“Kalau memang setiap manusia bisa
memilih, kenapa aku tak bisa memilih untuk berada di sisimu?”
Selasa, 31 Januari 2012
Kopi Tubruk
Uap yang
mengepul dari gelas di hadapanku mulai menghilang. Hampir tiga puluh menit aku
menanti di tempat ini, untuk seseorang yang bahkan tak ku ketahui rupanya. Modalku
hanyalah sebuah nama, Ridwan, yang tak sengaja terucap dari mulut Ayah saat
bertengkar dengan Ibu dua hari yang lalu. Tapi sepertinya sekarang aku tak bisa
menyebutnya Ayah lagi, karena nyatanya ia bukan Ayah kandungku.
Sabtu, 28 Januari 2012
Her Name is YUI
Suka, kata
pertama yang muncul di otak saya waktu pertama kali melihat video klip ‘Goodbye
Days’ yang diputar di salah satu stasiun tv lokal daerah saya, di pertengahan
tahun 2006. Berangkat dari kegilaan saya sama hal-hal berbau Jepang, (jangan
salahkan saya, salahkan Doraemon yang sudah nongol di tv sebelum saya lahir dan
komik-komik yang bertebaran di toko-toko buku) jadinya saya penasaran pada
gadis yang menyanyikan lagu ini. Apalagi di video klip tersebut, gadis ini juga
terlihat memainkan gitar. Dan kata lain muncul di kepala saya. Keren!
Jumat, 27 Januari 2012
I'm a little pencil in the hand of a writing God, who is sending a love letter to the world.
Ya, ini kalimat dari Ibu Teresa. Kebetulan saya memang pernah mendengar kalimat ini sebelumnya, tapi tidak tahu siapa sebenarnya sosok yang mengatakan kalimat tersebut. Terus pas iseng nyari quotes dari Ibu Teresa di Goodreads, nemu kalimat ini. Dan jadinya saya berpikir, Apakah saya sudah menjadi sebuah pensil untuk Tuhan? Apa saya sudah menyampaikan surat cinta yang ditulis Tuhan melalui saya? Apa saya sudah cukup tulus mencintai orang lain bahkan alam ini?
Bahan permenungan bagi saya tentunya.
Kamis, 26 Januari 2012
15 Hari Ngeblog FF?
Huaaaaaaaaaaaaa!!!!!! *gayagayahisterisalaABG* Akhirnya udah 15 hari! T - T Masmo! Mbak Unge! Tanggung jawab! Baru kali ini saya nulisnya tiap hari loh! (Hari ini mosting tiga kali malah kalo ditambah ini) :))
Jadi, patutlah kita-kita yang ikutan proyek ini berterima kasih pada dua admin yang katanya kece ini. *plak*
Label:
#15HariNgeblogFF,
Saya dan dunia. :D
Menikahlah denganku...
"Kau... menipuku..."
Aku menatap gadis di depanku ini dengan bingung? Menipu? Apa maksudnya?
"Kenapa... Kau pikir hal seperti ini lucu, begitu? Kau pikir mempermainkan perasaan orang lain itu menyenangkan? Kau hebat, Jeremy. Sangat hebat..." lanjutnya lagi dengan nada sinis lalu berusaha untuk melepaskan genggamanku di tangannya dan hendak pergi dari tempat ini, tapi aku semakin mengeratkan genggamanku sehingga ia tak bisa pergi dari sini.
"Sepertinya kau salah paham, Grace..." kataku mencoba tenang.
"Salah paham? Salah paham apa lagi, Jer? Semuanya sudah jelas! Kau meneleponku pagi-pagi dan bicara tentang pernikahan. Lalu akhirnya apa? Ternyata yang menikah bukan kau, tapi saudara kembarmu. Apa-apaan ini?" dengan tatapan tak percaya, Grace mulai menyerangku lagi dengan asumsinya yang sudah jelas keliru. Ya, aku memang meneleponnya pagi ini karena Johan, saudara kembarku, memintaku untuk memberitahu Grace tentang pernikahannya hari ini. Memaksa sebenarnya, karena ia tahu bahwa aku dan Grace sedang saling tidak bicara setelah kejadian Grace yang menolak cintaku. Salahku juga mungkin karena terlalu gugup saat mendengar kata 'Halo...' darinya dan hanya bisa merespon dengan kalimat 'Itu... Pernikahan...'
Ya, sepertinya ini memang salahku.
Sah!
“Jujur dengan perasaan kita lebih baik. Kalau cinta, katakan saja terus
terang…”
Grace berlari
tergesa-gesa keluar rumahnya. Dengan tidak sabaran ia menyalakan mesin mobil lalu
melaju dengan kecepatan tinggi ke sebuah tempat. Masa bodoh dengan rambu lalu
lintas sekarang, yang harus ia lakukan adalah secepatnya menyadarkan pria bodoh
yang mungkin saat ini sudah memasangkan cincin ke jari gadis lain, tanpa tahu
bahwa sebenarnya gadis yang lebih bodoh ini juga mencintainya.
Rabu, 25 Januari 2012
Ini bukan judul terakhir
Jemariku menari
dengan lincah di atas piano yang kumainkan. ‘Melodies of the wind’, begitulah
lagu ini kami namakan. Kami, aku dan Alena. Judul lagu yang pertama sekaligus terakhir
yang sempat kami ciptakan bersama-sama.
Alena adalah gadis yang periang. Pertemuan
kami berawal dari orang tua Alena yang memintaku untuk menjadi guru les piano
untuk Alena. Pembawaan Alena yang menyenangkan dan suka bercanda membuat kami
cepat akrab. Terlalu akrab sampai akhirnya membuatku melakukan sebuah
kesalahan. Menjadikannya kekasih.
Selasa, 24 Januari 2012
Kalau Odol lagi Jatuh Cinta
“Dinoooo…!”
Seorang
gadis berseragam putih abu-abu, berdiri di depan pintu kamar abangnya dengan
muka ditekuk. Dengan kasar ia melempar odol yang sedari tadi digenggamnya
erat-erat ke wajah abangnya.
“Kenapa sih,
Mimi? Pakai acara lempar-lempar odol segala. Kan sakit…” protes Dino, abangnya,
sambil mengusap wajahnya. Namun ternyata Mimi belum berhenti sampai
di situ. Secara tiba-tiba ia menarik majalah olah raga yang baru dibaca
setengah oleh abangnya.
“Sikat gigi
sana! Malu tahu diledek sama teman-teman. Masa punya abang malas sikat gigi?!”
teriak Mimi dengan tampang jijik.
Ya, Dino,
abangnya ini, memang malas sikat gigi. Terakhir kali ia sikat gigi saja ia
sudah lupa. Jelas saja Mimi diledek habis-habisan sama temannya.
“Ayo sikat
gigi! Nanti kuman-kumannya bersarang di mulut bla bla bla…” kata Mimi lagi
menirukan salah satu iklan yang pernah dilihatnya.
“Males, Mi. Lagian
ga ngaruh juga…” jawab abangnya enteng.
“Eh? Kenapa?”
“Kan odolnya
lagi jatuh cinta sama kuman-kuman di mulut abang. Jadinya dia ga tega ngebasmi
kumannya…”
Dan kali ini
bukan odol saja yang mengenai wajah Dino, tapi guling, majalah, dan
barang-barang lain yang tak bisa disebutkan satu persatu.
(Note : FF tergaje yang pernah saya bikin -_- )
When I Look into Your Eyes...
"Seperti sebuah kotak indah yang
dihadiahkan Zeus pada seorang gadis... itulah dirinya. Kotak indah yang terus menyeret
rasa penasaran setiap insan yang melihat untuk membukanya..."
Tania melirik
pria disampingnya secara sembunyi-sembunyi. Setelan kemeja putih dengan dasi
biru tua dan celana panjang hitam terlihat sangat pas di tubuhnya. Tangan
kanannya menenteng tas ala pegawai kantoran yang berwarna hitam, warna yang
senada dengan sepatu vantouvel yang sedang dikenakannya. Sudah hari ketiga
sejak Tania memperhatikan pria yang selalu menunggu bus di halte ini. Awalnya
Tania memang tak pernah menunggu bus di halte tersebut karena tempatnya yang
agak jauh dari rumahnya. Biasanya ia lebih memilih taksi karena bisa lebih
cepat tiba ke kantor. Tapi setelah melihat pria tersebut, akhirnya ia memilih
untuk beralih ke bus.
Minggu, 22 Januari 2012
Merindukanmu itu seru!
Aku memandang deretan foto yang terdapat dalam folder berjudul 'On Vacation' di laptopku. Wajah-wajah gembira, melongo karena belum siap di foto, kepolosan anak pribumi yang berseru keheranan saat melihat wajah asing yang tak pernah mereka lihat, atau cuma memperlihatkan indahnya laut dan pulau. Sudah setahun lebih ternyata.
Label:
#15HariNgeblogFF,
FlashFict,
Jalan-jalan,
Saya dan dunia. :D,
Tobelo
Tentangmu yang Selalu Manis
“Ini apa?”
Kau terkejut saat melihat semua koleksi
lukisan yang akan kupamerkan di pameran lukisan pertamaku.
“Ehh? Lukisan tentu saja…” aku,
gugup secara total mencoba untuk tidak menatapmu dan mulai mengusap-usap
hidungku. Kebiasaan yang kulakukan bila aku sedang gugup.
“Lalu kenapa semuanya wajahku?”
Nah loh! Tentu saja ia akan
bertanya seperti ini.
“Karena tema pamerannya kan
memang seperti itu. Kau belum membacanya ya?” kataku lagi sambil menunjuk
brosur pameran yang sudah kuberikan padanya sejak dua hari yang lalu. Sedangkan
pameran itu sendiri akan diadakan seminggu lagi.
“Tentu saja aku sudah membacanya.
Temanya kan ‘Tentangmu yang Selalu Manis’…” protesmu lalu akhirnya tersenyum
mengerti.
Ya, ini semua tentangmu.
Tentangmu yang selalu manis. Yang selamanya akan selalu begitu.
Sabtu, 21 Januari 2012
Weibo?
Apa itu weibo?
Weibo itu semacam twitter tapi made in china (udah kayak barang aja). -_- Pas pertama kali masuk pagenya, kepala saya pusing tujuh keliling. Tapi demi ngefollow akang Icul tergila ya udah bikin. Untung admin Heechulfacts baik dan mau ngajarin. :3
Tetep pake nama StarLuverz nyehehe. ^^
So, find me in weibo, guys. ^^
http://weibo.com/starluverz
BLUB.BLUB.adieu~
Senyum Untukmu yang Lucu
21 Januari 2012,
Dear... Kamu,
Kalimat apa yang bisa menggambarkan diriku tadi? Troli pengangkut barang? Atau mungkin truk saja sekalian? Karena toh, seperti benda pengangkut di atas aku tak bisa protes saat membawa barang yang kamu biarkan begitu saja di atas mejamu saat kau berlari pulang. Tapi kurasa istilah-istilah di atas tak akan kugunakan karena bagaimanapun aku tulus melakukan ini semua. Kalau menggunakannya malah terkesan mengeluh, ya?
Jumat, 20 Januari 2012
Inilah aku, tanpamu...
Kenapa tak membalas sms?
Aku menatap sebaris sms yang masuk di inboxku. Merasa tak bergairah untuk membalas karena sebuah hal. Ya, karena kamu.
Aku mengarahkan pandanganku ke arah setoples biskuit coklat. Mencoba melupakan kesulitan yang kurasakan tanpamu dengan mengemil. Tapi aku tak bisa. Ya, itu semua karena kamu.
Lalu aku mengalihkan perhatianku pada halaman situs pertemanan yang baru bisa kubuka setelah pulang. Menyesal karena melewatkan beberapa comment dan juga ajakan teman-teman yang sudah terlewat beberapa jam yang lalu. Hal-hal yang terjadi karena aku rasanya tak bisa melakukan apa-apa tanpamu.
Lalu nada dering handphoneku berbunyi. Sebuah suara di seberang sana menggerutu karena aku tak memberi kabar sama sekali seharian ini. Tak membalas sms, tak menelepon, dan alasan lainnya.
Itu karena kamu!
Karena aku tak punya kamu!
Ya... Inilah aku, tanpamu... PULSA.
Aku menatap sebaris sms yang masuk di inboxku. Merasa tak bergairah untuk membalas karena sebuah hal. Ya, karena kamu.
Aku mengarahkan pandanganku ke arah setoples biskuit coklat. Mencoba melupakan kesulitan yang kurasakan tanpamu dengan mengemil. Tapi aku tak bisa. Ya, itu semua karena kamu.
Lalu aku mengalihkan perhatianku pada halaman situs pertemanan yang baru bisa kubuka setelah pulang. Menyesal karena melewatkan beberapa comment dan juga ajakan teman-teman yang sudah terlewat beberapa jam yang lalu. Hal-hal yang terjadi karena aku rasanya tak bisa melakukan apa-apa tanpamu.
Lalu nada dering handphoneku berbunyi. Sebuah suara di seberang sana menggerutu karena aku tak memberi kabar sama sekali seharian ini. Tak membalas sms, tak menelepon, dan alasan lainnya.
Itu karena kamu!
Karena aku tak punya kamu!
Ya... Inilah aku, tanpamu... PULSA.
Label:
#15HariNgeblogFF,
FlashFict,
Komedi,
Saya dan dunia. :D
Rabu, 18 Januari 2012
Aku Benci Kamu Hari Ini
“Aku benci kamu hari ini!”
Sebuah teriakan terdengar di
dalam café,membuat perhatian para pengunjung teralih ke meja tempat kejadian
tersebut berlangsung. Seorang gadis berseragam SMA berdiri di depan sebuah meja
yang diduduki oleh seorang pria yang baru saja akan meneguk kopi yang
dipesannya.
“Aku benci kamu hari ini!” gadis
itu berteriak lagi. Para pengunjung café semakin tertarik pada konflik
tersebut. Dengan penasaran mereka menanti ekspresi si pria terhadap gadis itu. Tapi
pria itu tak bergeming. Dengan acuh ia berdiri lalu melewati gadis itu dan
menuju kasir.
Sebenarnya apa yang terjadi? Mari
mundur ke 15 menit yang lalu.
Sepucuk surat (bukan) dariku
Aku sedang sibuk di dapur ketika Rony datang. Kuabaikan klakson mobil Rony yang berbunyi beberapa kali untuk dibukakan pintu. Toh dia punya kunci sendiri.
"Kok pintunya tak dibukakan?" katanya dengan nada kesal yang dibuat-buat, tapi lagi-lagi aku lebih memilih menekuni masakan yang berada di depanku.
Lalu tiba-tiba Ia memelukku dari belakang. Kurasakan kedua tangannya mendekap erat pinggangku dan hembusan nafasnya yang menyapu rambutku. Sangat menyenangkan rasanya disayangi seperti ini. Rony memang semakin perhatian sejak kami menikah setahun yang lalu.
"Terima kasih, sayang. Suratnya sudah aku baca..." ujarnya sambil mengeratkan pelukannya.
"Surat?"
"Ya. Ini..." katanya lagi sambil menunjukkan sebuah amplop putih tanpa nama pengirim. Hanya tertulis 'Untuk Rony yang kusayangi...'
"Aku bahagia sekali. Akhirnya kita dikaruniai seorang anak. Tuhan sudah menjawab doa kita."
"I... Itu..."
"Awalnya kukira kau hanya ingin menjahiliku dengan mengirim surat yang hanya bertuliskan 'aku hamil!' tapi tak tahunya di dalam amplop masih ada ini..." katanya lagi sambil menunjukkan sebuah test pack. Positif.
Dan Ronypun meninggalkanku yang berdiri terdiam, terlanjur gembira dengan kenyataan bahwa Ia telah menjadi Ayah walau nyatanya yang mengandung anak itu, wanita itu dan pengirim surat itu... bukan aku.
"Kok pintunya tak dibukakan?" katanya dengan nada kesal yang dibuat-buat, tapi lagi-lagi aku lebih memilih menekuni masakan yang berada di depanku.
Lalu tiba-tiba Ia memelukku dari belakang. Kurasakan kedua tangannya mendekap erat pinggangku dan hembusan nafasnya yang menyapu rambutku. Sangat menyenangkan rasanya disayangi seperti ini. Rony memang semakin perhatian sejak kami menikah setahun yang lalu.
"Terima kasih, sayang. Suratnya sudah aku baca..." ujarnya sambil mengeratkan pelukannya.
"Surat?"
"Ya. Ini..." katanya lagi sambil menunjukkan sebuah amplop putih tanpa nama pengirim. Hanya tertulis 'Untuk Rony yang kusayangi...'
"Aku bahagia sekali. Akhirnya kita dikaruniai seorang anak. Tuhan sudah menjawab doa kita."
"I... Itu..."
"Awalnya kukira kau hanya ingin menjahiliku dengan mengirim surat yang hanya bertuliskan 'aku hamil!' tapi tak tahunya di dalam amplop masih ada ini..." katanya lagi sambil menunjukkan sebuah test pack. Positif.
Dan Ronypun meninggalkanku yang berdiri terdiam, terlanjur gembira dengan kenyataan bahwa Ia telah menjadi Ayah walau nyatanya yang mengandung anak itu, wanita itu dan pengirim surat itu... bukan aku.
Senin, 16 Januari 2012
Ada dia di matamu...
“Aku tak bisa membaca matamu, itu
kesalahan terbesar yang pernah kulakukan. Ingin kukatakan bahwa cinta itu tidak
buta, cinta itu tidak menyesatkan, tapi nyatanya aku tersesat…”
Rin menatap status di salah situs
pertemanan yang baru saja muncul di layar handphonenya. Sebaris kalimat yang
biasa, hanya menulis tentang sebuah nama tempat. Tapi sosok yang menulisnya lah
yang tidak biasa. Seorang pria, yang pernah dijulukinya sebagai ‘Si Manis’ tapi
akhirnya dibencinya karena perbuatan pria itu.
Berawal dari sebuah perkenalan
pada umumnya, tak ada yang istimewa sebenarnya. Sampai akhirnya Rin sadar ada
sesuatu yang lebih. Hatinya tak dapat berbohong.
“Be mine?”
Sebaris kalimat yang sempat
terucap dari pria itu kembali terngiang. Dan mau tak mau ingatan itu muncul
lagi dalam pikirannya, membuat kedua matanya terpejam, lalu mengingat kepingan
peristiwa yang dulu sempat ingin dibuangnya jauh-jauh. Tapi nyatanya Ia tak
bisa.
“Tapi kenapa?” Rin, menatap lurus ke arah kedua mata pria itu. Tak
bisa terbaca.
“Entahlah…” jawab pria itu penuh misteri.
Ya, entahlah. Semua dimulai
dengan kata itu. Sebuah harapan, lalu rasa rindu, dan akhirnya sepi.
Rin menatap status itu lagi, dan
akhirnya tersenyum. Dan Ia tahu senyum kali ini bukanlah senyuman pahit. Sesuatu
yang terjadi antara mereka, bahkan sebenarnya belum dimulai sama sekali, adalah
sebuah pelajaran. Cinta, genggaman tangan, bahkan bayangan yang ada di kedua
mata pria itu bukanlah miliknya. Karena…
“Karena hanya ada dia di matamu, kan?”
Rin berujar pada udara kosong di depannya, dan membiarkan kata-kata itu terbawa
oleh angin, lalu akhirnya menghilang.
“… nyatanya aku tersesat. Ya, aku
sempat. Tapi apakah kau tahu? Ternyata aku masih bisa menemukan jalanku lagi
dan tersenyum. Karena cinta yang sebenarnya telah memanggilku, dan cinta itu
bukan kau.”
Jadilah milikku, mau?
"Jadilah milikku, mau?"
Aku menatap pria yang entah sejak
kapan berdiri di depanku dengan mata dan bibir yang sama-sama membulat karena
kaget. Ia memakai kaus dan celana kain dengan warna yang senada yaitu warna
putih, lalu menatapku sambil tersenyum.
"Eh?"
"Jadilah milikku, mau?"
katanya lagi kali ini dengan posisi yang berbeda. Berlutut sambil mengulurkan
tangan kanannya.
Sebuah pagi di hari libur,
setelah mengecek kulkas yang kosong melompong aku memutuskan untuk membeli nasi
bungkus di warung dekat rumah. Rasanya ingin cepat pulang saat si bibi penjual
makanan memberikan bungkusan plastik itu padaku. Tapi niatku terhalang karena
kemunculan pria ini.
"Tidak, terima kasih."
Aku pun mempercepat langkahku
agar cepat sampai ke rumah. Nasi bungkus yang kubeli tadi sudah mendesak-desak
untuk kumakan. Tapi pria itu tetap tidak mau menyerah. Ia menghalangi jalanku
dengan kedua tangannya lalu berteriak, "Jadilah milikku! Mau?!"
"Sudah kubilang tidak mau!
Lagipula kau ini siapa sih?"
Suara ambulans terdengar. "Ahh!
Itu dia!" beberapa orang berseragam putih turun dari ambulans lalu
menyeret pria tadi. Kupandangi tulisan yang tertera di salah satu sisi mobil
'Rumah Sakit Jiwa XXX'. Astaga!
"Maaf ya, mbak. Dia ini
memang seperti itu. Gagal menikah terus jadi gila. Untung mbak tidak
diapa-apakan. Ya sudah, mbak. Permisi..." kata salah satu perawat lalu
bergegas masuk ke dalam ambulans. Meninggalkan aku yang hanya bisa melongo
karena hal aneh yang baru saja terjadi.
Dan teriakan pria itu masih
terdengar walau pintu ambulans sudah tertutup, "Jadilah milikku...
Milikku! Mau?!"
Sabtu, 14 Januari 2012
AKU MAUNYA KAMU TITIK!
Laut yang biru menyambut kami. Ombak
yang terbawa sampai ke pantai membasahi kedua kakiku. Sejuk sekali rasanya. Ahh…
Aku sangat suka laut.
“Kau bahagia?” tanyanya sambil
tersenyum padaku. Tangannya sedari tadi tak mau melepas genggamannya pada
tanganku. Jemari kami saling bertaut, layaknya pasangan pada umumnya yang
sedang jatuh cinta.
“Tentu saja,” jawabku dan
membalas senyumannya. Bagaimana mungkin aku tidak bahagia. Pergi ke tempat
kesukaanku, bersama orang yang kusukai pula. Sempurna!
“Tapi aku tak bisa terus
bersamamu. Aku harus pergi.” Ia berkata lirih lalu memandangku sedih. Matanya berkaca-kaca
saat mengatakan hal tersebut.
“Kenapa? Aku salah apa?”
“Kamu tak salah apa-apa. Ini sepenuhnya
salahku.”
Air mata perlahan menetes di
kedua pipiku. Kenapa semuanya harus berakhir secepat ini? Padahal kami baru
saja memulai. Aku benar-benar tidak rela.
“Kurasa ini adalah pertemuan
terakhir kita,” lanjutnya lagi. Dengan enggan Ia melepas jemari kami yang
saling bertaut. “Kamu pasti bisa bahagia dengan pria lain…” katanya lagi
sebelum berbalik meninggalkanku.
“Tapi… Tapi… AKU MAUNYA KAMU! TITIK!”
Aku berdiri dan tiba-tiba sadar. Aku
ada di kelas, ternyata tadi cuma mimpi. OH-MY-GOD.
“Kenapa kamu teriak-teriak? Mau saya
usir?” tegur dosen yang sedang mengajar di mata kuliah ini.
Dan aku hanya tertawa cengengesan
lalu menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. “Tidak, Pak.”
“Ya sudah. Duduk!” perintahnya
galak. Dan tak perlu hitung sampai tiga aku sudah duduk lagi ke kursiku.
“Aku maunya kamu… Titik…” bisik
teman sekelasku yang duduk di belakang lalu tertawa cekikikan.
Hahaha… Rasanya aku ingin
sembunyi dalam gua sekarang.
Label:
#15HariNgeblogFF,
Cinta,
FlashFict,
Komedi
Kamu manis, kataku...
"Hei, boleh duduk di
sini?"
Suara seorang pria mengagetkanku.
Dengan cepat aku menyeka air mata yang masih menggantung di pelupuk mata lalu
mengangkat kepala. Aku mencoba melihat siapa yang menyapa, tapi wajahnya silau
terhalang cahaya matahari.
"Boleh..." kataku
sambil bergeser untuk memberinya tempat di sebelahku.
"Terima kasih." katanya
pendek. Ia lalu duduk di sampingku dalam diam. Kedua tangannya diletakkan di
samping tubuhnya dan bertumpu pada bangku yang kami duduki. Ia bukan tipikal
orang yang bisa diam sepertinya. Sedari tadi Ia sering mengayunkan kakinya dan
mengetuk-ngetukkan jari-jari tangannya pada bangku, menimbulkan kegaduhan yang
jujur saja sangat mengganggu.
“Bisa diam sedikit?”
“Hah?” Ia menolehkan kepalanya
padaku sambil mencabut headset yang menancap di telinganya. Ahh… pantas saja.
“Tidak, lupakan saja.”
Kami kembali sibuk dengan dunia
kami masing-masing. Tapi itu tak berlangsung lama karena pria itu lagi-lagi
menimbulkan bunyi berisik saat membuka bungkusan plastik yang dibawanya. Es
krim?
"Kamu mau?"
Sejenak aku menatapnya dengan
bingung. Siapa orang ini? Tiba-tiba datang lalu meminta untuk duduk di
sampingku, dan sekarang malah menawarkan es krim. Kutolehkan kepalaku ke kanan dan kiri. Bangku
di sebelahku kosong, kenapa orang ini memilih duduk di sebelahku?
“Apa aku mengenalmu?” tanyaku
curiga.
“Tidak.”
“Lalu? Kenapa kamu bisa bersikap
sok akrab seperti ini padaku?”
“Suka saja. Es krim? Tapi makan sisi
yang coklat saja. Yang Strawberry punyaku,” katanya lagi sambil menunjuk batas
yang menunjukkan jatah es krim ku dan miliknya.
Satu kotak besar es krim, dengan
dua rasa dan dua sendok, sungguh sesuatu yang tidak wajar. Tapi aku seakan lupa
nasehat Ibu untuk berhati-hati pada orang asing. Entah kenapa tapi aku merasa
nyaman di sampingnya. Aku malah menerima tawarannya untuk berbagi headset. Dan
kami berdua pun menyendok es krim yang menjadi jatah masing-masing sambil mendengarkan
lagu yang mengalun.
“Ternyata begitu…” kataku
tiba-tiba.
“Apanya?”
“Jatuh cinta. Seperti lirik lagu
yang tadi, jatuh cinta itu biasa saja…” sambungku lagi sambil menyenandungkan salah
satu kalimat dari lagu yang tadi kami dengar.
“Ohh, ya. Kalau begitu cepatlah
jatuh cinta padaku.”
“Eh?”
Ia tersenyum lebar sampai gusinya
terlihat lalu berkata lagi, “Kan jatuh cinta itu biasa saja. Nanti kalau sakit hatimu sudah hilang, kau jatuh
cinta padaku saja, ya?” dan aku hanya bisa terbengong-bengong dibuatnya.
“Ya sudah. Aku pulang… jangan
lupa untuk jatuh cinta padaku, ya?” katanya sambil bangkit berdiri lalu
mengulurkan jari kelingkingnya padaku. “Ya?”
Dan aku tertawa. Entah terhipnotis
atau apa, aku menjulurkan jari kelingking dan menjawab, “Ya.”
Lalu Ia pun melambaikan tangannya
sambil tertawa lagi dan berlari meninggalkanku. Sayup-sayup aku masih mendengar
sorakannya dan mendadak tersenyum. Patah hati lalu jatuh cinta, apakah ini bisa
terjadi hanya dalam hitungan jam? Walau semua masih tanda tanya, tapi kurasa
itu mungkin saja terjadi, karena kamu manis. Karena kamu manis, kataku.
Kamis, 12 Januari 2012
Dag Dig Dug!
Dua insan berlainan jenis itu
terdiam. Hanya dua cangkir kopi yang sejak lima menit yang lalu beradu dengan
alasnya. Saling menatap juga seakan ditabukan bagi kedua manusia yang sedang
sibuk menahan debarannya masing-masing ini dan memilih meredamnya dalam
secangkir kopi. Sebuah kedai kopi yang hanya diisi pengunjung serta pegawai yang
berjumlah tak sampai sepuluh orang memberikan suasana yang agak hening bagi
mereka berdua. Ya, suasana yang cukup hening sehingga mereka mungkin bisa
mendengar debaran jantung mereka sendiri.
"Kau..." si pria
memilih untuk mengakhiri kebisuan yang terjadi sejak tiga puluh menit yang
lalu.
"Ya?"
Tindakan wanita itu yang menyela
kalimatnya membuatnya memilih untuk diam lagi. Dan lagi-lagi dua cangkir kopi
di depan mereka lah yang terlihat lebih ‘hidup’.
"Kau tak jadi menikah?"
Akhirnya pertanyaan itu muncul
juga. Genggaman pria itu pada cangkir kopi yang baru saja akan diminumnya
terlihat menguat. Semuanya harus diutarakan, sebelum acara makan siang ini berubah
menjadi makan sore.
"Kalau aku menikah, mana
mungkin aku mendaftar ke biro jodoh?"
Kini giliran wanita itu yang
terlihat tegang. Rasa marah, rindu dan bingung bercampur dalam tatapan matanya
untuk pria itu.
"Jadi apa kesibukanmu
sekarang?" tanya pria itu lagi.
"Kurasa kau tak perlu menanyakannya.
Kita sama-sama tahu kan profesi pengacara itu seperti apa."
Nada sinis yang muncul dari
ucapan wanita itu membuat si pria sadar bahwa rasa benci itu belum memudar. Secara
sembunyi-sembunyi Ia mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru dari kantongnya.
Kotak yang sampai sekarang belum dibuka oleh sang penerima hadiah karena memang
Ia belum menerimanya sama sekali.
"Sudah kuduga kau masih
membenciku…" kata si pria tanpa mengalihkan pandangannya dari kotak itu.
"Dan itu wajar."
"Ya, aku tahu."
Dan wanita itu tak dapat lagi
menahan dirinya untuk berdiri. Diletakannya beberapa lembaran Rupiah seharga
kopi yang dipesannya tadi lalu berjalan meninggalkan pria itu. Tapi langkahnya
berhasil dijejeri oleh si pria yang kini sudah menarik tubuh wanita itu dalam
pelukannya. Mereka berpelukan cukup lama, melepas semua rasa sakit, rindu,
sayang yang dulu sempat terjamah oleh kata penghianatan. Ya, penghianatan yang
direkayasa oleh pria itu untuk memberi kejutan sebelum melamar si wanita. Yang
akhirnya malah membuat hubungan mereka retak.
Tapi kini semuanya akan mereka
mulai dari awal lagi, saat si pria berlutut sambil memberikan sekotak cincin
pada wanita itu dan berkata, “Dari awal memang hanya ada kau, tak pernah ada
yang lain.”
“Tapi wanita itu?”
“Semuanya bisa kujelaskan.”
Dan sebegitu mudahnya wanita itu
memaafkan si pria, memeluk dan berkata “Iya” sambil merasakan degupan jantung
mereka yang bersahut-sahutan dalam rongga dada masing-masing. Lalu mereka tersenyum,
tak menghiraukan tatapan sakit dari wanita lain yang menatap mereka dari sudut
kedai kopi. Wanita yang dulu pernah dimintai tolong untuk menjadi bagian dari
sandiwara acara lamaran si pria. Wanita yang entah bodoh atau apa, merancang
pertemuan yang terjadi siang ini tanpa diketahui oleh dua orang yang sedang
larut dalam dunia mereka sendiri. Wanita yang tak pernah membiarkan pria itu
tahu bahwa Ia memendam rasa cinta pada pria itu. Wanita itu, Aku.
Dan ‘Dag dig dug’ yang kurasakan
sejak satu jam yang lalu kini berubah menjadi rasa sakit.
Halo, siapa namamu?
Pintu besi itu terbuka lagi.
Jean sedikit memanjangkan lehernya untuk melihat sosok yang
keluar dari pintu dan lagi-lagi Ia harus memasang wajah kesal.
"Kenapa?" tanya Silvi yang duduk di sebelah Jean.
"Bukan dia."
"Dia siapa?"
Jean lebih memilih tak menanggapi pertanyaan Silvi yang
terakhir. Bukan karena Ia malas menjawab hanya saja Ia memang tidak tahu siapa
nama pria yang dinantinya. Yang Ia ketahui dari pria itu hanyalah kenyataan
bahwa pria itu menarik dalam usianya yang berkisar di angka tiga puluh dan ada
aroma manis roti yang pekat dari tubuhnya setiap kali pria itu lewat. Ya,
mereka memang sedang bersantai di sebuah toko roti. Lebih tepatnya Silvi lah
yang sedang bersantai. Sedangkan Jean? Tentu saja sibuk menanti
pria-beraroma-roti tadi. Sudah minggu kedua sejak Jean mulai memperhatikan pria
itu namun sampai sekarang Ia belum bisa mengorek identitasnya. Tak jarang
timbul niat untuk nekat berteriak, "Halo, siapa namamu?!" tapi
bayangan mobil Ambulance dari Rumah Sakit Jiwa membuatnya ngeri. Namun hari ini
Jean sudah bertekad untuk menuntaskan semuanya.
Dan tiba-tiba pintu besi itu terbuka, mengeluarkan pria yang
sudah dinantikannya sejak satu setengah jam yang lalu. Pria itu berjalan dengan
langkah yang cepat sambil mengangkat sekeranjang roti tawar yang belum
dibungkus plastik. Mulutnya tak berhenti mengucap kata permisi pada orang-orang
yang berdiri menghalanginya dan tak memperhatikan tatapan sarat emosi yang
keluar dari kedua mata Jean.
Itu dia.
Jean menggeser kursinya, berjalan menuju pria itu, dan
melebarkan kedua tangan untuk menghadangnya.
"Kau siapa?" tanya pria itu kebingungan.
Salah satu sisi bibir Jean tertarik membentuk sebuah
senyuman sinis. Dengan kasar Ia melempar beberapa lembar foto yang sudah kusut.
"Kau tak harus tahu siapa aku. Yang harus kau lakukan
hanyalah menghilang dari kehidupan wanita dalam foto ini secepat
mungkin..." Jean menatap cukup lama pada pria itu lalu mengalihkan
pandangannya pada tanda pengenal di saku pria tersebut. Namanya Pramudia.
Dan Jean tidak menghiraukan Silvi yang memanggil namanya
berkali-kali saat Ia berlari keluar dari toko roti. Ia terus berlari dengan
mata tertuju pada sosok wanita berwajah keibuan pada foto di dalam dompet yang
tersenyum di sebelah ayahnya. Wanita yang sama yang berpose mesra dengan pria
bernama Pramudia di foto yang dilemparkannya tadi. Tak menyadari sebuah mobil
yang melaju cepat dan menghantam tubuhnya.
Jean memanggil nama itu lagi dan perlahan pandangannya
mengabur.
“Ibu...”
Semuanya gelap sekarang.
Senin, 09 Januari 2012
Am...
Am
"Memiliki
dirimu sebagai sahabat dalam kenanganku adalah sebuah keberuntungan.”
Hawa
dingin di penghujung bulan desember menyambutku. Aku kembali lagi, ke kota
kecil yang cukup ramai ini. Ada rasa rindu yang kukenali menyeruak dalam
hatiku, rasa yang kupikir sudah lama mati namun ternyata keliru. Kutelusuri
tembok putih yang kulewati sejak tadi dengan sebelah tanganku, sementara tangan
yang satunya kubiarkan mengayun bebas layaknya ujung mantelku yang terus
bergerak tertiup angin. Dan tanganku mencapai ujung tembok ini. Sebuah gerbang
yang tingginya berkisar dua kali lipat dari tinggi tubuhku menyambutku dengan angkuh,
seakan ingin menelan manusia kecil yang sedang berdiri di hadapannya. Aku
heran, apa aku yang tak pernah bertumbuh tinggi atau gerbang ini yang sudah
diganti dengan yang lebih tinggi? Tapi sepertinya tak ada yang berubah.
Berarti... Ah, sudahlah.
Tatapanku
beralih pada gedung bergaya jaman tempo dulu yang berdiri kokoh dalam lindungan
tembok dan gerbang ini. Tak pernah berubah, pintu kayu berwarna hitam yang
membuatku merasa seakan berada dalam penjara saat memasukinya, jendela berterali
besi yang dicat warna coklat, tanaman hijau dan bunga beranekaragam yang
mengelilingi bangunan ini. Dari luar mungkin ini tak mirip seperti sebuah
sekolah menengah atas tapi lebih mirip vila vampir di film-film. Tapi
begitulah, ini adalah sebuah sekolah dimana aku adalah salah satu alumninya.
Hanya saja suasananya agak sepi karena sedang liburan sekolah, jadinya hanya
aku saja yang sedari tadi berkeliaran di sini. Penjaga sekolah sepertinya juga
sedang tidak ada dan ini tentu saja hal yang menguntungkan bagiku. Mengapa
menguntungkan? Hal ini tergantung pada perkiraanku tepat atau tidak.
Aku
berjalan memutar ke bagian belakang sekolah, sesaat tersenyum melihat pohon
besar dengan dahan-dahannya yang terjuntai hampir mencapai tanah, lalu mulai
memanjatnya. Dengan hati-hati aku menyusuri dahan-dahan tersebut lalu melompat
dengan mulus. Ya... Ya... Cara ini memang selalu berhasil sejak dulu. Aku heran
kenapa pihak sekolah tak pernah menebangnya. Kurasa semakin banyak rekor murid
yang membolos setelah kelulusanku. Hehehe…
Lagi-lagi
aku tersenyum mengenang setiap memori yang berebutan untuk masuk dalam
pikiranku. Ada tawa, ada kenakalan, ada hukuman, tawa lagi, barisan yang kacau,
pengumuman dari kepala sekolah yang membuat semuanya hening, kelas kimia yang
membuatku ingin pingsan, dan kenangan-kenangan lain yang membuatku tertawa saat
mengingatnya. Perlahan mataku terpejam. Tanganku yang masih bertumpu pada
batang pohon setelah melompat tadi kuarahkan untuk turun lebih rendah, dan
kedua sisi bibirku tertarik saat merasakan ukiran itu masih ada di sana.
Dan
ingatan terakhir tentang sosok gadis rapuh di ruang musik menghangatkan hatiku
lagi.
"Aku
kembali, Audy..."
***
Besok aku pulang…
Kalimat
tersebut terus menggantung di telingaku sejak kemarin. Membuatku tak berhenti tersenyum hingga hari
ini. Dira kembali hari ini? Hmm... Sudah lama sekali kami tak bertemu. Tiga
tahun lebih tujuh bulan, terhitung saat terakhir kali aku mengantarnya ke
bandara. Bagaimana penampilannya sekarang ya? Apa masih tomboy seperti dulu?
Kenangan
tentangku dan Dira menelusup masuk satu persatu dalam pikiranku. Ruang musik,
pohon besar di belakang sekolah, sampai upacara kelulusan tak pernah kulewati
tanpa Dira yang selalu cerewet di sisiku.
Dira
selalu terlihat ceria, itu anggapanku saat pertama kali melihatnya yang sibuk
berlari kesana kemari saat menjadi panitia ulang tahun sekolah. Tapi ternyata
ia hanya menutupi kesedihannya dengan tawa. Hal ini dimulai setelah kakak yang
disayanginya menjadi korban perampokan saat sedang dalam perjalanan pulang dan
nyawanya tak bisa diselamatkan lagi. Dan Dira pun mulai berakting, berkata bahwa
semua baik-baik saja, tak ada yang terjadi, padahal sebenarnya kenyataannya tak
seperti itu.
Sementara
aku, aku selalu menutup diri dari orang lain. Setelah Ayah pergi meninggalkan
aku dan Ibu bersama wanita lain, aku merasa tak ada lagi yang bisa kupercayai. Namun
Dira mampu mengubahnya, dan hal itu dimulai dengan satu kalimat yang
diucapkannya di pertengahan semester, di ruang musik yang selalu menjadi tempat
ku menyendiri.
“Kenapa
kau mengawali lagu dengan nada itu?”
“Eh?”
“A
minor… Itu nada sedih kan?”
Aku
terdiam mendengar sapaan gadis yang saat itu belum kukenal sama sekali. Rambutnya
dikuncir asal-asalan, dengan seragam yang sudah agak kusut dan ujungnya yang sudah dikeluarkan dari rok. Ia berdiri
menatapku dengan tatapan yang berbeda dari yang kudapat selama ini. Ini bukan
tatapan mengasihani, bukan juga tatapan orang yang sedang menghina, melainkan
tatapan kosong yang membuatku bertanya-tanya, ”apa maksud gadis ini sebenarnya?”
“Itu
A minor kan? Am?” tanyanya lagi masih dengan tatapan kosong yang sama. Yang benar
saja, aku juga tahu bahwa A minor dan Am itu sama saja. Tapi bukannya berkata
seperti itu, aku malah menjawab, “Ya…”
Dan
gadis itu duduk di sampingku, menutup mata dan menghela nafas panjang lalu
menghembuskannya perlahan dengan kedua tangan yang terangkat sejajar dengan
tuts piano. Lalu nada yang sama dengan yang kumainkan tadi mengalun lewat
jemarinya, hanya saja kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Membuat jemariku
turut terbawa dengan luapan nada sedih yang dibawakannya lalu mulai mengikuti
harmoni nada yang dilantunkan oleh jemarinya.
Hanya
seperti itu, sampai bel tanda istirahat selesai berbunyi, namun itu menjanjikan
suatu hal yang terbukti di hari-hari selanjutnya. Kunci nada ini tak akan
dilantunkan sendirian lagi.
Mengingat
Dira memang tak akan membuat saraf tersenyumku lelah. Mengenangnya malah membuatku
menuju tempat ini, sekolah. Setelah berhasil memanjat pohon di belakang
sekolah, kakiku melangkah sesukanya menelusuri kelas-kelas kosong dengan
bangku, meja dan papan tulis yang serasa memanggil diriku agar menjadi
bagian dari alur cerita mereka lagi. Dan kakiku berhenti sebelum mencapai ruang
musik. Nada ini?
“Dira?”
***
“Bagaimana…”
Kami
tertawa bersamaan saat pertanyaan itu keluar dari mulut kami dengan kompak. Saat
kami memutuskan untuk pindah dari ruang musik menuju pohon di taman belakang
sekolah dan mulai berbincang.
“Bagaimana
kabarmu?” Audy memilih untuk memulai duluan mengingat keheningan yang sering
terjadi dulu kalau hal seperti ini terjadi.
“Yah,
tak pernah sebaik ini. Kau?”
“Sama
saja seperti biasanya. Sibuk!” sambungnya lagi sambil terkekeh.
“Jangan
terlalu berlagak kuat. Kalau perlu bantuan jangan malu meminta bantuan dari
orang lain. Yang dulu-dulu tak usah diulang lagi,” kataku sok menasehati.
“Berlagak
kuat? Bukannya itu kau? Nona yang selalu berlagak ceria padahal sebenarnya
tidak.”
“Menyindir?
Tapi kau kan sama saja. Nona yang selalu sibuk dengan dunianya sendiri dan
berlagak kalau kau tak butuh orang lain…” aku membalas tak mau kalah dan
kalimatku ini sukses membuat tawa kami pecah lagi.
Lalu
keheningan muncul lagi. Sambil menatap kosong ke arah lapangan basket yang sepi
di hadapan kami aku hanyut dalam pikiranku sendiri. Dan aku seakan bercermin
saat melihat sosok gadis dengan rambut dikuncir dan seragam yang kusut melewatiku
dan Audy saat ini. Ia tertawa bersama gerombolan teman-temannya yang sama-sama
populer seperti dirinya. Tapi ia tahu tawanya itu tak pernah setulus saat ia
bersama Audy.
“Kita
dulu menyedihkan ya?” ucapan Audy yang tiba-tiba membuat ingatan itu memburam
dan kembali ke lapangan basket yang sepi lagi. Audy melanjutkan, “terlalu
sering berlagak kuat membuat kita lupa bagaimana membagi air mata kita dengan
orang lain. Kita yang dulu memang seperti itu, kan?”
“Ya,
kita memang seperti itu.”
“Terasa
agak sedih ya? Kita…”
Aku
menatap Audy, membenarkan apa yang dikatakannya. Kami yang dulu memang seperti
itu. Berpura-pura dengan topengnya masing-masing. Berpikir bahwa orang lain tak
perlu tahu dan tak akan mengerti kesedihan yang kami alami padahal semua itu
salah. Tapi sekarang semuanya sudah berubah.
“Ku
rasa tidak juga…” kataku membalas perkataan Audy tadi.
“Begitukah?”
“Ya.
Saat kita menemukan seseorang untuk membagi kesedihan kita, rasanya jadi tak
sedih lagi. Malah melegakan…” aku menyelesaikan perkataanku lalu menunjuk ke
arah sebuah ukiran di pohon tempat kami berteduh sejak tadi.
“Am”
Dan
Audy pun mengangguk. “Ya, kau benar…”
"Kami
hanya duduk bersebelahan. Tanpa kata. Hanya seperti ini… Tapi kami tahu bahwa
hati kami terhubung satu sama lain. Dalam sebuah nada, Am.”
Minggu, 01 Januari 2012
The Future has Its Own Promise
“Genggam tanganku dan kau akan melihat
Dunia yang kucintai dan lagu yang mengiringinya
Resapkan setiap kata, maknai setiap nada
Kau akan tahu… oleh siapa lagu itu bernyawa.”
“Ivy, apa kau sudah siap?”
Sebuah suara yang familiar
menghentikan aksiku yang meremas-remas gaun karena gelisah, muncul di saat yang
tepat sebelum aku merusak gaun pengantin yang sedang kupakai. Seorang pria
berumur enam puluhan berdiri di depan pintu sambil menatapku lembut. Sekilas
kulihat ada tatapan khawatir yang muncul dari wajahnya, yang langsung hilang beberapa
detik setelahnya. Pria ini memang hebat dalam hal penguasaan diri.
“Ayah…” aku berlari menuju pria yang
berdiri di depan pintu lalu memeluknya. Perlahan air mataku menetes.
“Jangan menangis…” katanya sambil mengusap
puncak kepalaku lalu menghapus air mata yang jatuh dari kedua mataku.
Rasanya aku ingin tertawa saat mendengar
ucapan Ayah yang mirip scene pernikahan pada film-film yang kutonton. Scene
saat sang mempelai wanita menangis pada Ayahnya yang akan mengiringnya ke depan
altar. Yang akan selalu dijawab…
“Mempelai wanita selalu menangis saat
pernikahannya, Ayah…” jawabku yang akhirnya merasa begitu bodoh karena dulu
sempat menertawakan adegan film yang seperti ini.
“Baiklah kalau begitu. Pegang tangan,
Ayah.”
Ku anggukkan kepalaku dan mengenyahkan
semua pikiran negatif yang melayang di otakku sejak tadi. Dan di saat kedua
sisi pintu kayu itu terbuka, jantungku serasa ingin melompat dari tempatnya.
Oh Tuhan… Jangan biarkan aku mati saat
ini.
***
Januari, 31.
Ya… Aku menulis di atas kertasmu
lagi. Aku tahu ini tak lazim bagi seorang wanita seumuranku, apalagi wanita
yang akan segera menikah. Karena itu aku tak lagi memakai embel-embel ‘Dear
Diary’ yang biasa kutulis di umur belasan.
Apa aku menulis kata ‘menikah’
tadi? Ya… Ya… Ya… Menikah. Sampai hari ini aku masih tak bisa mempercayai
kenyataan bahwa aku akan segera menikah dengan Tom, dan kami sudah mendaftarkan
diri sebagai calon pengantin di gereja.
Tapi, entahlah. Ada beberapa hal
yang membuatku takut akhir-akhir ini. Karena itulah aku membuka lembaranmu lagi
dan menulis, karena setiap keluhan yang kukeluarkan saat ini hanya akan
ditanggapi sebagai sindroma pra-nikah oleh semua orang di sekitarku.
Ia sempurna… sangat. Tak ada
pria lain yang kuinginkan bersanding denganku di depan altar selain dirinya. Memang
ada begitu banyak perbedaan. Aku percaya mitos, Tom lebih memilih untuk menertawakannya.
Aku senang menghabiskan waktuku dengan menulis, Tom lebih suka naik gunung. Aku
suka makan cereal dengan banyak susu, Tom lebih suka memakannya langsung dari
kotaknya.
Begitu banyak perbedaan lainnya
yang tak bisa ku sebutkan satu persatu. Dan kurasa hal-hal lain akan menyusul
setelah aku mengenalnya lebih dekat lagi sebagai pendamping hidupku. Aku pernah
mendiskusikan hal ini dengan Tom, tapi Ia hanya menjawabnya dengan senyuman dan
kecupan yang menenangkan di dahiku.
Tom senang memanggilku dengan
nama tengahku, Ivy. Sama dengan cara Ayah dan Ibuku memanggilku. Saat kutanya
alasannya, Ia hanya menjawab, “karena aku suka nama itu…” Aku juga menyukai
namamu Tom, dan kupikir aku tak akan menyukai nama pria lain lagi selain namamu,
Tomas Agustinus.
Jadi… Apa yang harus kulakukan? Pernikahanku
tinggal dua minggu lagi… Apa yang harus kulakukan?
***
“Berawal dari sebuah tanda tanya, lalu koma yang
menggantung. Ada ‘titik-titik’ yang tak bisa dijawab, tanda seru yang
meledak-ledak, lalu akhirnya tiba hari dimana aku bisa membubuhkan tanda titik…
pada hatimu.”
Lantunan lagu Ave maria mengalun
seiring dengan langkahnya menuju altar ini, altar tempatku berdiri menantinya
dengan tatapan terpukau. Aku terlalu khawatir beberapa hari ini. Apa Ia
baik-baik saja? Apa Ia makan tepat waktu? Tapi kekhawatiranku kini lenyap
seketika saat melihatnya melangkah menuju altar yang sama denganku.
Sebuah ingatan singgah di otakku,
menampilkan kilasan peristiwa dua minggu yang lalu yang seperti terulang
kembali di depan mataku. Aku dan Ivy duduk di bangku depan gereja ini,
mengikuti misa seperti minggu-minggu sebelumnya. Hubungan kami sudah
berlangsung selama tiga tahun, dan minggu lalu akhirnya Aku memberanikan diri
untuk melamarnya.
Agak lucu memang jika
mengingat bagaimana caraku melamarnya. Ivy yang hobi bersih-bersih berbaik hati
untuk membersihkan apartemenku, dan aku yang serampangan lupa bahwa cincin yang
kubeli hari sebelumnya untuk melamarnya tergeletak begitu saja di meja ruang
tamu.
“Ini… Cincin?”
Random, kacau, gagal total. Semua
rencana cara melamar yang paling romantis hasil begadang semalaman hancur sudah
karena sifatku yang berantakan ini. Dan yang terjadi selanjutnya menjadi sumber
kelucuan dari prosesi pelamaran ini. Ahirnya dengan wajah bingung, aku berlutut
di hadapannya lalu melamar Ivy. Tak ada makan malam romantis, tak ada lantunan
piano atau biola, hanya ada seorang pria dengan kaus putih kusut bertuliskan ‘I
Believe My Self!’ dipadu dengan celana pendek biru serta gadis dengan terusan rumah
berwarna baby pink yang dibalut oleh celemek karena sedang bersih-bersih. Dan
jawabannya adalah “Iya”.
“Akan masuk dalam pernikahan yang
suci, Saudara Tomas Agustinus dengan Saudari Imanuella Ivy . Apabila kedua
mempelai hadir saat ini, dimohonkan untuk bangkit berdiri.”
Aku menatap pantulan diriku yang
terlihat begitu bahagia saat nama kami disebut. Sambil berpegangan tangan, kami
berdiri dan tersenyum kepada orang-orang yang menghadiri misa pagi itu. Dan
tepukan riuh menyambut kami berdua. Bahagia sekali rasanya saat itu.
Kupikir hari itu adalah
hari yang paling membahagiakan, tapi ternyata perkiraanku salah saat melihat
dirinya yang kini sudah berjalan mendekatiku. Ivy menyeret langkahnya yang
terlihat kaku, membiarkan ujung gaun putih berbahan satin yang membalut
tubuhnya bergesekan dengan ubin gereja yang bercorak klasik. Tangannya terus
mendekap lengan Ayahnya, sementara tangan yang lainnya memegang sebuket bunga Daisy
yang dirangkai dengan bunga Ivy di sekelilingnya. Senada dengan rangkaian bunga
Ivy yang menghiasi tiang penyangga gereja serta bangku yang berjejer rapi lengkap
dengan para manusia yang mendudukinya dengan mata tertuju pada sang pengantin
wanita. Sama seperti namanya, Ivy. Nama yang kusukai karena memiliki arti cinta
yang tak pernah berakhir, sama seperti cintaku padanya.
“Di hadapan imam dan para saksi, saya,
Tomas Agustinus menyatakan dengan tulus ikhlas bahwa Imanuella Ivy yang hadir
di sini sejak saat ini menjadi istri saya. Saya berjanji akan tetap setia kepadanya
dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup…”
“Saudari Imanuella Ivy, bersediakah
Saudari menikah dengan Saudara Tomas Agustinus yang hadir di sini dan mencintainya
dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?”
“Ya, saya bersedia…”
***
“Jadi… Apa yang kau lihat?!” tanya
Rudi antusias saat Tom melepas topi aneh dengan lampu warna-warni di sisi
depannya dan kawat kecil dengan kabel-kabel yang membentuk susunan tak beraturan.
“Tak ada…” jawab Tom, Ia menatap Rudi
dengan tatapan tanpa ekspresi lalu melempar topi aneh (yang kata Rudi akan jadi
penemuan terbaik di akhir abad ke-21) tepat ke wajah penciptanya.
“Hei! Kau pasti bohong! Mana mungkin
alat ini tidak berfungsi? Kemarin saat kupakai berhasil kok! Di masa depan aku
jadi ilmuwan hebat, punya perusahaan pencipta barang-barang dengan teknologi
paling mutakhir dan… ubbhhhhhh… aabbpphhhh!”
Tom tertawa puas melihat Rudi yang
akhirnya berhenti bicara panjang lebar setelah mulutnya Ia bungkam dengan roti.
Lagipula mana ada omong kosong seperti melihat masa depan dengan sebuah topi?
Dan kenapa masa depan yang Ia lihat adalah sebuah pernikahan?
“Hei… Kau menjatuhkan topimu…” sebuah
suara dari arah belakang menghentikan tawa Tom. Mau tak mau membuatnya
berbalik.
“Ahh, bukan itu topi Ru…”
“Ini topimu kan? Ini ku kembalikan…”
Ia tercengang melihat gadis yang
berdiri di depannya. “Ivy…” panggilnya dengan nada tak yakin.
“Ya? Itu memang nama tengahku. Tapi
teman-teman di kampusku dulu lebih sering memanggil nama depanku, Imanuella. Bagaimana
kau tahu? Apa kau punya indera keenam atau sejenisnya?” tanyanya dengan nada
tertarik yang tak bisa disembunyikan.
“Ahh… Tidak. Ngomong-ngomong namaku
Tom. Salam kenal…”
“Ya. Salam kenal…” balas gadis itu
lalu tersenyum.
Dan kedua insan manusia itu
saling tersenyum, seorang pria muda yang belum percaya pada masa depan yang Ia
lihat dan seorang gadis yang belum tahu bahwa Ia akan menjadi bagian dalam masa
depan si Pria. Tak peduli akan apa yang akan terjadi di masa depan, namun akan
terus berharap. Karena mereka tahu, “masa depan memiliki janjinya sendiri”.
Langganan:
Postingan (Atom)