Rabu, 03 April 2024

#4 : Fokus pada apa yang ada di bawah kendali kita bisa membuat kita bisa bersyukur (Habis baca : Filosofi Teras)

"Cara kita melihat dan mengukur segala sesuatu termasuk di bawah kendali kita. Dan, di situ tersimpan banyak alasan untuk tetap bersyukur." _ Filosofi Teras, halaman 276.

Ini adalah review lanjutan setelah 3 hal yang aku rangkum setelah membaca bab II buku Filosofi Teras.

(baca selengkapnya: https://kekacauansementara.blogspot.com/2023/09/jurnalmalam-apa-yang-aku-miliki-dan.html?m=1)

Dalam buku ini, dipaparkan beberapa hal yang ada di bawah kendali dan tidak. Salah satu contohnya adalah harta. Seringkali aku sering sedih karena terlalu fokus dengan kondisi keuanganku. Karenanya, hidupku jadi lebih melelahkan dan sulit dijalani. Teman-teman di sekelilingku sering berkata kalau aku sering terlihat susah, padahal gaji/tunjangan baru saja masuk rekening. Aku menyadari hal ini terjadi karena aku selalu menghitung berapa banyak yang aku dapat, dan memikirkan berapa banyak yang harus aku habiskan. Merencanakan keuangan memang tidak salah, kesalahan yang aku lakukan adalah menjadikan uang itu sebagai alasan untuk bahagia. Kalau uang itu sudah berkurang banyak, berkurang pula kebahagiaanku. Membaca buku ini membuat aku belajar bahwa harta, kesehatan, pikiran orang lain, adalah hal yang tidak bisa aku kendalikan. Karena tidak bisa kukendalikan, bukan berarti jadinya aku yang dikendalikan. Seandainya aku bisa membuang pikiran tentang hal-hal di atas, aku bisa lebih bersyukur akan apa yang aku miliki.

Sabtu, 09 Maret 2024

Menghindari Duka

Harus aku akui aku penakut. Bila dihadapkan dengan hal sulit, aku sering menangis. Aku pun jadi sering meramal ketika suatu hal atau peristiwa datang ke hidupku, apa aku bisa melaluinya? Apa itu baik atau buruk? 

Tapi semakin hari, kesempatan untuk menghindar semakin berkurang. Lalu aku semakin membatasi pertemuan yang ingin aku hadiri, membatasi interaksi yang mungkin terjadi, menghindari kalimat yang tidak ingin kudengar.

Rabu, 06 Maret 2024

/coret/Repot/coret/ Murah Hati itu Ngga Apa-Apa (Habis Baca : Minimarket yang Merepotkan)

Jika kamu berjalan ke arah Sookmyung Women's University di daerah Cheongpadong, melewati dua gang sampai tiba di sudut pertigaan, kamu bisa menemukan sebuah minimarket bernama 'ALWAYS' berdiri di depanmu. Pemilik minimarket itu adalah seorang nenek yang baik, mengingatkan aku pada perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati, dimana ibu itu mengajak seorang tunawisma keluar dari Stasiun Seoul, memberinya makan (dan berjanji seterusnya bisa makan gratis di minimarketnya), bahkan memberi tunawisma itu; Dokgo, pekerjaan sebagai pegawai di minimarket. Walau Nyonya Yeom mulai resah karena serangan pikun, tapi hari saat ia bertemu Dokgo, mendapat kebaikan dan membalas kebaikan, sudah cukup membuat harinya terasa lebih baik.

Kebaikan Nyonya Yeom tidak hanya diberikan kepada Dokgo. 
Minimarket yang ia kelola sebenarnya tidak memberikan keuntungan baginya karena uang yang didapat digunakan untuk menggaji pegawainya. Nyonya Yeom sendiri sudah bisa hidup dengan uang pensiunan guru. Bukankah Nyonya Yeom begitu murah hati? Dan siapa yang menyangka kalau kehadiran minimarket yang katanya merepotkan ini sebenarnya bisa jadi tempat bagi orang-orang untuk bertukar kisah, menjadi lebih baik, bahkan bisa bangkit dari masa lalu yang ingin dilupakan? 

Buku 'Minimarket yang Merepotkan' berisi 8 kisah dari berbagai sudut pandang orang yang berkunjung ke Minimarket ALWAYS. Tiap kisah punya pesona masing-masing, aku bingung harus memilih kisah mana yang kusuka. Tapi kalau ditanya kisah mana yang kurang aku suka adalah kisah anak lelaki Nyonya Yeom yang bernama Minsik. Bukan karena kisahnya tidak bagus, tapi Minsik digambarkan sebagai pribadi yang keras kepala dan suka menyalahkan orang lain. Sampai akhir cerita aku tidak menemukan adanya tanda perubahan sikap. Walau begitu, penulis buku ini memutuskan untuk menulis seri kedua buku ini... dan sepertinya Minsik juga ada. Apa ia akan selamanya jadi brengsek? Aku belum tau. 

Akhirnya, kisah terakhir yang judulnya sama dengan dengan nama minimarket ini, dimulai dengan barisan pertanyaan yang membuatku sesak.

"Apa yang terjadi jika kau memikirkan satu hal saja setiap saat; 24 jam sehari, 7 hari seminggu? Bagaimana jika satu pikiran itu adalah ingatan yang penuh akan rasa sakit."

Sebelum bertemu Nyonya Yeom, Dokgo mengisi hari dengan menonton siaran berita 24 jam di TV dan melihat orang-orang yang lewat di stasiun Seoul. Aku punya kebiasaan menulis catatan yang aku selipkan di halaman buku kalau ada hal yang membuatku bertanya-tanya, di kertas itu aku menulis, "Kenapa Dokgo harus menonton TV dan melihat orang-orang?" Setelah membaca kalimat yang mengawali kisah terakhir, aku jadi tau.

"Pada akhirnya, hidup adalah hubungan, dan hubungan adalah komunikasi."

Dari keseluruhan kisah buku ini, bagian yang kena di hati karena juga masih aku alami adalah kemampuan berkomunikasi. Dokgo berbicara dengan terbata setelah memutus paksa hubungan yang ada di masa lalu, lalu hidup ditemani alkohol. Walau ia menonton berita dan mendegar suara-suara orang di stasiun, ia tidak berkomunikasi. Lama-kelamaan kemampuan berkomunikasinya pun menurun. Aku pikir kebaikan Nyonya Yeom yang membawanya keluar dari sana adalah satu-satunya penyelamat yang mengubah hidup Dokgo, tapi aku sadar sekarang, kalau Dokgo tidak mau bergerak dari sana, apa yang bisa Nyonya Yeom lakukan?

Pada akhirnya, sekuat apapun seseorang mencoba untuk menolongmu keluar dari masalah, kalau kamu merasa itu bukan masalah dan tetap diam di dalamnya, segalanya tidak akan berubah.

Hah...

"... kebahagiaan itu tidak jauh dan bisa ditemukan saat berbagi pikiran dengan orang-orang di sekitar."

Kapan ya bisa baca terjemahan 'Minimarket yang Merepotkan 2"?

Sabtu, 24 Februari 2024

#JurnalMalam Bayangkan Hasil Akhir

 Aku berjanji ini ga bakal jadi postingan overthinking.

Tapi mau mulai ngetik apa aja susah.

Jadi tadi baru ikutan seminar buat update ilmu biar ngga ketinggalan kesempatan buat nambah SKP. Tapi ada satu pandangan yang menetap dalam ingatan dan udah aku tulis di X juga barusan :

Baru sadar juga hidupku kebanyakan 'tapi.'
TAPI INI
TAPI ITU
HAH TAPI
TAPI...
Tapi aja terus, hidup kok kehalang tapi.

Hmm... lanjut. Dari kutipan di atas aku jadi kepikiran aku mau hidupku tuh jadi kayak apa sih nantinya?

Mau hidup dikenang sebagai orang yang bermanfaat gitu hidupnya? Harus apa?
Mau hidup lama? Kudu sehat, hidup sehat juga butuh duit, butuh olahraga, butuh istirahat cukup, butuh manajemen stres yang baik.
Mau nikah? Harus apa?
Mau tinggal di rumah ini selamanya? Apa mungkin?
Mau nabung? Buat apa tabungannya? Rencanain dulu mimpinya biar jelas jalannya.
Mau pensiun? Umur berapa? Dana pensiunnya ada?

Demikian keresahan yang aku pikirkan tapi janji ga bakal overthink karena tidak ada gunanya kalo ga ada solusinya.

Pokoknya, kalo mau melakukan ya lakukan. Jangan sekedar coba-coba, kalo niatnya gitu doang mending jangan.