Judul : Star
Sapphire (Listen to My Dream)
Key word :
Salju, pasar malam, polkadot, rasi, jelantah.
Kutatap refleksi diriku yang terlihat
pada cermin. Cantik, ya semua pengantin memang akan terlihat cantik pada hari
pernikahannya. Tapi entah kenapa semua ini terasa tidak nyata. Sejak benda itu
hadir dalam hidupku, benda yang kini berada dalam genggamanku dan tak bisa
menyembunyikan kilaunya. Dengan hati-hati aku membuka kedua tanganku dan benda
itu semakin berpendar dengan indah. Perlahan kedua mataku terpejam kemudian
melakukan gerakan seperti berbisik pada benda tersebut.
“Dengar
mimpiku…” bisikku, dan pola bintang pada benda itu semakin memancar lalu
tiba-tiba seperti meloncat keluar dari tempatnya. Memenuhi diriku dengan cahaya
yang hanya bisa terlihat olehku.
Tiba-tiba pintu besar itu terbuka,
memenuhi mataku dengan warna putih yang mendominasi ruangan ini. Undangan yang
datang pun memakai pakaian serba putih, jadi bayangkan saja berapa banyak warna
putih yang terdapat di ruangan ini. Dan ada dirinya, yang juga mengenakan jas
berwarna putih dengan celana kain yang senada dengan warna jasnya, sedang
menanti di depan altar. Dia yang kucintai, yang akan bersumpah untuk setia
menjadi pendamping hidupku hari ini dan seterusnya.
“Terima
kasih…” katanya saat aku sudah berdiri di sampingnya setelah melewati
perjuangan untuk tidak jatuh akibat sepatu hak tinggi dan gaun yang berat ini.
“Kenapa?”
“Karena
hari ini, semuanya…” katanya lagi sambil tersenyum, membuatku tersenyum juga.
Kamipun mengucap sumpah, dan saat tiba
giliranku untuk mengatakan ‘ya’ aku menatap matanya sekilas. Tapi yang terjadi
malah membuatku ingin menangis. Matanya kelabu, seperti tak ada kehidupan di
dalamnya. Kupandangi mata pendeta yang berada di depanku, sama saja. Begitu
pula dengan keluargaku dan para undangan.
Apa
yang sebenarnya terjadi?
***
Tiga
bulan yang lalu…
Langit biru mulai berubah warna menjadi
merah. Aku berdiri dalam diam di depan sebuah toserba. Tak peduli pada siulan
tak jelas dari para tukang parkir di seberang jalan dan memilih mengamati
kawanan burung yang terbang merendah. Cahaya matahari mulai meredup, berganti
dengan lampu jalan yang mulai dinyalakan.
"Tidak
datang..." lirih, aku berujar pada langit senja yang mulai nampak di
atasku. Sudah lewat tiga jam aku menunggu di tempat ini. Tapi seperti hari-hari
yang sudah lewat, yang kudapat hanya rasa kecewa dan rasa lelah pada kedua
kakiku.
Fajar, itu namanya. Seorang pelukis yang
memiliki jiwa yang bebas, tak ingin dikekang. Karena itulah Ia menolak ketika
ku nyatakan perasaanku padanya. Berkata bahwa Ia tak ingin terikat dulu dengan
hal apapun termasuk dengan wanita. Namun aku -dengan bodohnya- menawarkan untuk
menanti sampai Ia mau menerimaku. Terus berada dalam jarak pandangnya agar
kelak hati Fajar bisa trenyuh melihat usahaku. Hal bodoh yang tetap kulakukan
hingga hari ini, saat dengan sabar menanti Fajar.
Dengan langkah gontai aku berjalan
menyusuri deretan toko yang mulai sepi, pikiranku melayang pada sosok fajar
yang hingga kini tak kunjung membalas perasaanku. Andai saja ada sebuah
keajaiban.
Lalu secara tiba-tiba suatu benda
berkilauan menarik minatku. Mataku tak bisa menyembunyikan binarnya saat
melihat sebuah kalung di sebuah etalase toko tempatku berdiri sekarang. Safir
dengan pola bintang menjadi liontin bagi kalung tersebut, cantik sekali.
"Kau
ingin memilikinya?" sebuah suara khas wanita tua berbisik di telinga kiriku.
Dan benar dugaanku, seorang nenek berusia sekitar tujuh atau delapan puluh
tahun dengan agak membungkuk tersenyum di hadapanku. Ia menggunakan sebuah baju
kuning yang sudah agak kusam yang dipadupadankan dengan rok panjang berwarna
kelabu. Warna perak pada rambutnya bercampur dengan cahaya senja, memberikan
kesan yang agak menakutkan. Rasa-rasanya aku ingin bertanya apakah Ia penyihir
atau bukan tapi kuurungkan niatku dan menganggap bahwa aku hanya kebanyakan
nonton film.
"Kau
ingin memilikinya?" ucapan nenek misterius yang mengulang pertanyaannya
itu membuyarkan lamunanku. Aku memutar kedua bola mataku dan meletakkan jari
telunjuk kananku di depan dahi, tanda sedang berpikir. Siapa yang akan menolak
kalung secantik ini? Tak ada kurasa. Tapi kemunculan nenek ini dan isi toko
yang setelah kulihat dari luar agak menyeramkan membuatku berpikir dua kali
untuk memiliki kalung itu. Lagipula aku mana punya uang untuk membelinya?
"Tenang
saja. Toko ini dan juga aku tidak berbahaya..." kata nenek itu lagi seakan
menjawab pertanyaan yang berputar di kepalaku sejak tadi. Oh! Sepertinya nenek
ini bukan penyihir, tapi paranormal!
"Dan
aku juga bukan paranormal..."
Deg!
Dugaanku terjawab sudah. Nenek ini bukan nenek biasa. Tidak, tidak! Ia bukan
anggota idol group yang anggotanya artis-artis itu. Ah… Lupakan! Yang pasti
sekarang aku sudah mengambil ancang-ancang untuk segera kabur dari tempat ini,
tapi tak bisa. Tubuhku serasa terperangkap dalam kotak kaca yang tak terlihat
dan suaraku menghilang entah kemana. Lalu rasa sesak menghunjam dadaku... dan
akhirnya senja berubah warna menjadi hitam.
***
Perlahan, perlahan… Ucapkan mimpimu…
Dengan mudah, dengan mudah… Akan ku
kabulkan
Kan kubuat kau bersinar, melebihi yang
lain
Kan kubuat kau bersinar, melebihi yang
lain
Suara nyanyian yang aneh membangunkanku,
dan kudapati diriku terbangun di sebuah tempat yang aneh dengan nuansa serba
hitam. Yang normal di tempat ini hanyalah sebuah bola kaca dengan rumah kecil
di dalamnya dengan hujan salju buatan yang akan terlihat jika bola kaca itu
diguncangkan. Ajaib! Tiba-tiba aku melihat salju turun di luar jendela. Apakah
aku bermimpi?
“Menurutmu?”
Sebuah suara muncul di balik tirai
merah marun yang kurasa digunakan sebagai pemisah bagi ruangan ini dengan
sebuah ruang lagi. Dan nenek yang sama dengan yang tadi berbicara denganku di
depan etalase toko kini terkekeh di hadapanku. Membuatku sadar sepenuhnya dan
mengetahui tempatku berada sekarang. Di dalam toko itu.
“Kau…
Bagaimana bisa…” aku berusaha bangkit dari tempatku berbaring sejak tadi,
sebuah sofa kumal dengan beberapa per yang mencuat di sana-sini, lalu menyadari
adanya sebuah benda yang sudah menggantung di leherku. Tergesa-gesa aku
mengeluarkan benda itu dan akhirnya terpesona pada cahaya yang dipancarkannya.
“Benda
itu milikmu sekarang,” kata nenek misterius itu lagi.
“Milikku?”
“Ya,
benda itu sudah memilihmu. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat
toko ini dan juga benda itu. Dan kurasa kali ini kaulah yang dipilih olehnya.”
Secara
bergantian aku menatap nenek itu lalu kalung berliontin Safir tersebut. Seakan
tak percaya bahwa kejadian yang aku alami sekarang adalah sebuah kenyataan dan
bukan mimpi.
“Kalau
kau tak percaya, cobalah memohon pada kalung itu. Pikirkan sebuah tempat dan
seseorang yang kau inginkan berada bersamamu…” jelasnya lagi. Rasanya aku tak
ingin mempercayai semuanya, tapi nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Mataku
perlahan terpejam lalu membayangkan sebuah tempat dan sosok Fajar yang
kucintai. “Katakan ‘dengar mimpiku’…” bisik nenek itu yang kusambut dengan
sebuah anggukan.
“Dengar
mimpiku…”
Pendar
cahaya yang indah menyelimuti diriku, dilanjutkan dengan kilatan-kilatan aneh
yang menerbangkanku keluar menembus jendela tempat ini. Lalu saat kukerjapkan
mataku lagi, aku sudah berada di sebuah pasar malam dengan Fajar yang
menggandeng tanganku. Sesuai dengan apa yang kubayangkan.
“Kenapa,
Lira?” suara Fajar membuatku tersadar dari hal-hal aneh yang berseliweran di
otakku.
“Eh?
Tidak apa-apa…” kataku berusaha menguasai diriku. Aku tak mau Fajar curiga.
“Syukurlah,
kau membuatku khawatir saja,” katanya lalu mengacak-acak rambutku.
Fajar
khawatir karena aku? Jangan bilang aku sedang bermimpi sekarang karena kalaupun
ini mimpi rasanya aku tidak ingin terbangun dan merasa kecewa saat ini.
Bukan, ini bukan mimpi. Senyuman Fajar
terasa sangat nyata, dan genggaman tangan ini juga terasa sangat hangat. ‘Apa ini semua karena kalung itu?’
tanyaku dalam hati sambil menggenggam kalung Safir yang menggantung di leherku.
Keinginanku terkabul. Bahagia sekali rasanya berkencan dengan fajar dan
berkeliling berdua. Hari-hari selanjutnya juga sama menyenangkannya dengan
malam ini. Berjalan-jalan di taman hiburan, tertawa melihat aksi badut
berkustom polkadot yang lucu, bersantai di beranda rumahku sambil menebak nama
rasi bintang yang tampak di langit, serta hal membahagiakan lainnya.
Tiga bulan berlalu, hari ini menjadi
puncak kebahagiaanku. Pernikahan. Hidupku sempurna saat ini. Sampai akhirnya
warna kelabu yang muncul di mata Fajar dan juga di mata setiap orang yang
berada di sekitarku menghancurkan segalanya.
***
“Kenapa
kau tak menjawab pertanyaan pendeta, Lira?” Fajar menatapku dengan tatapan
kosongnya, membuatku bergidik ketakutan lalu mundur beberapa langkah.
“Kenapa,
Lira… Apa kau tak mencintaiku lagi?” Fajar terus menyerangku dengan berbagai
pertanyaan. Orang-orang disekitarku juga mulai berdiri mendekatiku dan
menanyakan hal yang sama. Layaknya zombie yang sedang kelaparan.
Tidak!
Bukan hal yang seperti ini yang kuinginkan! Jika ini mimpi buruk, kumohon… Bangunkan
aku!
Fajar dan para undangan lainnya semakin
mendekat, membuat peluh dan air mataku semakin berjatuhan. Ingin rasanya
melarikan diri tapi jalan keluar satu-satunya sudah diboikot oleh orang-orang
ini. Apa yang harus kulakukan?
"Ini yang kau inginkan
bukan?"
Sebuah
suara asing berkata padaku dengan nada menghina. “Siapa kau?!”
"Kau tak mengenaliku
lagi? Benar-benar tidak tahu terima kasih. Setelah yang kuberikan selama ini
malah ini yang menjadi balasanmu?"
Mataku
terpaku pada benda yang sedari tadi berada di genggamanku. Kalung Safir itu!
"Akhirnya kau sadar
juga. Hahaha…"
Tiba-tiba
aku merasa kepalaku ingin pecah dan aku pun berteriak sambil menutup kedua
mataku. Ku ayunkan tanganku sekuat mungkin lalu melempar kalung Safir tersebut
ke arah Fajar dan yang lainnya. Terdengar bunyi sesuatu yang pecah, lalu saat
mataku terbuka sekelilingku terlihat seperti sebuah kota mati. Langit malam
yang mendung disusul dengan gerimis menghunjam tubuhku. Gaun pengantin yang
kupakai kini sudah tidak elok lagi, sama seperti diriku yang kini menangis.
“Kau
menyesal sekarang?”
Aku
mengangkat wajahku dan melihat nenek misterius itu kini sudah berdiri di
hadapanku. “Kau sadar sekarang bahwa sesuatu yang terlihat terlalu sempurna
akhirnya malah bisa menjadi mimpi buruk?”
“Ya…
Tolong kembalikan semuanya seperti dulu… Kumohon…” ratapku sambil berlutut. Aku
ingin segera pulang sekarang.
“Tutup
matamu dan ikuti kata-kataku.”
“Baiklah…”
kataku lalu menutup mata dan merasakan tubuhku melayang entah kemana beberapa
menit kemudian.
***
“Lira…
Bangunlah…”
Aku
merasakan pipiku seperti ditepuk-tepuk oleh seseorang. Aku dimana?
“Syukurlah
kau sudah sadar. Aku sempat panik saat melihat kau terbaring di tengah jalan.
Apa kau lapar? Tadi aku mampir beli gorengan di pinggir jalan…”
Suara
ini? Apa aku tidak salah dengar?
“Fajar?”
aku memanggil nama itu dan akhirnya mendapati wajah Fajar yang tersenyum di
sampingku.
“Maaf
aku terlambat. Tadi Ibu masuk Rumah Sakit jadi…” aku menahan ucapan Fajar
dengan menempelkan telunjukku di bibirnya. Aku tak perlu alasan, kehadirannya
saat ini sudah lebih dari cukup.
Dan
dengan tergesa aku merebut plastik gorengan dari tangannya lalu mengunyah
pisang goreng dengan lahap. Terserah ini digoreng dengan minyak jelantah atau
apa. Yang penting adalah orang yang memberikannya. Fajar, yang kini kugandeng
sambil mengunyah gorengan ketiga.
“Keajaiban datang bukan
dari sebuah benda, tapi dari hati yang mau percaya dan niat untuk berusaha.”
Aku
tersenyum mengingat kalimat yang diucapkan nenek misterius itu lalu semakin
mengeratkan genggamanku pada Fajar, keajaiban utamaku.
Dan, kalung safir di etalase toko, masih
terpajang manis. Menanti manusia lain yang mencari sebuah keajaiban.
http://9lightsproduction.multiply.com/journal/item/12/Lomba_Fiksi_Fantasi_2012
Wah, syukurlah endingnya bahagia.. ^^b
BalasHapusIya. :D
HapusMakasih ya cizu. Hehehe
Iya. :)
BalasHapusTerima kasih juga untuk Admin yang sudah menerima tulisan saya. :D