Selasa, 27 Maret 2012

4: 41 - Kamu dan Es Krim Coklat

Kamu membuka kemasan es krim coklatmu dengan bersemangat lalu senyam-senyum sendiri. Pukul 16.41, sedikit terlambat dibanding hari-hari sebelumnya, kamu duduk di kursi taman. Kamu dan es krim coklat, lagi-lagi melewati sore bersama.
Dengan cepat kamu menggigit es krim coklatmu. "Enaknya!" kamu berseru tanpa mengalihkan pandanganmu dari bungkusan es krim coklat yang hampir habis. Kamu dan es krim coklat, lagi-lagi diam dalam dunia kalian sendiri.
Es krim coklatmu sudah habis, kamu pun beranjak dari kursi taman yang selalu menjadi kesayanganmu di sore hari. Siulan asal terdengar dari mulutmu, awalnya cukup keras, lalu akhirnya menghilang. Hari ini sebuah kesempatan terlewat lagi seperti sebelumnya.
"Kamu dan es krim coklat, kapankah bisa kuhampiri lebih dekat?"

Kamis, 15 Maret 2012

Hei...


Hei, katakan padaku
Ke mana perginya semua sanjungan?
Andai semua hanya imajinasi
Tawa mereka tak akan terdengar begitu nyata

Matahari yang bertahta di atas langit
Masihkah Ia menaungi diriku?
Angin yang bertiup terasa menusuk
Aku terhuyung di jalan menuju masa depan

Jumat, 09 Maret 2012

A Room in Our Hearts


Credit to : www.shutterstock.com

“Kau tak akan pernah tahu kapan cinta datang dan menetap dalam ruang kecil di hatimu,
Sampai akhirnya ruang tersebut terlanjur menjadi semakin besar.”

                “Aku akan menjemputmu di kantor…”
                Kalimat yang dibacanya lewat pesan pendek yang dikirim pria yang akhir-akhir ini mondar-mandir dalam hidupnya membuat Diandra mendengus. Kalau saja pesan singkat tersebut dibacanya beberapa hari yang lalu, saat Tian belum mengakui kebohongannya, mungkin Diandra akan tersenyum sepanjang hari sampai ia berhasil bertemu dengan Tian. Namun sekarang semuanya berbeda. Sekarang Diandra malah membenci pria itu setengah mati dan sempat bersumpah untuk tidak bertemu dengan Tian lagi.
                Namun Diandra selalu lemah dengan hal-hal yang berhubungan dengan Tian. Ia malah mengiyakan saat Tian berkata ia akan datang ke kantornya.
Diandra merogoh dalam isi tas kerjanya dan menemukan headphone. Seperti yang sudah-sudah saat sedang stress, ia pasti akan mendengarkan musik. Perlahan sebuah lagu mengalir di kedua telinganya.
Aku tak bisa membencimu
Aku anak yang cengeng
Kau berpura-pura tidak tahu
Oh, caramu licik, kan?*
Sekelebat bayangan melintas dalam pikirannya. Pria itu, pria yang selama ini mengaku sebagai pengagum rahasianya sejak masa SMA, ternyata tak lebih dari seorang pembohong.
“Pria itu pembohong, Diandra… Lupakan dia…” batinnya terus menyuarakan kalimat yang sama. Namun seperti kaset rusak yang selalu mengulang bagian yang sama, ingatan tentang pria itu terus berputar dalam pikirannya. Tanpa disadarinya pria itu sudah mendominasi sebagian besar ruang di hatinya. Otaknya ingin membuang jauh-jauh ingatan tentang Tian, tapi ia tahu hatinya tak berkata seperti itu.
Ingatan Diandra kini beralih pada kejadian setahun yang lalu. Reuni sekolah yang diadakan setelah lima tahun kelulusan mereka yang berhasil mempertemukannya dengan pria itu lagi. Saat itu Diandra baru saja pulang dari kantor dan Vera dengan teganya berhasil menyeret Diandra untuk ikut dalam reuni itu. Walau sebenarnya Diandra merasa tak perlu ikut.

Satu tahun yang lalu…
                “Eh, lihat di sana!”
                Sepasang mata milik gadis yang mengenakan blazer biru muda itu mengikuti arah yang ditunjuk oleh sahabatnya, lalu akhirnya memiringkan kepalanya sambil memasang tampang bosan, seolah sosok yang dipandanginya tadi tak menarik sama sekali. Di ujung sana berdiri seorang pria dengan penampilan ala pegawai kantoran namun saat ini kemejanya sudah digulung ke atas sehingga memberi kesan yang lebih santai. Pria itu, Tian, sepertinya belum bisa menanggalkan status pria pujaan yang disandangnya semasa sekolah dulu. Terbukti dari gerombolan wanita yang berdiri di sekelilingnya dan secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka pada pria tersebut.
                “Kamu masih ngefans sama dia? Ya ampun, Vera! Sudah berapa tahun sejak kita lulus SMA dan kamu masih tetap suka sama Tian? Ternyata kamu nggak berubah, ya…” gadis berblazer biru muda itu menatap sahabatnya Vera dengan tatapan tak percaya, sementara Vera hanya bisa membalasnya dengan sebuah dengusan. Hari ini mereka memang sedang menghadiri reuni yang diadakan oleh SMA mereka, dan Vera – entah bisa dikatakan beruntung atau tidak – akhirnya bisa bertemu lagi dengan senior yang sempat diincarnya dulu semasa mereka masih sekolah.
                “Aku nggak habis pikir bisa-bisanya ada cewek yang nggak ngefans sama si Tian. Dasar Alien!”
                “Dan Alien itu sahabatmu, kan?”
                Lagi-lagi Vera mendengus saat mendengar balasan dari sahabatnya – yang menurutnya lebih pantas disejajarkan dengan kaum Alien – sambil menggelengkan kepalanya. Sahabatnya Diandra memang seperti itu. Saat semua gadis di SMA mereka dulu belomba-lomba untuk merebut perhatian Tian, Diandra malah tidak ingat siapa Tian itu. Yang ia ingat adalah ia memang pernah bertemu satu kali dengan Tian di ruang guru saat hari pertama ia pindah ke SMA mereka. Tian sedang dimarahi bersama seorang murid laki-laki lain karena berkelahi dan Diandra tak begitu peduli untuk mengingat wajah Tian beserta murid lain yang ada di sebelahnya. Hari-hari selanjutnya sama saja. Diandra lebih memilih untuk menuju perpustakaan sekolah di saat Vera dan gadis-gadis lainnya dengan hebohnya menyoraki Tian saat jam istirahat. Cara yang berhasil untuk tidak mengingat wajah pria pujaan gadis satu sekolahan. Ia baru tahu siapa itu Tian saat hari kelulusan dan Tian diundang untuk maju ke depan untuk menerima penghargaan karena prestasinya di bidang olah raga.
                “Ya, sudah. Aku pergi dulu, ya?” Diandra beranjak dari meja tempat ia dan Vera duduk tadi, hendak melangkah ke arah pintu. Namun belum sempat ia melangkah lebih jauh, Vera sudah menarik tangannya lalu menatapnya dengan pandangan curiga.
                “Jangan bilang kamu masih penasaran sama pengagum rahasia yang selalu memasukkan surat ke dalam tas kamu waktu kita masih SMA! Kamu mau nyari dia sekarang, kan?” Vera memicingkan matanya sambil menatap Diandra lekat-lekat.
                “Siapa bilang? Aku harus pulang, Bodoh. Kasihan Mama di rumah sendirian,” Diandra tersenyum kecil pada sahabatnya itu lalu melangkah lagi ke arah pintu. Pesta mungkin masih panjang, tapi ia tahu ada sosok yang lebih penting yang tengah menunggunya saat ini. Ia tak bisa berlama-lama meninggalkan Ibunya sendirian di rumah. Terakhir kali Diandra meninggalkan Ibunya untuk tugas luar, Ia malah mendapati Ibunya yang meringkuk di tempat tidur sambil memeluk bingkai foto keluarga dan masih menggunakan baju yang sama seperti saat Diandra berpamitan.
Sebenarnya dugaan Vera tak sepenuhnya keliru, Diandra memang masih penasaran dengan pengagum rahasianya itu. Ia pun sempat menoleh ke arah taman yang dulunya sempat ditulis dalam surat yang dikirim oleh pengagum rahasia itu sebagai tempat pertemuan mereka. Tapi sayangnya baik hari saat perjanjian itu dilakukan, hingga reuni sekolah mereka setelah lima tahun terlewati, Diandra bahkan tak pernah bisa melihat bayangan pria tersebut.
Bus yang dinaikinya melaju menembus kelap-kelip lampu kota yang mulai bermunculan seiring datangnya malam. Bulan yang masih bersembunyi di balik awan membuat Diandra bertanya-tanya; sedang bersembunyi dari siapakah bulan itu? Tapi belum sempat pertanyaannya terjawab, bus tersebut sudah terlanjur berhenti pada halte dekat rumahnya. Poster-poster yang ditempel di tiang halte beberapa bulan yang lalu kini sudah berganti dengan poster yang baru. Ditimpa begitu saja pada tempat yang sama hanya karena poster tersebut sudah tidak menarik dan mulai terkelupas. Begitulah, yang lama, yang sudah tak berharga dan terlihat jelek sesegera mungkin akan digantikan oleh sesuatu yang baru. Sungguh menyedihkan jika ada manusia yang memiliki pola pikir seperti itu, tapi sayangnya itulah yang terjadi dalam keluarganya. Ayahnya pergi meninggalkan Ibunya karena tergoda pada wanita lain yang umurnya lebih muda. Apakah Ayahnya akhirnya masuk dalam kumpulan manusia yang berpola pikir seperti di atas? Sepertinya, iya.
                Diandra baru saja menutup pintu rumah ketika ia menangkap sebuah sosok wanita paruh baya yang tertidur di sofa dari sudut matanya. Ia bisa melihat bekas air mata yang belum mengering di pipi Ibunya. Sebuah bingkai foto berada dalam pelukannya, sebuah foto keluarga.
 “Ma…” Ia mengusap pipi Ibunya secara perlahan lalu mengambil posisi duduk pada lantai sambil merebahkan kepalanya di atas sofa. Ia bisa melihat kerutan di wajah Ibunya yang menua pada jarak sedekat itu. Sudah lewat empat tahun sejak peristiwa itu terjadi, namun Ibunya belum bisa merelakan Ayahnya yang berselingkuh dengan wanita lain.
Diandra menatap Ibunya lagi lalu membiarkan matanya yang mengantuk menutup begitu saja. Satu hari yang sibuk berhasil dilewatinya lagi. Entah apa yang akan dibawa oleh hari esok, ia tak mau memikirkannya.
***
Diandra adalah tipe orang yang tak suka membuang-buang waktu untuk melakukan hal yang tidak penting. Bagi orang lain mungkin dunia ini seperti sebuah taman bermain, tapi baginya? Dunia ini adalah medan perang. Tak ada waktu untuk bersantai-santai.
Tapi akhirnya Diandra yang begitu menghargai waktu harus rela membuang beberapa menit berharga dalam hidupnya dengan mematung karena sebuah surat yang menyembul dari kotak posnya pagi ini.
Dear Diandra,
        Aku tak pernah menyangka bisa bertemu denganmu lagi setelah sekian lama. Dulu aku sempat berpikir bahwa tak ada lagi kesempatan bagiku untuk mengejarmu lagi, tapi saat aku melihatmu sosokmu di malam reuni itu, aku tahu aku tak bisa mundur lagi…
                “Apa maksud…” ujar Diandra lalu membolak-balik surat tersebut dengan wajah bingung. Ia tak menyangka pengagum rahasia yang dulu selalu menyisipkan surat ke dalam tasnya kini beraksi kembali. Bedanya saat ini ia langsung menyambangi rumah Diandra dan menyelipkan suratnya ke dalam kotak pos.
                Diandra masih sibuk membolak-balik surat tanpa nama pengirim tersebut dan tak menyadari kehadiran seseorang yang telah berdiri di depannya.
                “Diandra?”
                Diandra terkesiap mendengar namanya disebut. Dan saat ia mengangkat kepalanya, seorang pria telah menatap dirinya dengan tatapan penuh minat. Kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut pria itu malah menambah kekagetannya.
                “Akhirnya aku menemukan rumahmu.”
                Pria itu Tian.
***
“Ruang di hati ini… Hanya tersedia untuk satu nama saja.”

“Kopi?” Tian menyodorkan segelas kopi yang dibelinya dari mesin minuman di kantor Diandra. Sudah sepuluh menit ia berada di situ, tapi Diandra sepertinya belum mau membuka mulutnya sama sekali.
                Ia tahu ini sepenuhnya kesalahannya. Dirinya tak bisa berpikir jernih saat Diandra dengan bersemangat bertanya padanya tentang pengagum rahasia yang dulu sering menyelipkan sebuah surat ke dalam tas Diandra dan langsung mengaku sebagai pengagum rahasia itu. Padahal hari itu ia hanya ingin melihat rumah Diandra saja dan berpikir tentang cara mendekati gadis tersebut. Diandra memang berbeda dengan gadis lainnya. Entah kenapa Tian tak pernah mendapat celah untuk mendekati Diandra. Bahkan sampai hari kelulusannya, ia tak pernah berhasil untuk mengajak Diandra berkenalan.
                “Diandra… Maaf…” Tian masih berusaha membujuk Diandra, tapi Diandra tak bergeming. Diandra terus menatap ke arah lain dan tak mau menatap Tian.
“Kamu tau, kan? Aku benci dibohongi…”
Tian mengangkat kepalanya lalu menyadari sorot mata Diandra yang menghunjam padanya.
“Ya, karena itu…”
“Kamu juga tau, kan? Bagaimana pria itu… Papaku… mengkhianati Mama?”
Tian tak bisa menemukan kata-kata untuk membela dirinya. Diandra benar, hatinya sudah terlalu sakit untuk menerima kebohongan lagi. Tapi Tian tak bisa melepas Diandra begitu saja.
                “Diandra…” Tian meraih sepasang tangan milik Diandra ke dalam genggamannya, “lihat ke dalam hatimu. Kamu pasti tau apa yang lebih penting.”
                “Aku nggak tau… sama sekali nggak tau…”
                Keheningan merayap di antara mereka. Tian memilih untuk menatap langit yang mulai gelap dari jendela kantor Diandra sedangkan Diandra mulai menyesap kopi yang dibelikan oleh Tian tadi. aroma Latte memenuhi ruangan saat Diandra membuka tutup dari gelas plastik tersebut.
                “Berjanjilah…” Diandra membuka mulutnya setelah kopi dalam gelasnya habis, “berjanjilah untuk menjadi diri sendiri mulai sekarang. Berhenti menggunakan embel-embel pengagum rahasia itu. Cintai aku sebagai Septian Rajasa, bukan yang lain…”
                Binar kebahagiaan muncul di mata Tian. Ia dan Diandra memang tak pernah bertengkar dalam jangka waktu yang lama, tapi ia tak menyangka kalau Diandra bisa memaafkannya kali ini.
                “Kira-kira apa yang akan terjadi besok, ya?” Diandra memutar posisi duduknya lalu menatap langit yang memerah saat senja tiba.
                “Entahlah… Tapi sepertinya semua akan baik-baik saja bila kita melewatinya bersama.”
                Tian menggenggam tangan Diandra dengan lembut lalu ikut menatap langit di luar sana. Matahari mulai menghilang di kaki langit. Ia tak peduli tentang apa yang akan dibawa oleh hari esok, namun ia tahu ruang di hatinya hanya ada untuk Diandra.
Buktikanlah cinta ini
Dan kita berdua kembali membicarakan tentang masa depan
Menghabiskan setiap hari tanpa peduli.*
                Ya, semua akan baik-baik saja bila mereka bersama.
***
                “Ada surat.”
                Tian mengikuti arah yang ditunjukkan oleh telunjuk Diandra lalu melihat ujung amplop yang menyembul dari kotak pos. Mereka baru saja pulang dari kantor Diandra dan tiba-tiba dikagetkan oleh sebuah surat yang berada dalam kotak pos dengan ciri-ciri yang sama dengan yang sering dikirimkan oleh pengagum rahasia itu.
                “Coba lihat apa lagi yang dia tulis sekarang?” Tian menarik surat tersebut dengan tidak sabaran lalu membaca isi surat tadi bersama Diandra. Dan mata mereka melotot hampir bersamaan saat membaca nama pengirim yang tertera di bagian akhir surat itu.
"Hah?!"
***
“Believe… Love will find a way.”

Seorang anak kecil bersayap tersenyum saat melihat sepasang manusia berlainan jenis terkejut menatap surat terakhir yang diletakkannya di kotak pos gadis tersebut.
Dear Diandra dan Tian,
        Aku sempat ragu saat mendapat tugas untuk menautkan benang merah di antara kalian. Apa kalian tahu? Sudah lama aku melihat benang merah antara kalian yang selalu menegang layaknya terkena sengatan listrik ketika kalian berpapasan. Tapi sayangnya entah kenapa benang tersebut tak kunjung bertaut. Aku tak tahu apa yang salah, sepertinya seluruh prosedur sudah kulaksanakan dengan benar.
        Aku mulai menulis surat untuk Diandra. Aku tahu mungkin ini agak konyol. Mana mungkin Cupid mengirim surat untuk manusia? Tapi begitulah, aku sudah putus asa dengan ketidakpedulian antara kalian berdua, jadi aku memilih untuk menempuh cara ini.
        Jadi, selamat! Akhirnya kalian menjadi pasangan. Aku berharap hubungan kalian akan awet (aku menjamin keawetan hubungan kalian. Aku Cupid, ingat?) sampai seterusnya.
        Selamat berbahagia, Diandra dan Tian. Tetaplah untuk saling menjaga cinta dalam ruang di hati kalian.

Sincerely,    

Cupid         
"Yang benar saja! Surat ini dari Cupid?!"
Anak kecil bersayap itu tersenyum saat mendengar namanya disebut lalu terbang menjauh dari dua manusia tadi. Akhirnya pasangan yang selama ini begitu sulit untuk disatukannya kini bisa saling mencintai dan ia sangat bahagia saat melihat benang merah antara keduanya saling bertaut dengan erat. Sepasang manusia berhasil menemukan takdirnya lagi. Who’s next?

Note : * : Lirik lagu YUI – a room