Jumat, 03 Februari 2012

PERDITONIA

        ‘Penyebaran narkoba pada tahun 2011 menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi dibanding tahun 2010. Aparat menemukan beberapa bungkus Kokain pada …’ seorang pria berkemeja biru terlihat serius membawakan berita pagi dalam kotak kaca 29 inchi itu. Frame kacamata dengan sudut melengkung terlihat sesuai dengan bentuk wajah persegi miliknya, lengkap dengan bentuk rahang yang kokoh sebagai pelengkap bagi wajahnya. Membuat gadis berkemeja kotak-kotak yang sedang duduk di depan kotak kaca itu terpana.
“Jadi kita bergerak sekarang?” suara yang selalu terdengar sinis itu menyadarkan gadis tersebut dari aktivitasnya. Ia beringsut membetulkan posisi duduknya lalu meraih remote dan mengarahkannya pada televisi. Keheningan yang dibencinya datang lagi.
“Tentu…” balasnya pendek. Ia tak ingin bermanis-manis pada pemilik suara sinis ini, Adrian.
“Baiklah. Siapkan perlengkapan kita.”
Tiga kata “Siapkan perlengkapan kita” kini bisa menjelaskan kasta mereka, bukan? Adrian, pemimpin dalam misi ini termasuk dalam kasta ‘Kesatria’, kasta bagi golongan bangsawan dan prajurit dalam masyarakat Hindu. Sedangkan gadis berkemeja kotak-kotak itu, Lea, tentu saja ‘Paria’. Alasannya tak perlu dibahas sepertinya, intinya Adrian adalah Bos dan Lea… begitulah.
Tak ada yang mereka bincangkan selama perjalanan yang memakan waktu empat jam tersebut. Hanya bunyi deru mesin mobil Adrian serta hiruk-pikuk manusia di pasar malam yang mereka lewati yang menjadi pengisi kekosongan di antara keduanya. Deretan pohon pisang terlihat dari kejauhan. Honduras memang kaya akan jenis buah ini.
“Kita hampir sampai,” ujar Adrian memecah keheningan. Sigap, ia memutar setir mobil lalu menyusuri hutan yang mulai gelap setelah senja tiba, lalu berhenti di bawah sebuah pohon besar. Lea yang sudah terbiasa menjalani misi dengan Adrian, keluar sambil menenteng berbagai perlengkapan yang mereka butuhkan. Setelah semuanya sudah lengkap, mereka mulai menutup mobil tersebut dengan ranting pohon dan dedaunan untuk menyamarkannya.
Akhirnya misi mereka benar-benar dimulai.
***
“Apa kita mengikuti arah yang benar?” Adrian tak berhenti mengeluh di samping Lea. Ya, Lea yang memegang kompas. Tapi kan yang menyuruh untuk berjalan ke arah Selatan adalah Adrian sendiri. Mana tahu kalau akhirnya mereka malah tersesat dan sampai ke air terjun yang jelas-jelas berlawanan arah dengan tempat yang mereka tuju.
“Apa boleh buat. Kita memutar saja. Tahu begini aku tak membiarkanmu menunjukkan arah.”
            Lea diam saja, ia memang sudah mati rasa dengan sikap Adrian yang seperti ini. Tak mau disalahkan. Mau bagaimana lagi? Markas besar menugaskan dirinya untuk menjadi asisten Adrian dalam misi menangkap sindikat pengedar Narkoba yang berpusat di Honduras. Jadinya ia harus terus menekan emosinya agar tidak mengikat leher Adrian lalu melemparkannya ke air terjun.
            Mereka kembali menyusuri jalan yang mereka lalui tadi. Untungnya hal tersebut tak berlangsung lama, karena kini sebuah bangunan telah berdiri di hadapan mereka, lengkap dengan para penjaga yang berdiri di setiap sudut bangunan tersebut.
            Dengan waspada keduanya bergerak menuju penjaga yang terkantuk-kantuk di sisi kiri gedung. Namun, saat Adrian ingin mencekik penjaga tersebut, sebuah teriakan mengagetkan mereka.
“Ada penyusup!” refleks, kedua pasang kaki mereka mulai berlari untuk kabur dari tempat itu. Hutan yang gelap kadang membuat kaki mereka tersandung dan hampir jatuh. Goresan akibat kulit mereka yang bergesekkan dengan ranting pohon tak mereka pedulikan. Teriakan-teriakan di belakang sana jauh lebih berbahaya bagi nyawa mereka daripada goresan kecil tersebut.
“Celaka!” Lea berteriak frustasi saat melihat tetesan air yang tak terhitung jumlahnya tercurah dari sisi kanan tebing tempat mereka berdiri. Air terjun.
“Cepat lompat!”
“Maksudmu?! Kau ingin kita berdua mati konyol dengan jasad yang tak mungkin ditemukan?” protes Lea pada usul Adrian yang tak masuk akal.
“Sudah lompat saja!”
“Yang benar sa…"
TAAARR!
Bunyi tembakan terdengar, disusul dengan Adrian yang terhuyung sambil memegang bahunya. Sebuah peluru yang ditembakkan oleh para penjaga yang berhasil menyusul mereka kini bersarang di bahu kirinya.
“Adrian!”
“Sud… ahh… ku… bilang… lompat…” ujar Adrian terbata-bata. Darah segar mengalir melalui jemari tangannya yang menahan kuat pada bahu kirinya. Sementara di hadapan mereka kini sudah berdiri para penjaga tadi yang terkekeh seperti baru mendapat kupon undian. Senapan yang berada di tangan kanan salah seorang dari mereka sudah diarahkan pada Lea, siap menembus kepalanya kapan saja.
Lalu entah apa yang dipikirkannya, Lea menggulingkan tubuhnya bersama Adrian menuju air terjun. Kedua tubuh tersebut terhempas mengikuti arah grafitasi bumi. Dan sebelum aliran air memeluk tubuhnya, Lea melihat rasi bintang bersinar di atas sana. Ia tahu mereka akan baik-baik saja.
***
            Sensasi geli dan basah pada wajahnya membuat sepasang mata milik Adrian terbuka. Dikerjapkannya mata itu perlahan lalu berusaha untuk mengenali tempat ini, gua dengan puluhan stalaktit sebagai penghias.
            Pandangannya kini beralih pada sosok gadis yang terbaring di sebelahnya, Lea. Seekor cerpelai yang sedang menjilat-jilat wajah gadis tersebut membuatnya mengerti tentang sensasi geli dan basah yang dirasakannya tadi. Tapi itu tak penting. Yang penting adalah mereka dimana sekarang?
“Adrian! Syukurlah kau selamat!” Lea berseru lalu memeluk Adrian, dan Adrian hanya bisa tersenyum saja. “Ini di mana?
“Entahlah. Mungkin kita harus… akhh!” tiba-tiba rasa nyeri pada luka di bahu Adrian muncul lagi.
“Kita harus mencari bantuan…” dengan sigap Lea memapah Adrian menuju cahaya yang berasal dari depan. Dan betapa herannya mereka saat melihat pemandangan yang nampak di hadapan keduanya. Tak ada langit biru, hanya ada langit-langit yang sepertinya merupakan perpanjangan dari gua tadi, namun yang ini jauh lebih tinggi. Sedangkan cahaya yang tadi timbul dari api besar seperti matahari tapi berwarna biru kehijauan yang melayang di tengah-tengah. Puing-puing reruntuhan bangunan berserakan di mana-mana, membuat tempat ini terlihat seperti kota mati. Apakah mereka berada di salah satu bagian di Negara Honduras? Mereka tidak tahu.
“Manusia…”
“Siapa di situ!” Lea berteriak dengan tatapan waspada. Dikeluarkannya pisau lipat dari saku celananya dan mengacungkan pisau tersebut. “Keluar kau!” teriaknya lagi.
Tak ada yang keluar, yang terdengar hanya suara nyanyian yang asing. Lama-kelamaan nyanyian itu semakin keras dan menusuk telinga. Tapi baik Lea maupun Adrian tak dapat menggerakkan tangan mereka untuk menutup telinga. Tubuh mereka terasa kaku, suara mereka pun hilang.
“Manusia jahat harus menerima balasan…” ujar suara asing itu lagi.
“Hentikan! Mereka tidak jahat!”
Sebuah suara seperti suara seorang gadis kecil tiba-tiba memecah suasana. Ajaib! Lea dan Adrian merasa tubuhnya bisa digerakkan lagi. Tapi yang lebih ajaib lagi saat mereka melihat cerpelai yang tadi berubah menjadi… sosok gadis kecil?
“Siluman!” Adrian berteriak saat melihat kejadian yang terjadi di hadapan mereka.
“Jaga mulutmu! Kami bukan siluman. Kami Defluox, penghuni Perditonia ini…”
Tiba-tiba setelah suara nyaring tersebut, puluhan sosok yang menggunakan jubah kelabu melayang di atas kepala mereka. Kedua telapak tangan mereka terbuka, api berwarna hijau dan biru terdapat di atasnya. Sepintas mereka memang mirip dengan manusia. Hanya saja telapak tangan berapi serta kemampuan mereka yang bisa terbang jelas-jelas menandakan bahwa mereka bukan makhluk biasa. Dan bila melihat kebencian mereka pada manusia, sepertinya mereka memang tak satu spesies dengan Lea dan Adrian.
“Mengapa kau membela mereka? Bukankah kau tahu manusia itu jahat!” salah satu Defluox melancarkan protes pada gadis cerpelai yang membela Lea dan Adrian.
“Karena mereka sudah menolongku. Aku sempat terkena perangkap yang dibuat oleh manusia yang tinggal di tengah hutan itu. Tapi mereka menolongku…”
            Para Defluox terdiam, sementara kedua manusia yang awalnya menjadi sasaran kemarahan Defluox hanya menganggukan kepala seakan mengerti pada penjelasan si gadis cerpelai. Adrian ingat pada cerpelai yang sempat mereka tolong tadi. Untunglah, orang yang berbuat baik pasti akan mendapat balasan yang baik pula.
“Lalu siapa sebenarnya kalian?” pertanyaan polos yang keluar dari mulut Lea pun mengawali sebuah kisah panjang tentang masa lalu.
***
            “Dahulu, manusia dan Defluox hidup berdampingan dengan damai. Defluox bebas terbang kesana-kemari tanpa takut ada manusia yang akan menyerang mereka…” Defluox tertua yang memilih bentuk burung hantu sebagai transformasinya memulai kisah tersebut.
Ia melanjutkan, “Namun seiring berjalannya waktu, manusia menjadi semakin banyak. Dunia semakin sempit. Keberadaan kami dianggap sebagai benalu bagi hidup mereka. Awalnya kami tak menyadari hal tersebut, sampai akhirnya kami sadar bahwa ada banyak Defluox yang menghilang.”
“Mereka dibunuh…” ujar Lea bergidik. Ia menyesal telah mengucapkan kalimat tersebut.
“Ya, mereka dibunuh. Dan setelah itu kami memutuskan untuk membangun dunia kami sendiri, Perditonia. Jauh di bawah permukaan bumi yang tak bisa dijangkau oleh tangan manusia.”
“Tapi nyatanya dunia kita sudah tidak aman. Buktinya mereka bisa sampai di sini!” sergah salah satu Defluox muda sambil menatap tajam pada Lea dan Adrian.
“Itu karena aku yang membawa mereka… Aku ingin membalas budi atas pertolongan mereka…”
Defluox cerpelai itu muncul lagi. Dengan berani ia membalas tatapan Defluox tadi lalu berkata lagi, “yang seharusnya kita berantas adalah komplotan manusia di tengah hutan itu. Mereka yang menyerang kedua manusia ini dan sepertinya mereka juga bukan orang baik. Terbukti dari perbuatan mereka yang ingin membunuhku.”
Perkataan Defluox cerpelai itu menimbulkan perdebatan di sana-sini. Namun setelah melihat senyum yang terpancar di wajah Defluox cerpelai, Lea dan Adrian tahu bahwa para Defluox berada di pihak mereka.
“Jadi kapan kita mulai?” seru Adrian bersemangat.
Para Defluox tersenyum lalu berkata, “Hari ini juga.”
***
            Adrian dan Lea berlari menuju air terjun. Taktik pertama mereka berhasil, memancing seluruh anggota sindikat pengedar narkoba itu untuk mengejar mereka. Tak terkecuali bos besarnya. Dengan iming-iming emas yang ditemukan oleh Lea dan Adrian di dekat air terjun, orang-orang bodoh itu pun terpancing untuk mengikuti mereka.
“Di mana emasnya!? Di mana!”
“Tak ada emas…” tiba-tiba para Defluox muncul dari balik air terjun. Api berwarna hijau dan biru di telapak tangan mereka diarahkan kepada para penjahat tersebut. Membuat mereka berlari pontang-panting dan melompat ke air terjun. Namun terlambat, manusia yang jahat tak akan pernah ditolong oleh Defluox. Raga mereka menghilang dalam pusaran air, seiring dengan sosok Defluox yang kembali ke Perditonia.
“Sepertinya kita harus melapor pada bos…” ujar Adrian sambil mengalungkan tangannya pada bahu Lea.
“Melapor tentang apa?” Lea tersenyum penuh arti, dan Adrian pun mengerti arti senyum itu. Tak ada yang perlu diceritakan.
***
            “Lalu penjahat itu kemana?” suara dua anak kecil terdengar di balik pintu kamar di sebuah rumah.
“Entahlah… Mereka menghilang secara misterius. Karena itu kalian jangan jadi orang yang jahat ya…” kata sang Ibu mengakhiri ceritanya.
“Ya!” kedua anak kecil itu mengangguk kuat-kuat lalu menarik selimut polkadot di atas tempat tidur mereka. “Selamat tidur, Ayah… Ibu…” kata mereka lagi sebelum akhirnya tertidur. Dan sang Ayah dan Ibu, Adrian dan Lea, tersenyum menatap kedua buah hatinya. Perdi dan Tonia yang sangat mereka sayangi.
            Apakah dunia yang dihuni oleh makhluk misterius itu benar-benar ada? Jawabannya… rahasia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar