Lala
memandang langit yang terbentang di atasnya melalui sela-sela jari miliknya. Langit
pada pukul 04.30 benar-benar masih terlihat gelap, padahal sebentar lagi fajar
akan segera tiba. Ia selalu menyukai aktivitas tersebut. Mengendap-endap ke
atas loteng di saat semuanya sudah terlelap, lalu merebahkan tubuhnya ke atas
genting yang keras dan mulai menebak nama rasi bintang yang tertangkap oleh
matanya.
Kali ini ia ingin
berlama-lama menghitung bintang sampai bosan, namun ia tak akan pernah tidur. Karena
ia takut, kalau matanya tertutup nanti, bisa-bisa ia tak akan pernah bangun
lagi. Dan semuanya karena ramalan sial itu.
…
1 bulan yang lalu…
“Ayo
ke stand peramal!” teriak Lala bersemangat pada Sonya. Mereka baru saja
memasuki liburan semester, dan hari ini mereka memutuskan untuk menghabiskannya
di salah satu taman bermain di kota mereka.
“Kau
percaya pada hal seperti itu?” tanya Sonya dengan tatapan tak percaya. Namun saat
ia melihat binar yang muncul pada mata Lala, ia hanya bisa menurut saja saat
Lala menarik dirinya menuju antrean di depan sebuah tenda tempat seorang wanita
tua dengan penampilan eksentrik menebar kartu tarotnya di atas meja.
Antrean
tersebut tak cukup panjang, Lala dan Sonya mendapat giliran setelah menanti
selama kurang lebih 15 menit. Lalu tiba-tiba hal aneh terjadi. Peramal tersebut
seperti kerasukan saat Lala duduk di hadapannya. Ia lalu menarik sebuah kartu,
menatap Lala dari sudut matanya yang memerah, dan berbisik…
“Kau akan mati… sebulan dari
sekarang…” bisiknya lalu membanting sebuah kartu tarot bertuliskan ‘Death’ ke
atas meja.
…
Lala
menggelengkan kepalanya keras-keras saat ingatan tersebut hinggap lagi di
pikirannya. Hari ini adalah sebulan setelah peristiwa tersebut, dan kalau ia
tak salah ingat, peramal tersebut berkata ia akan mati di saat dua jam sebelum
matahari mencapai posisinya yang paling tertinggi. Yang berarti pukul 10 pagi.
“Apakah tak ada kesempatan untuk
merubah ramalan tersebut?” Lala bertutur pada udara kosong di depannya, walau
ia tahu semuanya sia-sia saja.
Tiga
puluh menit sudah lewat sejak pukul 04.30, angin dingin yang berhembus membuat
Lala mulai mengantuk.
‘Kau tak boleh tidur, Lala! Kau tak boleh mati!’ batinnya berseru. Tapi
rasa kantuknya tak bisa ia lawan. Matanya terpejam tepat saat bintang-bintang
yang dilihatnya mulai menghilang. Apakah bintang tersebut akan kembali esok? Ia
tak tahu.
***
“Lala…
Bangun…”
Sayup-sayup
terdengar sebuah suara memanggil namanya. ‘Apakah
aku sudah berada di surga?’ ia membatin. Saat ia membuka mata, cahaya yang
menyilaukan menyerang kedua matanya. Ia melihat langit, mendengar kicau burung
bersahut-sahutan, lalu suara deru mobil.
Tunggu!
Mana mungkin di surga ada mobil?
“Lala!
Bangun! Mau sampai kapan tiduran di atas genting?”
Tiba-tiba Lala
tersadar lalu bangun dari tempat ia terbaring tadi. “Itu suara Ibu!” teriaknya kemudian
berlari mendapatkan Ibunya yang sedang sibuk menyiram tanaman di halaman rumah.
Ia sempat melirik ke arah jam dinding di ruang tamu lalu berteriak semakin
keras saat jam itu menunjukkan pukul 10.23.
“Aku masih hidup, Bu! Aku masih
hidup!” seru Lala sambil memeluk Ibunya.
Ramalan
tersebut ternyata keliru. Tak ada manusia yang bisa menebak tentang masa depan,
karena takdir tak bisa diprediksi. Hari esok tak ada yang tahu… it’s happy
line.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar