Sabtu, 31 Desember 2011

Ketika Hujan Berbisik


 Rintik hujan membasahi kota ini, kota yang tak pernah sepi dari bunyi kendaraan yang menjadi salah satu donatur asap bagi langitnya. Bunyi kecipak terdengar bersahut-sahutan akibat langkah orang-orang yang berlari disana-sini untuk mencari tempat berteduh. Hari ketiga di bulan Oktober menjadi hari yang dibenci sebagian orang karena aktivitas mereka yang harus terhenti. Dan disinilah aku, berdiri di antara kerumunan orang yang memilih tempat yang sama untuk menghindar dari hujan. Sebuah halte di depan kompleks pertokoan kini disulap menjadi tempat berteduh, menyebabkan orang-orang yang menggunakan fungsi halte sebagaimana mestinya agak kesulitan dan harus berteriak agar bisa lolos dari kerumunan ini.
Bulir-bulir hujan terus berjatuhan menimpa bumi. Semakin keras, seakan tak mau berpisah dengan tanah yang hanya bisa Ia temui saat langit berubah warna menjadi kelabu. Aku mengeluarkan sebungkus rokok dan menarik linting terakhir yang tersisa, tak peduli dengan desisan menyindir dari wanita paruh baya di sebelahku. Alih-alih memasukkannya kembali dalam bungkus rokok, aku malah menyalakannya dan menghembuskan asap tebal dari mulutku.
‘Jangan terlalu banyak merokok…’ sebuah bisikan mengagetkanku. Linting rokok terakhir yang baru sekali kuhisap terjatuh dan beradu dengan tanah yang becek.
'Lea?' batinku menyerukan sebuah nama namun dipatahkan oleh akal sehatku yang berkata bahwa Lea sudah tiada.
Aku memalingkan kepalaku ke kiri dan kanan. Hanya ada wanita paruh baya tadi (yang masih menatap sinis padaku) dan anak laki-laki dengan jas hujan berwarna biru yang menggandeng tangan Ibunya. Tak mungkin... Bagaimana bisa orang yang sudah meninggal mau repot-repot keluar dari kuburnya hanya untuk memperingatkan agar aku jangan merokok? Hah! Lucu sekali pemikiranmu. Sedangkan bangun saja Ia sudah tidak bisa. Jangan berhalusinasi, bung!
Aku menajamkan pendengaranku, berharap suara itu muncul lagi tapi yang kudengar hanya bunyi hujan dan suara orang-orang disekitarku. Dan entah mengapa aku merasa kecewa. Kecewa karena suara itu tak ada lagi, kecewa karena mungkin itu hanya halusinasi, kecewa karena... Lea sudah tak ada lagi disisiku.
Namun setiap tetes hujan memiliki cerita, dan kali ini Ia memilih kenangan antara aku dan Lea.
***
Ia benci hujan, namun berlari di atas rerumputan yang basah setelah hujan adalah kegemarannya. Merasakan sensasi menyejukkan yang diterima oleh reseptor indera pada kakinya, yang meneruskan stimuli ke otaknya dan menghasilkan sebuah tawa kecil dari mulutnya. Aku bertanya-tanya, "adakah ciptaan Tuhan yang lebih menakjubkan dari dirinya?" Garis wajah yang sempurna, lekuk tubuh yang membuat setiap pakaian selalu terasa pas, dan senyum kekanakan yang memancing orang lain untuk tertawa bersama saat melihatnya.
Aku masih ingat bagaimana pertemuan kami yang pertama. Di hari dimana hujan juga turun dengan derasnya seperti hari ini.
"Kau tahu kenapa aku benci hujan?"
"Eh?" aku menatap heran pada gadis yang berdiri di sebelahku. Apa Ia sedang mengajakku ngobrol?
"Kau... Bicara denganku?"
"Iya... Memangnya sama siapa lagi?" katanya sambil tersenyum. Warung ini memang sedang sepi, hanya kami berdua yang berteduh di bawah terpal plastik yang berfungsi sebagai atap warung ini. Sementara penjualnya sepertinya tertidur karena faktor hujan yang membuat warungnya sepi pelanggan.
"Kenapa?" jawabku menimpali, masa bodoh dengan basa-basi orang yang baru pertama kali bertemu. Dia yang mulai duluan kan?
"Karena hujan selalu membawa cerita sedih." katanya sambil memandang sendu ke arah langit.
"Hah? Masa?" tanyaku namun tak digubris olehnya.
Hujan terus turun, mengisi kekosongan antara kami yang terperangkap dalam diam. Sesekali aku melirik ke arah gadis itu yang masih menatap langit dengan sendu. Ada apa dengan hujan? Mengapa gadis ini begitu membencinya?
Keheningan itu terus berlanjut, sampai akhirnya hujan berhenti dan gadis itu pergi tanpa berkata apa pun padaku.
Dan rasanya aku ingin mempercayai mitos yang berkata, "Kalau jodoh, pasti akan bertemu lagi," saat melihat gadis itu kembali berteduh di tempat pertama kali kami bertemu.
“Apa sekarang rasa bencimu pada hujan sudah berubah?” kataku tiba-tiba yang membuatnya terkejut. Ia sedang melamun sepertinya.
“Tidak.”
“Sayang sekali kalau begitu. Padahal aku ingin menunjukkan sesuatu yang asyik…”
“Apa?”
Aku terkekeh menatap wajahnya yang penasaran. “Katanya benci hujan…” kataku dengan nada meledek.
"Kali ini kuberi pengecualian."
"Baiklah! Ikut aku."
"Sekarang?" tanyanya sambil memberikan pandangan 'yang benar saja' yang kujawab dengan satu tarikan pada lengannya. Dan seperti di film-film romantis lainnya , kami berlari menerobos hujan sambil berpegangan tangan.
***
"Lea."
"Apa?" lagi-lagi perkataan gadis ini membuat kedua alisku bertaut karena bingung.
"Itu namaku... Lea. L-E-A," jelasnya lalu mengulurkan tangan kanannya.
"Oh... Ya. Andre..." kataku lalu menyambut uluran tangannya. Sebuah obrolan pertama setelah aksi lari-larian kami di tengah hujan. Bukan maksudku ingin membuatnya merasakan hujan yang Ia benci, aku hanya ingin mengajaknya secepat mungkin ke tempat ini, taman rahasiaku. Bukan taman yang istimewa sebenarnya, bahkan bisa dibilang cukup aneh karena taman yang kumaksud adalah taman di area salah satu Rumah Sakit.
“Lalu… Kenapa tempat ini?” katanya sambil mengayunkan kedua kakinya yang menggantung karena tak mencapai tanah.
“Tidak. Hanya saja aku menyukai tempat ini, dan kuharap di masa depan nanti aku bisa bekerja di gedung itu,” kataku sambil menunjuk ke arah Rumah Sakit.
“Hah? Percaya diri sekali…”
“Tentu saja! Itu adalah mimpiku sejak kecil. Dan apakah kau tahu? Kau adalah orang pertama yang kuberitahu tentang hal ini.”
“Begitukah? Aku istimewa sekali kalau begitu…”
“Kau memang istimewa… Peri hujanku…” kataku hampir tak terdengar, sebelum keheningan panjang yang lagi-lagi menerobos masuk di antara kami berdua. Tapi kurasa seperti ini saja sudah cukup. Duduk berdua di bangku taman, merasakan atmosfer sehabis hujan. Hanya berdua.
Ku harap kata ‘berdua’ akan berlaku untuk selamanya, tapi impianku serasa ditertawakan oleh hari berhujan yang mulai Ia cintai. Hari dimana hujan turun, membasahi pemakaman yang mulai sepi setelah upacara yang berlangsung sejam yang lalu. Lea, peri hujanku, telah berpulang ke sisi Yang Maha Kuasa akibat penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Lea, peri hujanku, tak akan lagi menemaniku di saat hujan.
Pusaran dalam otakku berhenti dan melemparkanku kembali ke alam nyata. Kembali ke hari ketiga di bulan Oktober dimana aku masih berdiri dalam kerumunan orang yang berteduh di halte ini. Dan dengan kedua tanganku aku merasakan titik-titik hujan yang turun, berharap masih ada kehadiran Lea yang bisa kurasakan lewat setiap tetesnya lalu tersenyum pahit.
Ketika hujan berbisik… kau tak akan pernah tahu kenangan apa yang akan Ia bisikkan pada kedua telingamu.
Ketika hujan berbisik… kau tak akan pernah menyadari bagaimana Ia membawa jiwamu pergi… Berkelana dalam ingatan yang bahkan tak ingin kau ingat.
Ketika hujan berbisik… kau dan dia yang masih membeku dalam ingatan hanya bisa berserah… membiarkan Ia menjejalkan beribu macam kenangan dalam pikirmu.
Dan suatu hari, ketika hujan berbisik lagi… kau akan tahu bahwa kau, pikiranmu, hatimu… sudah cukup kuat untuk mendengarnya sambil tersenyum.

3 komentar:

  1. Nah kan...

    Suka sama cerpennya, ringan tapi bagus. Ciri khas cerpen banget.

    Jadi 1 ya, Stan. Buat proyek Pelangi :D

    BalasHapus
  2. Makasih Tammy. :3
    Oke 9 cerpennya nyusul (Amin)

    BalasHapus
  3. Semoga juga bisa bikin 9 lagi >.<

    Semangat! :D

    BalasHapus