Minggu, 30 Januari 2022

Aku ingin makan seblak.

Akhir-akhir ini seblak jadi makanan yang aku sukai. Alasannya karena selain harganya murah dan enak, ada kesenangan sendiri bagiku saat makan seblak yang kaya bumbu dan pedas. Di ujung hari yang melelahkan dan membuat stres, aku sering menemukan diriku yang ingin makan seblak. Seperti Dejavu. Tapi aku terus mengingatkan diri agar tidak sering makan itu karena takut terkena kolesterol akibat konsumsi minyak berlebih... Terlalu banyak makan yang tidak sehat, aku takut terserang penyakit.

Oke lalu tulisan ini maksudnya apa? Apa aku cuma mau curhat ingin makan seblak? Ada benarnya sih... walau tujuan awalku sebenarnya ingin menulis tentang buku yang baru saja selesai aku baca. Judulnya, "I want to Die but I want to Eat Tteokpokki."

 


"Aku ingin mati, tapi aku ingin makan Tteokpokki," dari judul tersebut aku melihat dua kata yang berlawanan yaitu 'mati' dan 'makan'. Aku tidak percaya zombie, jadi menurutku orang yang sudah mati tidak bisa makan lagi. Yah... Aku belum pernah mati sih, jadi jangan terlalu percaya dengan apa yang aku tulis (wkwkwwkk). Tapi pernahkah kamu berpikir ingin mati? Di masa sekarang saat pandemi masih terjadi dan ada saja manusia yang mati setiap hari, membuatku tidak bisa dengan mudah mengungkapkan bahwa aku ingin mati walau hanya di media sosial. Bahkan berkata jujur saja menakutkan, orang-orang di balik keyboard bisa dengan mudah menyerangku dengan kata-kata yang mereka pikir benar... Hah, tapi pernahkah aku berpikir ingin mati?

Tentu pernah, tapi sekarang aku tidak lagi berpikiran ingin mati karena suatu hari aku juga akan mati. Lalu, apakah aku harus hidup dengan berpikir bahwa suatu saat aku akan mati?

Kenapa dari tadi aku hanya memusatkan pikiran pada kata 'mati' padahal aku masih bisa lanjut 'makan'.

Jujur (oke ini jujur) saat aku membaca judul buku ini, aku merasa bahwa ini adalah judul yang konyol. Bukannya Tteokpokki bisa mudah didapat di Korea Selatan sana? Oke lagi-lagi jangan percaya apa yang aku katakan, soalnya aku belum pernah ke Korea Selatan (wkwkwkwwkk). Tapi aku menyesal setelah memiliki pikiran seperti itu karena layaknya masuk ke kolam berisi air, aku hanya berada di bagian dangkalnya saja. Jika aku masuk ke bagian lebih dalam dan berpikir lebih baik, aku sadar bahwa (lagi-lagi kata) mati bukan sesuatu yang bisa diremehkan. Karena meremehkan kematian sama halnya dengan meremehkan kehidupan.

Jadi, aku memutuskan untuk menghargai judul buku ini dan isi di dalamnya.

Mulai dari cover, aku sangat suka warna ungu yang menjadi warna utama buku ini. Warna yang cantik. Lalu ada seorang perempuan yang rebahan menyamping yang bikin aku kepikiran, 'apa dia lagi overthinking?' Oh, mungkin dia lagi mikir mau mati tapi masih pengen makan Tteokpokki... Hah, ngawur. Tapi ada kalimat tanya di bawah gambar si perempuan yang rebahan tadi, hal yang baru aku perhatikan bahkan setelah selesai membaca buku ini.

"Katanya mau mati, kenapa malah memikirkan jajanan kaki lima? Apa benar kau ingin mati?"

Tuh kan... Bukan aku saja yang berpikir kalau judul buku ini konyol. Bahkan penulisnya saja begitušŸ„² Eh tapi ga apa-apa, kan dia mengkritik diri sendiri (???). Aku nggak merhatiin tulisan ini soalnya (mulai deh alasan) aku keburu seneng ngeliat buku ini di-review sama dokter kesukaan aku, dr. Jiemi Ardian, Sp. KJ. Aku pikir, 'Wahhhh... dokter Jiemi udah baca buku ini! Aku harus baca!' Alasan yang simple ya kan? Semoga hal-hal sederhana seperti ini bisa mengarahkan aku ke hal-hal baik lainnya.

Buku ini ditulis oleh Baek Sehee dan diterbitkan di Indonesia oleh Penerbit Haru. Hal lain yang aku suka dari buku ini yaitu halamannya yang tidak selalu menggunakan kertas putih, tapi selang-seling dengan warna merah. Apa itu mewakili warna Tteokpokki yang pedas? Di cover bagian belakang aku juga bisa menemukan gambar piring berisi sesuatu berwarna merah, mungkin itu Tteokpokki.

Isi buku ini sebagian besar menuliskan tentang proses konsultasi antara si penulis dengan psikiater yang ia datangi secara rutin. Awalnya penulis mencatat apa yang ia dengar dari psikiater setelah sesi konsultasi, namun ia beralih dengan cara merekam sehingga bisa dikatakan bahwa apa yang ditulis dalam buku ini memuat percakapan yang lengkap antar si penulis dan psikiater. Hal ini membuat aku sebagai pembaca bisa mendapat sedikit ilmu tentang kelainan mental apa yang dialami penulis, apa penyebabnya, dan bagaimana mengatasinya. Kadang aku merasa pernah mengalami kondisi yang sama, tapi lebih banyak aku merasa kayak, "Kok si penulis bisa mikir gitu sih?" Tapi karena aku tahu bahwa penyakit hanya bisa didiagnosa dan disembuhkan oleh ahlinya, maka aku tidak ingin mendiagnosa diri sendiri dari tulisan yang aku baca. Kalimat dari si Psikiater di halaman 152 menurut aku sesuai dengan pernyataanku ini.

"Itu karena anda baru saja mendengar penjelasan tentang hal itu maka anda merasa sepertinya hal itu cocok dengan gejala yang anda rasakan. Itu adalah salah satu jenis delusi."

Karena buku ini belum selesai dan aku belum membaca bagian keduanya, aku juga tidak tahu bagaimana harusnya aku menyelesaikan tulisan ini. Tapi yang aku dapatkan dari buku ini yaitu... bahwa sesuatu yang sederhana seperti makan Tteokpokki bisa jadi alasan penting untuk terus hidup. Tentu aku punya alasan untuk hidup selain ingin makan seblak, dan aku bersyukur karena aku punya banyak alasan. Aku ingin hidup lebih lama bersama keluarga, aku ingin bekerja bersama teman-temanku, aku ingin bertemu lagi dengan teman-teman lamaku setelah pandemi usai, aku ingin menemukan teman hidup, aku ingin membaca lebih banyak buku, aku ingin pergi ke tempat baru! Edinburgh! Aku tidak tahu alasan apa yang dimiliki orang lain, tapi aku harap kamu bisa berbahagia menjalani hidup.

"Tidak apa, orang yang tidak memiliki bayangan tidak bisa memahami cahaya."

Akhirnya, kalimat di bagian penutup buku ini adalah kalimat yang benar-benar menyentuhku. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang aku rasakan, tapi aku paham dengan kalimat di atas. Dan ajaibnya, aku merasa lebih baik. Buku ini, bukan hanya untuk penulis (halaman 190, paragraf terakhir), tapi juga untuk aku; berisi harapan. Dan seperti apa yang aku baca dari artikel Greater Good ;

“If you lose hope, somehow you lose the vitality that keeps moving, you lose that courage to be, that quality that helps you go on in spite of it all.”―Dr. Martin Luther King Jr.

("Jika Anda kehilangan harapan, entah bagaimana Anda kehilangan vitalitas untuk terus bergerak, Anda kehilangan keberanian, kualitas yang membantu Anda melanjutkan terlepas dari itu semua." Dr. Martin Luther King Jr.)

selama harapan masih ada, maka aku masih bisa melanjutkan hidup. Dan harapan tidak cukup tanpa keberanian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar