Selasa, 12 Juni 2012

Pagi Kuning Keemasan

“Aku ingin mencintaimu seperti pagi…”

“Ndra! Hati-hati!”

Teriakan Wulan menghentikan aktifitas memotretku dan membuatku sadar kalau aku hampir terjatuh saat mencoba memanjat batu granit yang berada di tepi pantai ini. Pulau Lengkuas, sebuah pulau yang terletak di arah Utara Tanjung Binga kali ini menjadi tempat kami berpetualang. Pantainya sangat indah, hasil perpaduan dari pasir putih yang terhampar di pulau ini dan air laut yang jernih. Pepohonan hijau yang memagari pantai pulau ini juga membuat pulau ini semakin indah.

“Hehe… maaf, Lan. Keasikan motret,” kataku sambil membentuk huruf V dengan jariku, tanda berdamai.

“Ck, ceroboh…” gerutunya lalu menarik tanganku agar segera menjauh dari batu-batu granit tersebut. Wajahnya benar-benar terlihat kesal saat ini, aku jadi merasa sedikit bersalah. Memang salahku yang selalu tidak hati-hati karena terbawa suasana saat memotret dan Wulan tahu itu. Karena itu ia selalu bersikeras untuk ikut denganku ke manapun aku pergi saat kantor sedang libur. Walau sebenarnya aku yang lebih ingin memaksa dirinya untuk berada pada setiap petualanganku.

“Ayo ke mercusuar saja. Kau tak ingin kehilangan kesempatan untuk memotret saat matahari terbit kan?” Lamunanku terhenti saat Wulan menggandeng tanganku, menuntunku melewati perairan dangkal yang tadi kulewati saat ingin mencapai batu-batu granit tersebut. Wajahnya sudah tidak kesal lagi. Ia memang penyabar dan pengertian.

Wulan memang benar, aku tak ingin melewatkan momen tersebut. Mercusuar ini memang tujuanku untuk datang ke pulau Lengkuas. Aku sempat mencari data-data tentang pulau Lengkuas dari internet dan benar-benar tertarik melihat bangunan tunggal yang berdiri di pulau ini. Aku bahkan menolak usul Wulan untuk datang saat hari sudah siang dan bersikeras untuk menginap di pulau ini karena ingin memotret matahari terbit dari atas mercusuar.

Mercusuar ini dibangun oleh Belanda pada tahun 1882 dan masih berfungsi dengan baik. Katanya, kita bisa melihat semua pemandangan di pulau ini dari mercusuar tersebut. Dan benar saja, aku benar-benar terpesona saat tiba di lantai paling atas dari mercusuar ini. Mulutku membuka secara sempurna saat melihat kekayaan alam yang ada di hadapanku.

“Luar biasa,” kataku lalu mulai memotret. Walaupun saat ini matahari belum muncul, tapi keindahan yang dimiliki oleh pulau ini sudah mulai terlihat. Tapi tentu saja hal terindah yang pernah kulihat ada di sisiku, dan saat ini ia sedang tersenyum seiring cahaya keemasan yang mulai menerangi pulau ini.

“Cantik, ya.” Refleks, aku mengatakan hal tersebut saat melihat wajah Wulan yang tersenyum. Secara sembunyi-sembunyi memotret satu senyuman lagi yang akan bergabung dengan potret dirinya yang lain.

“Iya…” katanya tak sadar bahwa maksudku adalah dirinya dan bukan keindahan alam yang kami lihat.
Matahari mulai terbit dari arah Timur Pulau Lengkuas. Dan saat kehangatan matahari menyelimuti kami berdua, sekali lagi aku tahu bahwa aku tak pernah salah memilih seseorang yang akan selalu kutempatkan di urutan terawal. Seseorang yang kuibaratkan sebagai pagi yang akan mengawali hariku. Seseorang yang selalu membuatku merasa beruntung karena memilikinya. Seseorang itu Wulan, istriku.

“Terima kasih sudah menemaniku dalam petualangan yang baru lagi…” aku menyelipkan jemariku di sela-sela jemarinya, dan aku selalu merasa bersyukur karena jemari itu tak akan pernah menolak.

“Sama-sama, Ndra.”


“… karena pagi adalah awal. Pagi kuning keemasan.”



posted from Bloggeroid

2 komentar: