Selasa, 04 September 2012

A Letter from a... Stalker

“@You : @He Dia memang hiatus dari sini, tapi dia ga pernah hiatus nge-stalk.”

Dia mengerjapkan matanya perlahan, membiasakan diri dengan sinar matahari yang masuk dari ventilasi kamarnya dan tanpa kasihan menyerang indera penglihatannya. Pagi kelima di bulan September, masih dengan rasa gerah yang diberi musim panas, dia memutuskan untuk menghabiskan waktunya di rumah saja hari ini. Dengan posisi yang masih meringkuk dengan selimut yang sudah tak beraturan posisinya, dia mulai meraba-raba di sekitar tempat tidurnya, lalu tersenyum.

“Dapat...” dia berkata dengan suara yang masih serak, suara khas yang dimiliki seseorang yang baru saja bangun tidur, lalu mulai mengutak-atik benda itu. Sebuah handphone.

Masih dengan mata yang masih mengantuk, dia menekan-nekan handphone layar sentuhnya lalu membuka akun jejaring sosial miliknya. Matanya tertuju pada icon search lalu hendak mengetikkan sebuah username, namun kemudian tangannya berhenti... dia mengurungkan niatnya.

Semestinya dia harus berhenti setelah kejadian semalam kan? Harusnya dia membiarkan pemilik username itu merasa tenang setelah kepergiannya kan?

Tapi dia tak bisa berhenti untuk peduli pada orang itu, sejak perhatian yang diberikan orang itu saat dia mencari pertolongan. Bagaimana bisa pura-pura tak peduli pada orang yang peduli pada dirinya?

***
Sebulan yang lalu...

__@Xxxxx_xx : Mood...

Dia mengetik secara asal dan menunggu tulisan itu muncul pada linimasanya. Hari ini sekali lagi menjadi hari yang kacau, tekanan datang terus-menerus pada
Real Life-nya dan bagian dirinya yang pengecut tak bisa berkutik, memilih untuk berlari ke linimasa itu lagi. Dia tahu kalau tindakannya yang satu ini tak akan memberikan solusi baginya, dia harus berhenti dan melanjutkan ‘hidup yang nyata’ tapi begitulah. Dia tersesat dan sulit mencari jalan untuk kembali.

Dia butuh pertolongan.

Dia mengetikkan sesuatu lagi untuk linimasa tersebut, memanggil orang-orang yang dianggapnya sebagai orang terdekat yang dia miliki di linimasa tersebut. Tak ada respon, sepertinya mereka sedang tak berada di sini.

Namun tiba-tiba sebuah notifikasi muncul pada layar
handphone-nya. Ada pesan yang masuk dari Y, ‘virtual’ daddy-nya.

Lalu dia mulai bercerita, tentang tekanan yang ada, tentang dia yang tak tahu bagaimana cara mengontrol dirinya untuk tak kembali ke linimasa itu. Dan dia merasa tenang, Y ada untuknya. Y mendengar. Y mau menolong.

Masa hiatusnya dimulai... dia pergi sejenak dari linimasa itu berkat bantuan Y... namun saat itulah, karir
stalker-nya dimulai.

***
A Letter from a Stalker

Rabu, 05 September 2012

Dear, You.


Aku tahu saat ini kau merasa bingung dengan mention confess
yang datang pada waktu yang hampir bersamaan. Itu aku, ya, pasanganmu benar. Namun, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin menyapamu dari tempat di mana aku tak bisa berperan menjadi virtual daughter-mu (lagi).

Kau tahu kan kalau aku adalah stalker
-mu? Aku pernah mengakuinya dan sepertinya kau tidak peduli dengan itu. Jadi aku terus melanjutkan “Role” itu. Aku hanya ingin memastikan kalau orang-orang yang kusayangi di sana baik-baik saja. Salah? Aku tidak tahu... sampai kemarin.

Aku akan menjelaskannya satu-persatu.

Berubah? Aku tak menginginkanmu berubah menjadi power ranger
atau semacamnya, maksudku tak sedangkal pikiran orang-orang yang merespon kalimat tersebut. Aku ingin kau menjadi orang yang lebih tenang, bisa menjaga emosimu. Tidak, aku tidak menginginkanmu menjadi orang lain. Ya, aku tahu aku tidak punya hak untuk menasehatimu. Hanya saja aku kecewa mengapa kau selalu menyelesaikan semuanya dengan emosi. Emosi tak pernah berujung pada solusi.

You can shine in your own way
. Kau masih ingat pembicaraan kita tentang Nebula? Awan berpijar yang terbentuk dari bintang yang mati? Aku masih ingat bagaimana diriku dengan sengaja mengacuhkan sapaan pasanganku dan memilih untuk mengobrol denganmu. Salah satu tujuan awalku datang ke linimasa tersebut karena ingin menceritakan kisah itu pada orang lain, agar mereka tahu bahwa kegagalan bukan akhir. Aku tahu aku terlalu percaya diri saat itu, memberi semangat padamu padahal aku sendiri sedang terpuruk. Tapi aku senang bisa membagi ceritaku untukmu. Tetap berusaha untuk bersinar ya, aku juga sedang berusaha...

Is it okay if I stalk you?
Mungkin kau tidak tahu, tapi ini adalah judul lagu. Lagunya lucu sekali, seseorang merekomendasikannya padaku saat aku bercerita tentang karir stalker-ku.

Mengapa aku mengirimkannya padamu? I don’t know, I just sent it.


Mengapa aku seolah meminta ijin padamu? Itu bukan kalimat konyol, tapi sekarang sepertinya itu menjadi ucapan perpisahan. Aku tak sempat berpamitan saat pergi kan? Ah, lagipula kau tak berada di manapun saat aku pergi. Bagaimana aku bisa berpamitan?

Dan tepat seperti perkiraanku, kau salah menebak siapa pengirimnya. Kau hanya berhasil menebak 1 dari 3, tapi tak apa... aku jadi belajar satu hal.

Seorang stalker
tak akan pernah mendapat tempat di hati dan pikiran orang yang di-stalk__ olehnya. Orang yang mereka perhatikan hampir setiap hari tak akan pernah menyadari keberadaan mereka, dan saat mereka memberanikan diri untuk muncul ke permukaan... yang mereka dapat lebih sering tak sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Mereka bahkan tak lebih dari angin yang melewati orang yang mereka perhatikan.


“Is it okay if I stalk you? I just want to make sure you’re okay...

And behaving while I am away.

Is it okay if I stalk you? Don’t mind me I won’t get in the way...

And although I’ll see you everyday,

You won’t see me...” - Tripod, Is it okay if I stalk you.

Dad... I’ve got the answer now... It’s not okay if I stalk you, so...I’m sorry, Thank you and... Goodbye. :)


Sincerelly,

Ex-virtual Daughter, Ex-stalker.

--------------------------------------------------------------------

Dia menghela nafas perlahan, mengarahkan kursor pada icon 'sent'. Semuanya sudah selesai.

Bagian dari cerita "The Role" http://kekacauansementara.blogspot.com/2012/09/the-i-left-now.html
posted from Bloggeroid

2 komentar: