Selasa, 31 Januari 2012

Kopi Tubruk

Uap yang mengepul dari gelas di hadapanku mulai menghilang. Hampir tiga puluh menit aku menanti di tempat ini, untuk seseorang yang bahkan tak ku ketahui rupanya. Modalku hanyalah sebuah nama, Ridwan, yang tak sengaja terucap dari mulut Ayah saat bertengkar dengan Ibu dua hari yang lalu. Tapi sepertinya sekarang aku tak bisa menyebutnya Ayah lagi, karena nyatanya ia bukan Ayah kandungku.
Aku merogoh saku celana lalu mengeluarkan handphone. Sebuah nomor telepon –yang ku duga sebagai nomor wartel- tertera di panggilan masuk. Telepon yang masuk tepat sebelum jam makan siang dan membuatku mengambil keputusan untuk pergi ke sebuah warung pinggir jalan yang menyajikan kopi tubruk sebagai menu satu-satunya. Merasakan jenis kopi ini saja tidak pernah. Palingan untuk soal kopi aku lebih memilih minum kopi di cafĂ©. Tapi begitulah, demi seseorang yang tak ku kenal aku memilih untuk datang di tempat yang sama sekali asing bagiku serta memesan minuman yang tak pernah ku teguk.
Sungguh hebat.
                Waktu jam makan siang kantorku mulai habis, sama seperti kesabaranku. Namun saat aku hendak beranjak dari tempat ini, sebuah tepukan dari belakang menghentikan langkahku.
“Mengapa kau tak menyentuh kopimu?”
Aku berbalik dan menatap sosok pria berpenampilan lusuh yang tadi menepuk pundakku. Jenggotnya yang dibiarkan tumbuh begitu saja mengingatkanku pada sosok teroris yang sempat muncul di TV. Tapi ku rasa orang ini bukan teroris atau semacamnya.
“Aku sedang tidak berselera,” jawabku pendek, mengisyaratkan bahwa aku tak ingin melanjutkan pembicaraan ini dan akan segera pergi. Tapi sepertinya pria ini belum ingin berhenti bicara denganku.
“Biar ku tebak, kau pasti belum pernah meminum kopi di emperan seperti ini. Pilihanmu pasti lebih pada jenis kopi mahal yang dijual di tempat yang jauh lebih bagus…” katanya lagi, kali ini sambil tersenyum. Dan aku hanya bisa menganggukkan kepala saja.
“Begitulah manusia, kita akan selalu memilih yang terbaik. Seperti halnya memilih kopi...”
Ia melanjutkan, “Seringkali orang mengira bahwa kopi yang mahal, yang namanya bagus, pasti rasanya tak sebanding dengan kopi murah seperti ini. Padahal sebenarnya tidak begitu…” katanya lagi sambil mengulurkan gelas kopi yang ku tinggalkan tadi. Aku pun menerimanya lalu meneguk kopi yang sudah dingin itu secara perlahan. Enak, pasti akan lebih enak jika diminum saat masih panas.
Seakan mengerti dengan ekspresiku, pria itu tersenyum.
“Setiap manusia berhak untuk memilih. Sekarang kau mengerti, kan?” dengan senyum yang belum hilang dari bibirnya ia berujar kepadaku lalu berjalan keluar dari tenda warung kopi tubruk ini. Meninggalkanku yang masih bertanya-tanya maksud perkataannya tadi.
“Sudah untung aku tidak membiarkanmu jatuh miskin sama si Ridwan itu. Anakmu dengannya juga mau aku anggap anak sendiri!”
Sebaris kalimat yang diucapkan Ayah saat bertengkar dengan Ibu terngiang di telingaku, lalu berganti dengan ucapan pria tadi tentang kopi tubruk yang dijual di emperan dan kopi yang mahal, dan mendadak aku mengerti.
                Segelas kopi tubruk dingin yang baru kuminum setengah, seakan menjelaskan semuanya. Dan aku yakin, pasti akan ada hari selanjutnya. Akan ada kopi tubruk yang bisa ku nikmati selagi panas. Akan ada pertemuan lain. Akan ada…

2 komentar:

  1. akhirnya agak ngegantung gini >.<

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, tam. --a
      Bingung soalnya. Mau dipanjangin, jadinya malah cerpen. :p
      Dibikin lebih pendek. Kyknya ada yg kurang. --a
      Itu hampir pas 500 kata *bts ff* :p

      Hapus