‘Penyebaran narkoba pada tahun 2011 menunjukkan
peningkatan yang cukup tinggi dibanding tahun 2010. Aparat menemukan beberapa
bungkus Kokain pada …’ seorang pria berkemeja biru terlihat serius
membawakan berita pagi dalam kotak kaca 29 inchi itu. Frame kacamata dengan
sudut melengkung terlihat sesuai dengan bentuk wajah persegi miliknya, lengkap
dengan bentuk rahang yang kokoh sebagai pelengkap bagi wajahnya. Membuat gadis
berkemeja kotak-kotak yang sedang duduk di depan kotak kaca itu terpana.
“Jadi kita bergerak sekarang?” suara yang selalu terdengar
sinis itu menyadarkan gadis tersebut dari aktivitasnya. Ia beringsut
membetulkan posisi duduknya lalu meraih remote dan mengarahkannya pada televisi.
Keheningan yang dibencinya datang lagi.
“Tentu…” balasnya pendek. Ia tak ingin
bermanis-manis pada pemilik suara sinis ini, Adrian.
Tiga kata “Siapkan perlengkapan kita”
kini bisa menjelaskan kasta mereka, bukan? Adrian, pemimpin dalam misi ini
termasuk dalam kasta ‘Kesatria’, kasta bagi golongan bangsawan dan prajurit
dalam masyarakat Hindu. Sedangkan gadis berkemeja kotak-kotak itu, Lea, tentu
saja ‘Paria’. Alasannya tak perlu dibahas sepertinya, intinya Adrian adalah Bos
dan Lea… begitulah.
Tak ada yang mereka bincangkan selama
perjalanan yang memakan waktu empat jam tersebut. Hanya bunyi deru mesin mobil Adrian
serta hiruk-pikuk manusia di pasar malam
yang mereka lewati yang menjadi pengisi kekosongan di antara keduanya. Deretan pohon pisang terlihat dari kejauhan. Honduras
memang kaya akan jenis buah ini.
“Kita hampir sampai,” ujar Adrian memecah
keheningan. Sigap, ia memutar setir mobil lalu menyusuri hutan yang mulai gelap
setelah senja tiba, lalu berhenti di bawah sebuah pohon besar. Lea yang sudah
terbiasa menjalani misi dengan Adrian, keluar sambil menenteng berbagai perlengkapan
yang mereka butuhkan. Setelah semuanya sudah lengkap, mereka mulai menutup
mobil tersebut dengan ranting pohon dan dedaunan untuk menyamarkannya.
Akhirnya misi mereka benar-benar
dimulai.
***
“Apa kita mengikuti arah yang benar?”
Adrian tak berhenti mengeluh di samping Lea. Ya, Lea yang memegang kompas. Tapi
kan yang menyuruh untuk berjalan ke arah Selatan adalah Adrian sendiri. Mana
tahu kalau akhirnya mereka malah tersesat dan sampai ke air terjun yang
jelas-jelas berlawanan arah dengan tempat yang mereka tuju.
“Apa boleh buat. Kita memutar saja. Tahu begini aku
tak membiarkanmu menunjukkan arah.”
Lea
diam saja, ia memang sudah mati rasa dengan sikap Adrian yang seperti ini. Tak mau
disalahkan. Mau bagaimana lagi? Markas besar menugaskan dirinya untuk menjadi
asisten Adrian dalam misi menangkap sindikat pengedar Narkoba yang berpusat di
Honduras. Jadinya ia harus terus menekan emosinya agar tidak mengikat leher
Adrian lalu melemparkannya ke air terjun.
Mereka
kembali menyusuri jalan yang mereka lalui tadi. Untungnya hal tersebut tak
berlangsung lama, karena kini sebuah bangunan telah berdiri di hadapan mereka,
lengkap dengan para penjaga yang berdiri di setiap sudut bangunan tersebut.
Dengan
waspada keduanya bergerak menuju penjaga yang terkantuk-kantuk di sisi kiri
gedung. Namun, saat Adrian ingin mencekik penjaga tersebut, sebuah teriakan
mengagetkan mereka.
“Ada penyusup!” refleks, kedua pasang kaki mereka
mulai berlari untuk kabur dari tempat itu. Hutan yang gelap kadang membuat kaki
mereka tersandung dan hampir jatuh. Goresan akibat kulit mereka yang
bergesekkan dengan ranting pohon tak mereka pedulikan. Teriakan-teriakan di belakang
sana jauh lebih berbahaya bagi nyawa mereka daripada goresan kecil tersebut.
“Celaka!” Lea berteriak frustasi saat melihat
tetesan air yang tak terhitung jumlahnya tercurah dari sisi kanan tebing tempat
mereka berdiri. Air terjun.
“Cepat lompat!”
“Maksudmu?! Kau ingin kita berdua mati konyol dengan
jasad yang tak mungkin ditemukan?” protes Lea pada usul Adrian yang tak masuk
akal.
“Sudah lompat saja!”
“Yang benar sa…"
TAAARR!
Bunyi tembakan terdengar, disusul dengan Adrian yang
terhuyung sambil memegang bahunya. Sebuah peluru yang ditembakkan oleh para penjaga
yang berhasil menyusul mereka kini bersarang di bahu kirinya.
“Adrian!”
“Sud… ahh… ku… bilang… lompat…” ujar Adrian
terbata-bata. Darah segar mengalir melalui jemari tangannya yang menahan kuat
pada bahu kirinya. Sementara di hadapan mereka kini sudah berdiri para penjaga
tadi yang terkekeh seperti baru mendapat kupon undian. Senapan yang berada di
tangan kanan salah seorang dari mereka sudah diarahkan pada Lea, siap menembus kepalanya
kapan saja.
Lalu entah apa yang dipikirkannya, Lea
menggulingkan tubuhnya bersama Adrian menuju air terjun. Kedua tubuh tersebut
terhempas mengikuti arah grafitasi bumi. Dan sebelum aliran air memeluk
tubuhnya, Lea melihat rasi bintang bersinar
di atas sana. Ia tahu mereka akan baik-baik saja.
***
Sensasi
geli dan basah pada wajahnya membuat sepasang mata milik Adrian terbuka.
Dikerjapkannya mata itu perlahan lalu berusaha untuk mengenali tempat ini, gua dengan
puluhan stalaktit sebagai penghias.
Pandangannya
kini beralih pada sosok gadis yang terbaring di sebelahnya, Lea. Seekor cerpelai yang sedang menjilat-jilat
wajah gadis tersebut membuatnya mengerti tentang sensasi geli dan basah yang
dirasakannya tadi. Tapi itu tak penting. Yang penting adalah mereka dimana
sekarang?
“Adrian! Syukurlah kau selamat!” Lea berseru lalu
memeluk Adrian, dan Adrian hanya bisa tersenyum saja. “Ini di mana?
“Entahlah. Mungkin kita harus… akhh!” tiba-tiba rasa
nyeri pada luka di bahu Adrian muncul lagi.
“Kita harus mencari bantuan…” dengan sigap Lea memapah
Adrian menuju cahaya yang berasal dari depan. Dan betapa herannya mereka saat
melihat pemandangan yang nampak di hadapan keduanya. Tak ada langit biru, hanya
ada langit-langit yang sepertinya merupakan perpanjangan dari gua tadi, namun
yang ini jauh lebih tinggi. Sedangkan cahaya yang tadi timbul dari api besar
seperti matahari tapi berwarna biru kehijauan yang melayang di tengah-tengah. Puing-puing
reruntuhan bangunan berserakan di mana-mana, membuat tempat ini terlihat
seperti kota mati. Apakah mereka berada di salah satu bagian di Negara Honduras?
Mereka tidak tahu.
“Manusia…”
“Siapa di situ!” Lea berteriak dengan tatapan
waspada. Dikeluarkannya pisau lipat dari saku celananya dan mengacungkan pisau
tersebut. “Keluar kau!” teriaknya lagi.
Tak ada yang keluar, yang terdengar
hanya suara nyanyian yang asing. Lama-kelamaan nyanyian itu semakin keras dan
menusuk telinga. Tapi baik Lea maupun Adrian tak dapat menggerakkan tangan
mereka untuk menutup telinga. Tubuh mereka terasa kaku, suara mereka pun
hilang.
“Manusia jahat harus menerima balasan…” ujar suara asing itu lagi.
“Hentikan! Mereka tidak jahat!”
Sebuah suara seperti suara seorang gadis kecil
tiba-tiba memecah suasana. Ajaib! Lea dan Adrian merasa tubuhnya bisa
digerakkan lagi. Tapi yang lebih ajaib lagi saat mereka melihat cerpelai yang
tadi berubah menjadi… sosok gadis kecil?
“Siluman!” Adrian berteriak saat melihat kejadian
yang terjadi di hadapan mereka.
“Jaga mulutmu! Kami bukan siluman. Kami Defluox,
penghuni Perditonia ini…”
Tiba-tiba setelah suara nyaring
tersebut, puluhan sosok yang menggunakan jubah kelabu melayang di atas kepala
mereka. Kedua telapak tangan mereka terbuka, api berwarna hijau dan biru
terdapat di atasnya. Sepintas mereka memang mirip dengan manusia. Hanya saja
telapak tangan berapi serta kemampuan mereka yang bisa terbang jelas-jelas
menandakan bahwa mereka bukan makhluk biasa. Dan bila melihat kebencian mereka
pada manusia, sepertinya mereka memang tak satu spesies dengan Lea dan Adrian.
“Mengapa kau membela mereka? Bukankah kau tahu
manusia itu jahat!” salah satu Defluox melancarkan protes pada gadis cerpelai
yang membela Lea dan Adrian.
“Karena mereka sudah menolongku. Aku sempat terkena
perangkap yang dibuat oleh manusia yang tinggal di tengah hutan itu. Tapi
mereka menolongku…”
Para
Defluox terdiam, sementara kedua manusia yang awalnya menjadi sasaran kemarahan
Defluox hanya menganggukan kepala seakan mengerti pada penjelasan si gadis cerpelai.
Adrian ingat pada cerpelai yang sempat mereka tolong tadi. Untunglah, orang
yang berbuat baik pasti akan mendapat balasan yang baik pula.
“Lalu siapa sebenarnya kalian?” pertanyaan polos
yang keluar dari mulut Lea pun mengawali sebuah kisah panjang tentang masa
lalu.
***
“Dahulu,
manusia dan Defluox hidup berdampingan dengan damai. Defluox bebas terbang
kesana-kemari tanpa takut ada manusia yang akan menyerang mereka…” Defluox
tertua yang memilih bentuk burung hantu sebagai transformasinya memulai kisah
tersebut.
Ia melanjutkan, “Namun seiring berjalannya waktu,
manusia menjadi semakin banyak. Dunia semakin sempit. Keberadaan kami dianggap
sebagai benalu bagi hidup mereka. Awalnya kami tak menyadari hal tersebut,
sampai akhirnya kami sadar bahwa ada banyak Defluox yang menghilang.”
“Mereka dibunuh…” ujar Lea bergidik. Ia menyesal
telah mengucapkan kalimat tersebut.
“Ya, mereka dibunuh. Dan setelah itu kami memutuskan
untuk membangun dunia kami sendiri, Perditonia. Jauh di bawah permukaan bumi
yang tak bisa dijangkau oleh tangan manusia.”
“Tapi nyatanya dunia kita sudah tidak aman. Buktinya
mereka bisa sampai di sini!” sergah salah satu Defluox muda sambil menatap
tajam pada Lea dan Adrian.
“Itu karena aku yang membawa mereka… Aku ingin
membalas budi atas pertolongan mereka…”
Defluox cerpelai itu muncul lagi. Dengan berani ia
membalas tatapan Defluox tadi lalu berkata lagi, “yang seharusnya kita berantas
adalah komplotan manusia di tengah hutan itu. Mereka yang menyerang kedua
manusia ini dan sepertinya mereka juga bukan orang baik. Terbukti dari
perbuatan mereka yang ingin membunuhku.”
Perkataan Defluox cerpelai itu
menimbulkan perdebatan di sana-sini. Namun setelah melihat senyum yang
terpancar di wajah Defluox cerpelai, Lea dan Adrian tahu bahwa para Defluox
berada di pihak mereka.
“Jadi kapan kita mulai?” seru Adrian bersemangat.
Para Defluox tersenyum lalu berkata, “Hari ini juga.”
***
Adrian
dan Lea berlari menuju air terjun. Taktik pertama mereka berhasil, memancing
seluruh anggota sindikat pengedar narkoba itu untuk mengejar mereka. Tak terkecuali
bos besarnya. Dengan iming-iming emas yang ditemukan oleh Lea dan Adrian di
dekat air terjun, orang-orang bodoh itu pun terpancing untuk mengikuti mereka.
“Di mana emasnya!? Di mana!”
“Tak ada emas…” tiba-tiba para Defluox muncul dari
balik air terjun. Api berwarna hijau dan biru di telapak tangan mereka
diarahkan kepada para penjahat tersebut. Membuat mereka berlari pontang-panting
dan melompat ke air terjun. Namun terlambat, manusia yang jahat tak akan pernah
ditolong oleh Defluox. Raga mereka menghilang dalam pusaran air, seiring dengan
sosok Defluox yang kembali ke Perditonia.
“Sepertinya kita harus melapor pada bos…” ujar
Adrian sambil mengalungkan tangannya pada bahu Lea.
“Melapor tentang apa?” Lea tersenyum penuh arti, dan
Adrian pun mengerti arti senyum itu. Tak ada yang perlu diceritakan.
***
“Lalu
penjahat itu kemana?” suara dua anak kecil terdengar di balik pintu kamar di sebuah
rumah.
“Entahlah… Mereka menghilang secara misterius. Karena
itu kalian jangan jadi orang yang jahat ya…” kata sang Ibu mengakhiri
ceritanya.
“Ya!” kedua anak kecil itu mengangguk kuat-kuat lalu
menarik selimut polkadot di atas
tempat tidur mereka. “Selamat tidur, Ayah… Ibu…” kata mereka lagi sebelum
akhirnya tertidur. Dan sang Ayah dan Ibu, Adrian dan Lea, tersenyum menatap
kedua buah hatinya. Perdi dan Tonia yang sangat mereka sayangi.
Apakah
dunia yang dihuni oleh makhluk misterius itu benar-benar ada? Jawabannya…
rahasia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar