hanya akan ditanggapi sebagai sindroma pra-nikah oleh semua orang di sekitarku.
Ia sempurna… sangat. Tak ada pria lain yang kuinginkan bersanding denganku di depan altar selain dirinya. Memang ada begitu banyak perbedaan. Aku percaya mitos, Tom lebih memilih untuk menertawakannya. Aku senang menghabiskan waktuku dengan menulis, Tom lebih suka naik gunung. Aku suka makan cereal dengan banyak susu, Tom lebih suka memakannya langsung dari kotaknya.
Begitu banyak perbedaan lainnya yang tak bisa ku sebutkan satu persatu. Dan kurasa hal-hal lain akan menyusul setelah aku mengenalnya lebih dekat lagi sebagai pendamping hidupku. Aku pernah mendiskusikan hal ini dengan Tom, tapi Ia hanya menjawabnya dengan senyuman dan kecupan yang menenangkan di dahiku.
Tom senang memanggilku dengan nama tengahku, Ivy. Sama dengan cara Ayah dan Ibuku memanggilku. Saat kutanya alasannya, Ia hanya menjawab, “karena aku suka nama itu…” Aku juga menyukai namamu Tom, dan kupikir aku tak akan menyukai nama pria lain lagi selain namamu, Tomas Agustinus.
Jadi… Apa yang harus kulakukan? Pernikahanku tinggal dua minggu lagi… Apa yang harus kulakukan?
***
“Berawal dari sebuah tanda tanya, lalu koma yang menggantung. Ada ‘titik-titik’ yang tak bisa dijawab, tanda seru yang meledak-ledak, lalu akhirnya tiba hari dimana aku bisa membubuhkan tanda titik… pada hatimu.”

Lantunan lagu Ave maria mengalun seiring dengan langkahnya menuju altar ini, altar tempatku berdiri menantinya dengan tatapan terpukau. Aku terlalu khawatir beberapa hari ini. Apa Ia baik-baik saja? Apa Ia makan tepat waktu? Tapi kekhawatiranku kini lenyap seketika saat melihatnya melangkah menuju altar yang sama denganku.
Sebuah ingatan singgah di otakku, menampilkan kilasan peristiwa dua minggu yang lalu yang seperti terulang kembali di depan mataku. Aku dan Ivy duduk di bangku depan gereja ini, mengikuti misa seperti minggu-minggu sebelumnya. Hubungan kami sudah berlangsung selama tiga tahun, dan minggu lalu akhirnya Aku memberanikan diri untuk melamarnya.
Agak lucu memang jika mengingat bagaimana caraku melamarnya. Ivy yang hobi bersih-bersih berbaik hati untuk membersihkan apartemenku, dan aku yang serampangan lupa bahwa cincin yang kubeli hari sebelumnya untuk melamarnya tergeletak begitu saja di meja ruang tamu.
“Ini… Cincin?”
Random, kacau, gagal total. Semua rencana cara melamar yang paling romantis hasil begadang semalaman hancur sudah karena sifatku yang berantakan ini. Dan yang terjadi selanjutnya menjadi sumber kelucuan dari prosesi pelamaran ini. Ahirnya dengan wajah bingung, aku berlutut di hadapannya lalu melamar Ivy. Tak ada makan malam romantis, tak ada lantunan piano atau biola, hanya ada seorang pria dengan kaus putih kusut bertuliskan ‘I Believe My Self!’ dipadu dengan celana pendek biru serta gadis dengan terusan rumah berwarna baby pink yang dibalut oleh celemek karena sedang bersih-bersih. Dan jawabannya adalah “Iya”.
“Akan masuk dalam pernikahan yang suci, Saudara Tomas Agustinus dengan Saudari Imanuella Ivy . Apabila kedua mempelai hadir saat ini, dimohonkan untuk bangkit berdiri.”
Aku menatap pantulan diriku yang terlihat begitu bahagia saat nama kami disebut. Sambil berpegangan tangan, kami berdiri dan tersenyum kepada orang-orang yang menghadiri misa pagi itu. Dan tepukan riuh menyambut kami berdua. Bahagia sekali rasanya saat itu.
Kupikir hari itu adalah hari yang paling membahagiakan, tapi ternyata perkiraanku salah saat melihat dirinya yang kini sudah berjalan mendekatiku. Ivy menyeret langkahnya yang terlihat kaku, membiarkan ujung gaun putih berbahan satin yang membalut tubuhnya bergesekan dengan ubin gereja yang bercorak klasik. Tangannya terus mendekap lengan Ayahnya, sementara tangan yang lainnya memegang sebuket bunga Daisy yang dirangkai dengan bunga Ivy di sekelilingnya. Senada dengan rangkaian bunga Ivy yang menghiasi tiang penyangga gereja serta bangku yang berjejer rapi lengkap dengan para manusia yang mendudukinya dengan mata tertuju pada sang pengantin wanita. Sama seperti namanya, Ivy. Nama yang kusukai karena memiliki arti cinta yang tak pernah berakhir, sama seperti cintaku padanya.
“Di hadapan imam dan para saksi, saya, Tomas Agustinus menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa Imanuella Ivy yang hadir di sini sejak saat ini menjadi istri saya. Saya berjanji akan tetap setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup…”
“Saudari Imanuella Ivy, bersediakah Saudari menikah dengan Saudara Tomas  Agustinus yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?”
“Ya, saya bersedia…”
***
“Jadi… Apa yang kau lihat?!” tanya Rudi antusias saat Tom melepas topi aneh dengan lampu warna-warni di sisi depannya dan kawat kecil dengan kabel-kabel yang membentuk susunan tak beraturan.
“Tak ada…” jawab Tom, Ia menatap Rudi dengan tatapan tanpa ekspresi lalu melempar topi aneh (yang kata Rudi akan jadi penemuan terbaik di akhir abad ke-21) tepat ke wajah penciptanya.
“Hei! Kau pasti bohong! Mana mungkin alat ini tidak berfungsi? Kemarin saat kupakai berhasil kok! Di masa depan aku jadi ilmuwan hebat, punya perusahaan pencipta barang-barang dengan teknologi paling mutakhir dan… ubbhhhhhh… aabbpphhhh!”
Tom tertawa puas melihat Rudi yang akhirnya berhenti bicara panjang lebar setelah mulutnya Ia bungkam dengan roti. Lagipula mana ada omong kosong seperti melihat masa depan dengan sebuah topi? Dan kenapa masa depan yang Ia lihat adalah sebuah pernikahan?
“Hei… Kau menjatuhkan topimu…” sebuah suara dari arah belakang menghentikan tawa Tom. Mau tak mau membuatnya berbalik.
“Ahh, bukan itu topi Ru…”
“Ini topimu kan? Ini ku kembalikan…”
Ia tercengang melihat gadis yang berdiri di depannya. “Ivy…” panggilnya dengan nada tak yakin.
“Ya? Itu memang nama tengahku. Tapi teman-teman di kampusku dulu lebih sering memanggil nama depanku, Imanuella. Bagaimana kau tahu? Apa kau punya indera keenam atau sejenisnya?” tanyanya dengan nada tertarik yang tak bisa disembunyikan.
“Ahh… Tidak. Ngomong-ngomong namaku Tom. Salam kenal…”
“Ya. Salam kenal…” balas gadis itu lalu tersenyum.
Dan kedua insan manusia itu saling tersenyum, seorang pria muda yang belum percaya pada masa depan yang Ia lihat dan seorang gadis yang belum tahu bahwa Ia akan menjadi bagian dalam masa depan si Pria. Tak peduli akan apa yang akan terjadi di masa depan, namun akan terus berharap. Karena mereka tahu, “masa depan memiliki janjinya sendiri”.

4 komentar:

  1. Eh... udah bikin lagi aja. gw belum soalnya, kemaren kebanyakan maen :))

    Bagus2... agak2 sci-fi :D

    BalasHapus
  2. sci-fi?
    apa tuh? -_-a
    Ini bikinnya krna kmrin di gereja ada pengumuman klo ada yg mo nikah. wkaka
    yg di bawah ga jelas smua. -_-

    BalasHapus
  3. sci-fi itu science fiction...
    itu ceritanya time travel kan? :D

    BalasHapus
  4. Ohh. Iya. Wkwkk
    krna gtw mo bkin ending kya apa. Jadinya kepikiran kya gitu.
    Idenya parah bgt masa pke topi. :p

    BalasHapus