Selasa, 27 November 2012

갇혀

"Merindukan dunia itu di masa yang dulu? Aku lebih merindukan hidupku sebelum mengenal dunia itu." - Anonim


Ia tersenyum menatap kalimat yang baru saja diketiknya itu, bukan ide aslinya sebenarnya namun hanya kalimat yang pernah ia baca.
'Kita lihat bagaimana tanggapan linimasa ini?' Ia menantang dirinya sendiri dalam hati, tidak peduli apakah yang datang adalah kawan ataupun lawan. Ia menerima kritik. Tapi sesuai dugaannya, kawanlah yang Ia dapat. Ungkapan setuju datang kepadanya, dan Ia tahu ada juga yang mengiyakan dalam diam.
Masih menimbang apa yang harus dilakukan, Ia kemudian meminum teh dari cangkir putih yang sudah tak mengepulkan asap karena terlalu lama dibiarkan. Hampir saja Ia menyemburkan minuman dari mulutnya walau bukan karena mencecap sedikit rasa pahit karena butiran gula yang sepertinya kurang. Dengan tatapan tak percaya Ia menatap sebuah nama yang muncul dengan tiba-tiba di linimasanya yang masih terus bergerak.
"Kau kembali..." katanya. Ia kembali meneguk teh dalam cangkir putihnya, kali ini dengan alis yang saling bertaut.

"Apakah seorang manusia bisa benar-benar pergi dari kehidupan seseorang?"
"Kurasa tidak, memangnya kau ingin pergi dari kehidupan siapa?"
"Kenapa kau menanyakan hal yang sudah kauketahui? Aku ingin pergi dari hidupnya, baik yang nyata maupun tidak."


Kalimat dari masa lalu kembali berputar dalam otaknya. Rasa-rasanya Ia ingin menghakimi pemilik nama tersebut atas kata-kata yang pernah diucapkannya. Namun alih-alih melakukan niat tersebut, Ia memilih untuk menekan opsi untuk keluar dari linimasa itu.
Ia memijat bagian belakang lehernya dengan mata masih terpaku pada layar yang tak lagi menampilkan linimasanya. Ia tak berjemur di terik matahari atau bekerja rodi seharian, tapi semua hal yang ada di dunia kecil antah berantah yang baru saja dilihatnya membuatnya pening bukan kepalang.

"Dunia ini adalah dunia fantasi. Jangan pernah membawa rasa, jika kau terjebak jangan katakan aku tak pernah memperingatkan," kata malaikat yang membawakan undangan ke dunia fantasi dengan penekanan jelas di setiap kata.
"Aku hanya butuh inspirasi, aku terlalu dewasa untuk larut dalam fantasi."

Ia menghela nafas panjang sambil memeluk erat guling biru yang sedari tadi ada di samping kanannya. Entah siapa yang harus Ia salahkan; apakah sang pengantar undangan, apakah sang pemilik nama yang menarik pusat fantasinya, ataukah dirinya yang mengizinkan pesona sebuah negeri antah berantah merasuk perlahan dalam realita kehidupannya yang semula statis namun rasional.
Suara getaran terdengar, membuatnya melirik malas ke arah ponsel hitam yang menyala. Dengan enggan dia mengulurkan tangan mengambilnya lalu mengernyitkan dahi menatap nama yang mengirimkan sebuah pesan pendek.
"Aku tak bisa ke sana malam ini. Tolong jaga dia untukku, sepertinya dia ada masalah."
"Tsk, aku malas ke sana. Kau tahu kan moodku jelek akhir-akhir ini. Bisa-bisa aku mengamuk padanya," ketiknya cepat-cepat untuk membalas pesan pendek tersebut. Ia sedang tidak ingin kembali ke 'dunia' itu, apalagi harus menemani pemilik nama yang Ia hindari tersebut.
'Apa orang itu sedang terlalu sibuk berkencan entah dengan siapa lagi kali ini sampai harus memintaku yang melihat ke sana? Atau apa mungkin dia bermaksud mengejekku? Atau mungkin saja memang benar ada sesuatu yang terjadi... Bagaimana jika orang itu benar-benar sedang ada masalah?' Ia bertanya dalam hati kemudian menggelengkan kepalanya, tahu kali ini Ia tak boleh membiarkan dirinya terhanyut dalam sebuah rasa. Dengan tenang Ia memutuskan koneksi, mematikan layar di depannya dan membawa ponselnya sebelum menghempaskan diri ke tempat tidur, berusaha memejamkan matanya. Namun apa yang terjadi dalam lima menit berikut membuatnya membeku. Kini yang ada di hadapannya adalah layar ponsel yang menampilkan pertanyaan untuk seseorang di dunia itu. Ingin rasanya Ia menghantamkan kepalanya ke dinding, melihat betapa lima menit barusan meruntuhkan tekadnya sepuluh menit yang lalu.

"Kau baik-baik saja?"

Ya, itulah kalimat yang muncul di linimasanya kini, kalimat yang dengan bodohnya Ia kirimkan untuk pemilik nama tersebut. Belum sempat ia menenangkan diri karena kebodohan yang baru saja Ia lakukan, ponselnya bergetar lagi.

"Terima kasih, jaga dia malam ini."

'Hahaha...' Ia tertawa dalam hati saat membaca isi pesan singkat tersebut.

Ia -seperti pemilik nama tersebut- juga ingin pergi dari kehidupan seseorang. Karena itulah Ia hanya bisa membalas pertanyaan yang muncul di masa lalu dengan pertanyaan yang lain. Ia juga tidak tahu caranya pergi... dari pemilik nama yang menanyakan hal yang sama.
"Aku hanya butuh inspirasi, aku terlalu dewasa untuk larut dalam fantasi," ia mengulang kalimat yang dulu Ia katakan dengan percaya diri kemudian tersenyum kecut. 'Sekarang kau tertampar oleh kata-katamu sendiri kan, diriku?' sebuah suara muncul dari dalam dirinya dengan nada mengejek, 'bahkan orang dewasa sepertimu juga bisa dipermainkan oleh fantasimu sendiri,' kata suara itu melanjutkan.
Ia melemparkan ponsel hitamnya begitu saja setelah sesak yang bukan karena penyakit terasa di dadanya, berusaha kembali memejamkan matanya namun Ia melihat wajah-wajah yang berkelebat cepat di benaknya.
Ada pemuda tampan tanpa pengalaman yang disangka keturunan iblis, seniman bersuara indah yang menghilang secepat Ia datang, kuda bersayap jelmaan seorang pangeran yang terlihat menikmati kebahagiaan walau sering mengeluh karena terbelenggu, kakak-beradik dari desa tetangga yang selalu menyapa, malaikat pengantar undangan dan bidadari api yang sering berselisih tanpa diketahui seisi negeri serta ksatria berpedang yang berusaha berani untuk menatap matahari. Awalnya semua damai setidaknya sampai Ia datang, namun setelah ia pergi sekali, semua berubah. Kadang ia harus menjadi kurir, tak jarang Ia menjadi penengah dan sekarang Ia yang merasakannya.
Saat semua menjerit meminta waktu melangkah mundur ke waktu di mana kedamaian dunia antah berantah itu masih ada, Ia juga meneriakan hal yang sama sampai sebuah tulisan membuatnya tersentak.

"Merindukan 'dunia' itu di masa yang dulu? Aku lebih merindukan hidupku sebelum mengenal 'dunia' itu."

Ia tahu saat itu akan tiba, saat di mana opini seseorang bisa menamparnya sewaktu-waktu. Ya, Ia ingin kembali memutar waktu saat 'dunia' itu masih berjalan sebagaimana mestinya, seperti pesta topeng. Tapi ada hal yang lebih penting dari semua itu, kehidupannya yang nyata.
Ia sadar waktu tidak akan bisa kembali, hidupnya tak akan sama lagi karena ia sudah mengenal 'dunia' itu. Cerita masih harus dilanjutkan, peran masih harus dimainkan. Ia tidak mau menyakiti seseorang yang membutuhkannya di dunia itu.
Besok pagi ketika ia membuka matanya, Ia akan kembali memakai topeng-topeng miliknya dan membiarkannya kembali terhisap dalam lubang hitam menuju dunia antah berantah, menikmati bagian perannya. Mungkin nanti Ia akan merutuki kelemahan tekadnya, tapi setidaknya malam ini, inilah keputusan yang diambilnya. Mungkin bukan sepenuhnya karena Ia lemah tapi dunia itu yang terlalu kuat mencengkeram.
"Apakah seorang manusia bisa benar-benar pergi dari 'kehidupan' seseorang?"
Sepertinya sulit...

-----------

Kolaborasi dengan "Malaikat pembawa undangan."
posted from Bloggeroid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar