Sabtu, 04 Februari 2012

Star Sapphire... (Listen to My Dream)

Judul : Star Sapphire (Listen to My Dream)
Key word : Salju, pasar malam, polkadot, rasi, jelantah.


Kutatap refleksi diriku yang terlihat pada cermin. Cantik, ya semua pengantin memang akan terlihat cantik pada hari pernikahannya. Tapi entah kenapa semua ini terasa tidak nyata. Sejak benda itu hadir dalam hidupku, benda yang kini berada dalam genggamanku dan tak bisa menyembunyikan kilaunya. Dengan hati-hati aku membuka kedua tanganku dan benda itu semakin berpendar dengan indah. Perlahan kedua mataku terpejam kemudian melakukan gerakan seperti berbisik pada benda tersebut.
“Dengar mimpiku…” bisikku, dan pola bintang pada benda itu semakin memancar lalu tiba-tiba seperti meloncat keluar dari tempatnya. Memenuhi diriku dengan cahaya yang hanya bisa terlihat olehku.
Tiba-tiba pintu besar itu terbuka, memenuhi mataku dengan warna putih yang mendominasi ruangan ini. Undangan yang datang pun memakai pakaian serba putih, jadi bayangkan saja berapa banyak warna putih yang terdapat di ruangan ini. Dan ada dirinya, yang juga mengenakan jas berwarna putih dengan celana kain yang senada dengan warna jasnya, sedang menanti di depan altar. Dia yang kucintai, yang akan bersumpah untuk setia menjadi pendamping hidupku hari ini dan seterusnya.
“Terima kasih…” katanya saat aku sudah berdiri di sampingnya setelah melewati perjuangan untuk tidak jatuh akibat sepatu hak tinggi dan gaun yang berat ini.
“Kenapa?”
“Karena hari ini, semuanya…” katanya lagi sambil tersenyum, membuatku tersenyum juga.
Kamipun mengucap sumpah, dan saat tiba giliranku untuk mengatakan ‘ya’ aku menatap matanya sekilas. Tapi yang terjadi malah membuatku ingin menangis. Matanya kelabu, seperti tak ada kehidupan di dalamnya. Kupandangi mata pendeta yang berada di depanku, sama saja. Begitu pula dengan keluargaku dan para undangan.
Apa yang sebenarnya terjadi?
***
Tiga bulan yang lalu…
Langit biru mulai berubah warna menjadi merah. Aku berdiri dalam diam di depan sebuah toserba. Tak peduli pada siulan tak jelas dari para tukang parkir di seberang jalan dan memilih mengamati kawanan burung yang terbang merendah. Cahaya matahari mulai meredup, berganti dengan lampu jalan yang mulai dinyalakan.
"Tidak datang..." lirih, aku berujar pada langit senja yang mulai nampak di atasku. Sudah lewat tiga jam aku menunggu di tempat ini. Tapi seperti hari-hari yang sudah lewat, yang kudapat hanya rasa kecewa dan rasa lelah pada kedua kakiku.
Fajar, itu namanya. Seorang pelukis yang memiliki jiwa yang bebas, tak ingin dikekang. Karena itulah Ia menolak ketika ku nyatakan perasaanku padanya. Berkata bahwa Ia tak ingin terikat dulu dengan hal apapun termasuk dengan wanita. Namun aku -dengan bodohnya- menawarkan untuk menanti sampai Ia mau menerimaku. Terus berada dalam jarak pandangnya agar kelak hati Fajar bisa trenyuh melihat usahaku. Hal bodoh yang tetap kulakukan hingga hari ini, saat dengan sabar menanti Fajar.
Dengan langkah gontai aku berjalan menyusuri deretan toko yang mulai sepi, pikiranku melayang pada sosok fajar yang hingga kini tak kunjung membalas perasaanku. Andai saja ada sebuah keajaiban.
Lalu secara tiba-tiba suatu benda berkilauan menarik minatku. Mataku tak bisa menyembunyikan binarnya saat melihat sebuah kalung di sebuah etalase toko tempatku berdiri sekarang. Safir dengan pola bintang menjadi liontin bagi kalung tersebut, cantik sekali.
"Kau ingin memilikinya?" sebuah suara khas wanita tua berbisik di telinga kiriku. Dan benar dugaanku, seorang nenek berusia sekitar tujuh atau delapan puluh tahun dengan agak membungkuk tersenyum di hadapanku. Ia menggunakan sebuah baju kuning yang sudah agak kusam yang dipadupadankan dengan rok panjang berwarna kelabu. Warna perak pada rambutnya bercampur dengan cahaya senja, memberikan kesan yang agak menakutkan. Rasa-rasanya aku ingin bertanya apakah Ia penyihir atau bukan tapi kuurungkan niatku dan menganggap bahwa aku hanya kebanyakan nonton film.
"Kau ingin memilikinya?" ucapan nenek misterius yang mengulang pertanyaannya itu membuyarkan lamunanku. Aku memutar kedua bola mataku dan meletakkan jari telunjuk kananku di depan dahi, tanda sedang berpikir. Siapa yang akan menolak kalung secantik ini? Tak ada kurasa. Tapi kemunculan nenek ini dan isi toko yang setelah kulihat dari luar agak menyeramkan membuatku berpikir dua kali untuk memiliki kalung itu. Lagipula aku mana punya uang untuk membelinya?
"Tenang saja. Toko ini dan juga aku tidak berbahaya..." kata nenek itu lagi seakan menjawab pertanyaan yang berputar di kepalaku sejak tadi. Oh! Sepertinya nenek ini bukan penyihir, tapi paranormal!
"Dan aku juga bukan paranormal..."
Deg! Dugaanku terjawab sudah. Nenek ini bukan nenek biasa. Tidak, tidak! Ia bukan anggota idol group yang anggotanya artis-artis itu. Ah… Lupakan! Yang pasti sekarang aku sudah mengambil ancang-ancang untuk segera kabur dari tempat ini, tapi tak bisa. Tubuhku serasa terperangkap dalam kotak kaca yang tak terlihat dan suaraku menghilang entah kemana. Lalu rasa sesak menghunjam dadaku... dan akhirnya senja berubah warna menjadi hitam.
***
Perlahan, perlahan… Ucapkan mimpimu…
Dengan mudah, dengan mudah… Akan ku kabulkan
Kan kubuat kau bersinar, melebihi yang lain
Kan kubuat kau bersinar, melebihi yang lain

Suara nyanyian yang aneh membangunkanku, dan kudapati diriku terbangun di sebuah tempat yang aneh dengan nuansa serba hitam. Yang normal di tempat ini hanyalah sebuah bola kaca dengan rumah kecil di dalamnya dengan hujan salju buatan yang akan terlihat jika bola kaca itu diguncangkan. Ajaib! Tiba-tiba aku melihat salju turun di luar jendela. Apakah aku bermimpi?
“Menurutmu?” Sebuah suara muncul di balik tirai merah marun yang kurasa digunakan sebagai pemisah bagi ruangan ini dengan sebuah ruang lagi. Dan nenek yang sama dengan yang tadi berbicara denganku di depan etalase toko kini terkekeh di hadapanku. Membuatku sadar sepenuhnya dan mengetahui tempatku berada sekarang. Di dalam toko itu.
“Kau… Bagaimana bisa…” aku berusaha bangkit dari tempatku berbaring sejak tadi, sebuah sofa kumal dengan beberapa per yang mencuat di sana-sini, lalu menyadari adanya sebuah benda yang sudah menggantung di leherku. Tergesa-gesa aku mengeluarkan benda itu dan akhirnya terpesona pada cahaya yang dipancarkannya.
“Benda itu milikmu sekarang,” kata nenek misterius itu lagi.
“Milikku?”
“Ya, benda itu sudah memilihmu. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa melihat toko ini dan juga benda itu. Dan kurasa kali ini kaulah yang dipilih olehnya.”
Secara bergantian aku menatap nenek itu lalu kalung berliontin Safir tersebut. Seakan tak percaya bahwa kejadian yang aku alami sekarang adalah sebuah kenyataan dan bukan mimpi.
“Kalau kau tak percaya, cobalah memohon pada kalung itu. Pikirkan sebuah tempat dan seseorang yang kau inginkan berada bersamamu…” jelasnya lagi. Rasanya aku tak ingin mempercayai semuanya, tapi nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Mataku perlahan terpejam lalu membayangkan sebuah tempat dan sosok Fajar yang kucintai. “Katakan ‘dengar mimpiku’…” bisik nenek itu yang kusambut dengan sebuah anggukan.
“Dengar mimpiku…”
Pendar cahaya yang indah menyelimuti diriku, dilanjutkan dengan kilatan-kilatan aneh yang menerbangkanku keluar menembus jendela tempat ini. Lalu saat kukerjapkan mataku lagi, aku sudah berada di sebuah pasar malam dengan Fajar yang menggandeng tanganku. Sesuai dengan apa yang kubayangkan.
“Kenapa, Lira?” suara Fajar membuatku tersadar dari hal-hal aneh yang berseliweran di otakku.
“Eh? Tidak apa-apa…” kataku berusaha menguasai diriku. Aku tak mau Fajar curiga.
“Syukurlah, kau membuatku khawatir saja,” katanya lalu mengacak-acak rambutku.
Fajar khawatir karena aku? Jangan bilang aku sedang bermimpi sekarang karena kalaupun ini mimpi rasanya aku tidak ingin terbangun dan merasa kecewa saat ini.
Bukan, ini bukan mimpi. Senyuman Fajar terasa sangat nyata, dan genggaman tangan ini juga terasa sangat hangat. ‘Apa ini semua karena kalung itu?’ tanyaku dalam hati sambil menggenggam kalung Safir yang menggantung di leherku. Keinginanku terkabul. Bahagia sekali rasanya berkencan dengan fajar dan berkeliling berdua. Hari-hari selanjutnya juga sama menyenangkannya dengan malam ini. Berjalan-jalan di taman hiburan, tertawa melihat aksi badut berkustom polkadot yang lucu, bersantai di beranda rumahku sambil menebak nama rasi bintang yang tampak di langit, serta hal membahagiakan lainnya.
Tiga bulan berlalu, hari ini menjadi puncak kebahagiaanku. Pernikahan. Hidupku sempurna saat ini. Sampai akhirnya warna kelabu yang muncul di mata Fajar dan juga di mata setiap orang yang berada di sekitarku menghancurkan segalanya.
***
“Kenapa kau tak menjawab pertanyaan pendeta, Lira?” Fajar menatapku dengan tatapan kosongnya, membuatku bergidik ketakutan lalu mundur beberapa langkah.
“Kenapa, Lira… Apa kau tak mencintaiku lagi?” Fajar terus menyerangku dengan berbagai pertanyaan. Orang-orang disekitarku juga mulai berdiri mendekatiku dan menanyakan hal yang sama. Layaknya zombie yang sedang kelaparan.
Tidak! Bukan hal yang seperti ini yang kuinginkan! Jika ini mimpi buruk, kumohon… Bangunkan aku!
Fajar dan para undangan lainnya semakin mendekat, membuat peluh dan air mataku semakin berjatuhan. Ingin rasanya melarikan diri tapi jalan keluar satu-satunya sudah diboikot oleh orang-orang ini. Apa yang harus kulakukan?
"Ini yang kau inginkan bukan?"
Sebuah suara asing berkata padaku dengan nada menghina. “Siapa kau?!”
"Kau tak mengenaliku lagi? Benar-benar tidak tahu terima kasih. Setelah yang kuberikan selama ini malah ini yang menjadi balasanmu?"
Mataku terpaku pada benda yang sedari tadi berada di genggamanku. Kalung Safir itu!
"Akhirnya kau sadar juga. Hahaha…"
Tiba-tiba aku merasa kepalaku ingin pecah dan aku pun berteriak sambil menutup kedua mataku. Ku ayunkan tanganku sekuat mungkin lalu melempar kalung Safir tersebut ke arah Fajar dan yang lainnya. Terdengar bunyi sesuatu yang pecah, lalu saat mataku terbuka sekelilingku terlihat seperti sebuah kota mati. Langit malam yang mendung disusul dengan gerimis menghunjam tubuhku. Gaun pengantin yang kupakai kini sudah tidak elok lagi, sama seperti diriku yang kini menangis.
“Kau menyesal sekarang?”
Aku mengangkat wajahku dan melihat nenek misterius itu kini sudah berdiri di hadapanku. “Kau sadar sekarang bahwa sesuatu yang terlihat terlalu sempurna akhirnya malah bisa menjadi mimpi buruk?”
“Ya… Tolong kembalikan semuanya seperti dulu… Kumohon…” ratapku sambil berlutut. Aku ingin segera pulang sekarang.
“Tutup matamu dan ikuti kata-kataku.”
“Baiklah…” kataku lalu menutup mata dan merasakan tubuhku melayang entah kemana beberapa menit kemudian.
***
“Lira… Bangunlah…”
Aku merasakan pipiku seperti ditepuk-tepuk oleh seseorang. Aku dimana?
“Syukurlah kau sudah sadar. Aku sempat panik saat melihat kau terbaring di tengah jalan. Apa kau lapar? Tadi aku mampir beli gorengan di pinggir jalan…”
Suara ini? Apa aku tidak salah dengar?
“Fajar?” aku memanggil nama itu dan akhirnya mendapati wajah Fajar yang tersenyum di sampingku.
“Maaf aku terlambat. Tadi Ibu masuk Rumah Sakit jadi…” aku menahan ucapan Fajar dengan menempelkan telunjukku di bibirnya. Aku tak perlu alasan, kehadirannya saat ini sudah lebih dari cukup.
Dan dengan tergesa aku merebut plastik gorengan dari tangannya lalu mengunyah pisang goreng dengan lahap. Terserah ini digoreng dengan minyak jelantah atau apa. Yang penting adalah orang yang memberikannya. Fajar, yang kini kugandeng sambil mengunyah gorengan ketiga.
“Keajaiban datang bukan dari sebuah benda, tapi dari hati yang mau percaya dan niat untuk berusaha.”
Aku tersenyum mengingat kalimat yang diucapkan nenek misterius itu lalu semakin mengeratkan genggamanku pada Fajar, keajaiban utamaku.
Dan, kalung safir di etalase toko, masih terpajang manis. Menanti manusia lain yang mencari sebuah keajaiban.

http://9lightsproduction.multiply.com/journal/item/12/Lomba_Fiksi_Fantasi_2012 

3 komentar: