Sabtu, 25 Februari 2012

Ramalan


                Lala memandang langit yang terbentang di atasnya melalui sela-sela jari miliknya. Langit pada pukul 04.30 benar-benar masih terlihat gelap, padahal sebentar lagi fajar akan segera tiba. Ia selalu menyukai aktivitas tersebut. Mengendap-endap ke atas loteng di saat semuanya sudah terlelap, lalu merebahkan tubuhnya ke atas genting yang keras dan mulai menebak nama rasi bintang yang tertangkap oleh matanya.
Kali ini ia ingin berlama-lama menghitung bintang sampai bosan, namun ia tak akan pernah tidur. Karena ia takut, kalau matanya tertutup nanti, bisa-bisa ia tak akan pernah bangun lagi. Dan semuanya karena ramalan sial itu.
1 bulan yang lalu…
                “Ayo ke stand peramal!” teriak Lala bersemangat pada Sonya. Mereka baru saja memasuki liburan semester, dan hari ini mereka memutuskan untuk menghabiskannya di salah satu taman bermain di kota mereka.
                “Kau percaya pada hal seperti itu?” tanya Sonya dengan tatapan tak percaya. Namun saat ia melihat binar yang muncul pada mata Lala, ia hanya bisa menurut saja saat Lala menarik dirinya menuju antrean di depan sebuah tenda tempat seorang wanita tua dengan penampilan eksentrik menebar kartu tarotnya di atas meja.
                Antrean tersebut tak cukup panjang, Lala dan Sonya mendapat giliran setelah menanti selama kurang lebih 15 menit. Lalu tiba-tiba hal aneh terjadi. Peramal tersebut seperti kerasukan saat Lala duduk di hadapannya. Ia lalu menarik sebuah kartu, menatap Lala dari sudut matanya yang memerah, dan berbisik…
“Kau akan mati… sebulan dari sekarang…” bisiknya lalu membanting sebuah kartu tarot bertuliskan ‘Death’ ke atas meja.
                Lala menggelengkan kepalanya keras-keras saat ingatan tersebut hinggap lagi di pikirannya. Hari ini adalah sebulan setelah peristiwa tersebut, dan kalau ia tak salah ingat, peramal tersebut berkata ia akan mati di saat dua jam sebelum matahari mencapai posisinya yang paling tertinggi. Yang berarti pukul 10 pagi.
“Apakah tak ada kesempatan untuk merubah ramalan tersebut?” Lala bertutur pada udara kosong di depannya, walau ia tahu semuanya sia-sia saja.
                Tiga puluh menit sudah lewat sejak pukul 04.30, angin dingin yang berhembus membuat Lala mulai mengantuk.
‘Kau tak boleh tidur, Lala! Kau tak boleh mati!’ batinnya berseru. Tapi rasa kantuknya tak bisa ia lawan. Matanya terpejam tepat saat bintang-bintang yang dilihatnya mulai menghilang. Apakah bintang tersebut akan kembali esok? Ia tak tahu.
***
                “Lala… Bangun…”
                Sayup-sayup terdengar sebuah suara memanggil namanya. ‘Apakah aku sudah berada di surga?’ ia membatin. Saat ia membuka mata, cahaya yang menyilaukan menyerang kedua matanya. Ia melihat langit, mendengar kicau burung bersahut-sahutan, lalu suara deru mobil.
                Tunggu! Mana mungkin di surga ada mobil?
                “Lala! Bangun! Mau sampai kapan tiduran di atas genting?”
Tiba-tiba Lala tersadar lalu bangun dari tempat ia terbaring tadi. “Itu suara Ibu!” teriaknya kemudian berlari mendapatkan Ibunya yang sedang sibuk menyiram tanaman di halaman rumah. Ia sempat melirik ke arah jam dinding di ruang tamu lalu berteriak semakin keras saat jam itu menunjukkan pukul 10.23.
“Aku masih hidup, Bu! Aku masih hidup!” seru Lala sambil memeluk Ibunya.
                Ramalan tersebut ternyata keliru. Tak ada manusia yang bisa menebak tentang masa depan, karena takdir tak bisa diprediksi. Hari esok tak ada yang tahu… it’s happy line.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar