“Kusangka angin kan
terus lembut berhembus
Saat langkah ini
tersesat dalam kota yang asing
Tapi ternyata… Badai
tak pernah mengenal kata permisi.”
Aku
menatap bangunan putih yang berdiri megah di depanku. Hari ini aku harus
meninggalkan tempat ini, tempat yang sejak dulu menjadi saksi bisu atas proses
diriku menuju kedewasaan. Bunga berwarna-warni yang tumbuh di sekelilingnya
bergerak tertiup angin, entah ingin memanggilku kembali atau mungkin malah
mengucapkan selamat tinggal.
Ya,
hari ini aku harus meninggalkan rumah ini. Hatiku masih terasa sakit bila
mengingat bagaimana kami sekeluarga diusir secara tidak hormat oleh pihak
pengadilan yang akan menyita rumah kami. Pakaian kami dilempar begitu saja
keluar, Ibuku bahkan sempat ditampar oleh salah satu dari pihak penyita itu.
Mengapa ini semua harus menimpa keluargaku?
Selama
ini hidup kami baik-baik saja. Ayah yang bekerja sebagai pejabat pemerintah tak
pernah terkait kasus apapun. Beliau juga terkenal dengan sikapnya rajin
beramal. Sampai akhirnya media masa mencantumkan nama Ayahku dalam salah satu
oknum yang terlibat dalam sebuah kasus korupsi.
Tak
ada yang tahu tentang kebenaran hal tersebut karena Ayah terlanjur pingsan
karena terkenan serangan jantung. Sudah dua bulan beliau dirawat di rumah
sakit. Sementara kasus itu terkatung-katung, orang-orang yang tak tahu apa-apa
itu malah menyita seluruh asset milik keluargaku dan kami pun tiba-tiba menjadi
semelarat ini.
“Sabar
ya, nak. Semua pasti ada jalan keluar…” Ibuku terlihat menenangkan adik
perempuanku yang menangis sambil memeluknya. Jalanan terlihat begitu ramai, aku
sudah lupa berapa banyak kata maaf yang kuucapkan pada orang-orang yang
kutabrak karena berjalan sambil melamun. Aku benci untuk mengatakan hal ini,
tapi pernahkah kau merasa untuk lebih merasa kasihan terhadap hal lain dibanding
kasihan pada anak kucing yang dibuang? Ya, aku benci untuk mengatakan hal ini,
karena percaya atau tidak aku lebih memilih untuk merasa kasihan pada diriku
yang sekarang.
***
“Lalu
apa rencanamu sekarang?” Gea menyeruput es jeruknya sambil menatap ke arahku. Hari
ini aku memutuskan untuk menceritakan semua keluh kesahku pada Gea. Tapi kurasa
Gea tak banyak membantu, ia malah membuatku tambah pusing saja.
“Aku
tidak tahu. Apa kau tak bisa mencarikanku pekerjaan?” kataku sambil memelas.
“Kau
tahu aku tak punya banyak koneksi.”
Kami
berdua sama-sama menghela nafas panjang. Aku menyesal telah melibatkan Gea
dalam masalahku. Bukankah yang tertimpa masalah adalah keluargaku? Kenapa aku
malah memintanya untuk sama-sama merasa pusing memikirkan jalan keluarnya.
“Lucu
ya… bagaimana takdir mempermainkan kita. Kemarin aku masih bisa bersantai
denganmu di mall. Makan di restoran mahal, membeli barang-barang bermerk dan
menghambur-hamburkan uang orangtuaku. Tapi lihatlah yang terjadi hari ini. Aku miskin…”
Keheningan
yang cukup panjang terjadi di antara kami. Otakku menangkap sebuah potret
bahagia yang tersimpan dalam memoriku. Aku bersama keluargaku tertawa sambil
menanti pergantian tahun di taman rumah kami. Adik-adikku tertawa dan berlari
kesana-kemari. Ahh… andai saja semuanya bisa kembali lagi.
“Kau
tahu, seharusnya kau tak boleh hanya duduk di sini dan mengeluh…”
Perkataan
Gea tiba-tiba terasa menusuk. Apa maksudnya? Kenapa ia seperti tak peduli
dengan penderitaanku?
Kupikir
ia akan berhenti sampai di situ, tapi ternyata tidak. Ia melanjutkan, “Kau
bukan Rapunzel. Kau bukan putri yang hanya bisa menanti seorang pangeran
menyelamatkan dirimu yang terperangkap dalam menara yang dijaga oleh seekor
naga. Kau harus berusaha untuk bangkit dan maju. Jangan mau ditertawakan oleh
takdir…”
Aku
terperangah mendengar perkataan Gea. Ia benar, aku tak boleh seperti ini. Aku tak
boleh mengeluh.
“Inilah hidupku, aku yakin akan baik-baik saja.
Kuulangi kata-kata ini di hatiku.”*
Hidupku sepenuhnya berada di
tanganku. Takdir tak boleh mempermainkanku. Asalkan aku berusaha, pasti ada
jalan. Aku percaya akan hal itu. Aku percaya...
Note : Lirik lagu YUI - It's My Life
Tidak ada komentar:
Posting Komentar