Bila cinta bisa diumpamakan sebagai secangkir kopi?
Mataku
berkeliling ke seluruh sudut cafe ini. Sepi, hanya ada sepasang muda-mudi yang
duduk dekat pintu dengan dua gelas es kopi, seorang pria di meja sebelah
dengan penampilan ala pebisnis muda yang bersembunyi di balik koran, dan ada
aku, gadis yang duduk di sudut cafe dengan dahi yang saling bertaut.
"Mau pesan apa, Mbak?"
pelayan yang berdiri sambil memegang notes kecil itu tersenyum padaku. Senyum
yang sama sejak 10 menit yang lalu saat ia memberikan daftar menu yang ku tatap
dengan wajah bingung.
"Ahh... Macchiato
saja..." buru-buru aku mengucapkan salah satu nama kopi yang terakhir ku
lihat. Aku memilih secara acak sebenarnya. Jujur, aku tak pernah minum kopi di
cafe seperti ini. Aku bahkan tak suka kopi. Namun mata dan kakiku malah membawaku
ke dalam cafe yang sebagian besar menunya tak dapat ku mengerti. Hanya untuk
mencari sebuah kebenaran.
"Latte atau Espresso?"
tanya si pelayan lagi.
"Terserah saja..."
"Baik." Pelayan
tersebut terlihat menulis sesuatu pada notesnya, sebelum akhirnya tersenyum dan
berlalu dari hadapanku.
Aku
mengedarkan pandanganku ke seluruh bagian cafe dan mulai merasa putus asa.
Mengapa kebenaran itu tak kunjung datang?
"Satu cangkir Espresso
Macchiato, silakan..." kata pelayan tadi sambil meletakkan secangkir kopi
berwarna kecoklatan yang masih mengepul. Dengan canggung aku mengaduk kopi
tersebut, membuat bagian berwana putih yang terkumpul di tengahnya bercampur
dengan warna coklat lalu meminumnya.
‘Pahit.’
Aku mencoba
untuk mengaduk kembali Macchiato yang pahit itu, mengira bahwa mungkin saja
kopi itu belum tercampur dengan benar. Tapi tetap saja rasa pahit yang ku kecap
saat cairan kecoklatan itu menyentuh lidahku.
Tiba-tiba
lonceng pada pintu cafe berbunyi, pertanda ada pelanggan yang masuk. Dan sosok
yang ku nanti sedari tadi kini berjalan masuk ke dalam cafe ini. Rehan, mantan
pacar yang masih ku sayangi, berjalan ke arah meja di sudut lain dari cafe ini.
Tangannya melambai ke arah pelayan yang melayaniku tadi.
Mataku pedih,
air mata mulai menggenang di sana. Ada sesuatu yang lebih dari kedua insan
berlainan jenis itu. Mata Rehan yang berbinar dan wajah pelayan tersebut yang
tersipu menjelaskan semuanya. Seharusnya aku sadar bahwa hubungan kami memang
sudah tak bisa kembali seperti dulu. Hanya aku yang terus berharap kalau dia
akan kembali padaku. Namun dia sendiri? Tidak.
Macchiato yang
baru ku minum seperempat seperti cinta yang ku rasakan saat ini. Pahit, tapi
aku tetap bertahan untuk meminumnya. Namun sekarang aku harus menghentikan
keduanya, menanti Rehan dan meminum Macchiato ini.
"Kau lupa menambahkan brown
sugar..."
"Eh?" aku menoleh ke
arah suara tadi. Sebuah senyuman muncul di balik koran yang ku kenali sebagai
koran sore, dan sang empunya senyuman menunjuk dua bungkus kertas kecil
bertuliskan 'Brown Sugar' di atas meja yang tak ku perhatikan sejak tadi.
"Harusnya kau menambahkan
itu sebelum kau meminumnya..." katanya lagi. Rupanya dari tadi ia
memperhatikanku yang meminum Macchiato tanpa brown sugar. Dan ternyata benar.
Aku bisa merasakan rasa manis saat brown sugar menyatu dengan Macchiato. Walau
masih terasa sedikit pahit, tapi ini lebih baik.
"Benar, kan?" pria itu
tersenyum lagi lalu kembali menyibukkan dirinya dengan koran yang sempat
dilepaskannya sejenak. Dan aku tersenyum.
Macchiato di
cangkirku telah habis, derai tawa Rehan dan gadis pelayan itu terdengar. Memang
masih terasa pahit... tapi aku tahu. Selama masih ada brown sugar sebagai
pemanis bagi Macchiato, begitu pula cinta yang baru akan memaniskan hari-hariku
lagi. Suatu hari...
Bitter sweet :D
BalasHapusBagus nih. Tapi panjangin aja, jangan cuma ff. Nanggung nih :D
Gara-gara minum Macchiato di J*o. Hahah XD
HapusHaduhh... Mampunya cuma smpe di ff, tam. Kalo cerpen takutnya ntar malah gaje ceritanya. :p
entah kenapa, saya selalu seuka dnegan cerita-cerita seperti ini, keep update ya...
BalasHapussalam kenal
Tulisan yang galau? Ehehehe. :p
HapusMakasih, ya. :D
Ga nyangka ada orang lain yang baca selain teman saya yang di atas. :)