 |
Credit to : www.shutterstock.com |
“Kau tak akan pernah tahu kapan cinta datang
dan menetap dalam ruang kecil di hatimu,
Sampai akhirnya ruang tersebut terlanjur
menjadi semakin besar.”
“Aku akan menjemputmu di kantor…”
Kalimat yang dibacanya lewat
pesan pendek yang dikirim pria yang akhir-akhir ini mondar-mandir dalam
hidupnya membuat Diandra mendengus. Kalau saja pesan singkat tersebut dibacanya
beberapa hari yang lalu, saat Tian belum mengakui kebohongannya, mungkin
Diandra akan tersenyum sepanjang hari sampai ia berhasil bertemu dengan Tian.
Namun sekarang semuanya berbeda. Sekarang Diandra malah membenci pria itu
setengah mati dan sempat bersumpah untuk tidak bertemu dengan Tian lagi.
Namun Diandra selalu lemah
dengan hal-hal yang berhubungan dengan Tian. Ia malah mengiyakan saat Tian
berkata ia akan datang ke kantornya.
Diandra merogoh dalam isi tas kerjanya dan menemukan headphone. Seperti
yang sudah-sudah saat sedang stress, ia pasti akan mendengarkan musik. Perlahan
sebuah lagu mengalir di kedua telinganya.
Aku tak bisa membencimu
Aku anak yang cengeng
Kau berpura-pura tidak tahu
Oh, caramu licik, kan?*
Sekelebat bayangan melintas dalam pikirannya. Pria itu, pria yang selama
ini mengaku sebagai pengagum rahasianya sejak masa SMA, ternyata tak lebih dari
seorang pembohong.
“Pria itu pembohong, Diandra…
Lupakan dia…” batinnya terus menyuarakan kalimat yang sama. Namun seperti
kaset rusak yang selalu mengulang bagian yang sama, ingatan tentang pria itu
terus berputar dalam pikirannya. Tanpa disadarinya pria itu sudah mendominasi
sebagian besar ruang di hatinya. Otaknya ingin membuang jauh-jauh ingatan
tentang Tian, tapi ia tahu hatinya tak berkata seperti itu.
Ingatan Diandra kini beralih pada kejadian setahun yang lalu. Reuni
sekolah yang diadakan setelah lima tahun kelulusan mereka yang berhasil
mempertemukannya dengan pria itu lagi. Saat itu Diandra baru saja pulang dari
kantor dan Vera dengan teganya berhasil menyeret Diandra untuk ikut dalam reuni
itu. Walau sebenarnya Diandra merasa tak perlu ikut.
Satu tahun yang lalu…
“Eh, lihat di sana!”
Sepasang mata milik gadis yang
mengenakan blazer biru muda itu mengikuti arah yang ditunjuk oleh sahabatnya,
lalu akhirnya memiringkan kepalanya sambil memasang tampang bosan, seolah sosok
yang dipandanginya tadi tak menarik sama sekali. Di ujung sana berdiri seorang
pria dengan penampilan ala pegawai kantoran namun saat ini kemejanya sudah
digulung ke atas sehingga memberi kesan yang lebih santai. Pria itu, Tian,
sepertinya belum bisa menanggalkan status pria pujaan yang disandangnya semasa
sekolah dulu. Terbukti dari gerombolan wanita yang berdiri di sekelilingnya dan
secara terang-terangan menunjukkan ketertarikan mereka pada pria tersebut.
“Kamu masih ngefans sama dia? Ya
ampun, Vera! Sudah berapa tahun sejak kita lulus SMA dan kamu masih tetap suka
sama Tian? Ternyata kamu nggak berubah, ya…” gadis berblazer biru muda itu
menatap sahabatnya Vera dengan tatapan tak percaya, sementara Vera hanya bisa
membalasnya dengan sebuah dengusan. Hari ini mereka memang sedang menghadiri
reuni yang diadakan oleh SMA mereka, dan Vera – entah bisa dikatakan beruntung
atau tidak – akhirnya bisa bertemu lagi dengan senior yang sempat diincarnya
dulu semasa mereka masih sekolah.
“Aku nggak habis pikir bisa-bisanya
ada cewek yang nggak ngefans sama si Tian. Dasar Alien!”
“Dan Alien itu sahabatmu, kan?”
Lagi-lagi Vera mendengus saat
mendengar balasan dari sahabatnya – yang menurutnya lebih pantas disejajarkan
dengan kaum Alien – sambil menggelengkan kepalanya. Sahabatnya Diandra memang
seperti itu. Saat semua gadis di SMA mereka dulu belomba-lomba untuk merebut
perhatian Tian, Diandra malah tidak ingat siapa Tian itu. Yang ia ingat adalah
ia memang pernah bertemu satu kali dengan Tian di ruang guru saat hari pertama
ia pindah ke SMA mereka. Tian sedang dimarahi bersama seorang murid laki-laki
lain karena berkelahi dan Diandra tak begitu peduli untuk mengingat wajah Tian
beserta murid lain yang ada di sebelahnya. Hari-hari selanjutnya sama saja.
Diandra lebih memilih untuk menuju perpustakaan sekolah di saat Vera dan gadis-gadis
lainnya dengan hebohnya menyoraki Tian saat jam istirahat. Cara yang berhasil
untuk tidak mengingat wajah pria pujaan gadis satu sekolahan. Ia baru tahu
siapa itu Tian saat hari kelulusan dan Tian diundang untuk maju ke depan untuk
menerima penghargaan karena prestasinya di bidang olah raga.
“Ya, sudah. Aku pergi dulu, ya?”
Diandra beranjak dari meja tempat ia dan Vera duduk tadi, hendak melangkah ke
arah pintu. Namun belum sempat ia melangkah lebih jauh, Vera sudah menarik
tangannya lalu menatapnya dengan pandangan curiga.
“Jangan bilang kamu masih
penasaran sama pengagum rahasia yang selalu memasukkan surat ke dalam tas kamu
waktu kita masih SMA! Kamu mau nyari dia sekarang, kan?” Vera memicingkan
matanya sambil menatap Diandra lekat-lekat.
“Siapa bilang? Aku harus pulang,
Bodoh. Kasihan Mama di rumah sendirian,” Diandra tersenyum kecil pada
sahabatnya itu lalu melangkah lagi ke arah pintu. Pesta mungkin masih panjang,
tapi ia tahu ada sosok yang lebih penting yang tengah menunggunya saat ini. Ia tak
bisa berlama-lama meninggalkan Ibunya sendirian di rumah. Terakhir kali Diandra
meninggalkan Ibunya untuk tugas luar, Ia malah mendapati Ibunya yang meringkuk
di tempat tidur sambil memeluk bingkai foto keluarga dan masih menggunakan baju
yang sama seperti saat Diandra berpamitan.
Sebenarnya dugaan Vera tak sepenuhnya keliru, Diandra memang masih
penasaran dengan pengagum rahasianya itu. Ia pun sempat menoleh ke arah taman
yang dulunya sempat ditulis dalam surat yang dikirim oleh pengagum rahasia itu
sebagai tempat pertemuan mereka. Tapi sayangnya baik hari saat perjanjian itu
dilakukan, hingga reuni sekolah mereka setelah lima tahun terlewati, Diandra
bahkan tak pernah bisa melihat bayangan pria tersebut.
Bus yang dinaikinya melaju menembus kelap-kelip lampu kota yang mulai
bermunculan seiring datangnya malam. Bulan yang masih bersembunyi di balik awan
membuat Diandra bertanya-tanya; sedang bersembunyi dari siapakah bulan itu?
Tapi belum sempat pertanyaannya terjawab, bus tersebut sudah terlanjur berhenti
pada halte dekat rumahnya. Poster-poster yang ditempel di tiang halte beberapa
bulan yang lalu kini sudah berganti dengan poster yang baru. Ditimpa begitu
saja pada tempat yang sama hanya karena poster tersebut sudah tidak menarik dan
mulai terkelupas. Begitulah, yang lama, yang sudah tak berharga dan terlihat
jelek sesegera mungkin akan digantikan oleh sesuatu yang baru. Sungguh
menyedihkan jika ada manusia yang memiliki pola pikir seperti itu, tapi
sayangnya itulah yang terjadi dalam keluarganya. Ayahnya pergi meninggalkan
Ibunya karena tergoda pada wanita lain yang umurnya lebih muda. Apakah Ayahnya
akhirnya masuk dalam kumpulan manusia yang berpola pikir seperti di atas?
Sepertinya, iya.
Diandra baru saja menutup pintu
rumah ketika ia menangkap sebuah sosok wanita paruh baya yang tertidur di sofa
dari sudut matanya. Ia bisa melihat bekas air mata yang belum mengering di pipi
Ibunya. Sebuah bingkai foto berada dalam pelukannya, sebuah foto keluarga.
“Ma…” Ia mengusap pipi Ibunya
secara perlahan lalu mengambil posisi duduk pada lantai sambil merebahkan
kepalanya di atas sofa. Ia bisa melihat kerutan di wajah Ibunya yang menua pada
jarak sedekat itu. Sudah lewat empat tahun sejak peristiwa itu terjadi, namun
Ibunya belum bisa merelakan Ayahnya yang berselingkuh dengan wanita lain.
Diandra menatap Ibunya lagi lalu membiarkan matanya yang mengantuk
menutup begitu saja. Satu hari yang sibuk berhasil dilewatinya lagi. Entah apa
yang akan dibawa oleh hari esok, ia tak mau memikirkannya.
***
Diandra adalah tipe orang yang tak suka membuang-buang waktu untuk
melakukan hal yang tidak penting. Bagi orang lain mungkin dunia ini seperti
sebuah taman bermain, tapi baginya? Dunia ini adalah medan perang. Tak ada
waktu untuk bersantai-santai.
Tapi akhirnya Diandra yang begitu menghargai waktu harus rela membuang
beberapa menit berharga dalam hidupnya dengan mematung karena sebuah surat yang
menyembul dari kotak posnya pagi ini.
Dear Diandra,
Aku tak pernah menyangka bisa bertemu denganmu lagi setelah
sekian lama. Dulu aku sempat berpikir bahwa tak ada lagi kesempatan bagiku
untuk mengejarmu lagi, tapi saat aku melihatmu sosokmu di malam reuni itu, aku
tahu aku tak bisa mundur lagi…
“Apa maksud…” ujar Diandra lalu membolak-balik
surat tersebut dengan wajah bingung. Ia tak menyangka pengagum rahasia yang
dulu selalu menyisipkan surat ke dalam tasnya kini beraksi kembali. Bedanya
saat ini ia langsung menyambangi rumah Diandra dan menyelipkan suratnya ke
dalam kotak pos.
Diandra masih sibuk
membolak-balik surat tanpa nama pengirim tersebut dan tak menyadari kehadiran
seseorang yang telah berdiri di depannya.
“Diandra?”
Diandra terkesiap mendengar
namanya disebut. Dan saat ia mengangkat kepalanya, seorang pria telah menatap
dirinya dengan tatapan penuh minat. Kalimat selanjutnya yang keluar dari mulut
pria itu malah menambah kekagetannya.
“Akhirnya aku menemukan
rumahmu.”
Pria itu Tian.
***
“Ruang di hati ini… Hanya tersedia untuk
satu nama saja.”
“Kopi?” Tian menyodorkan segelas kopi yang dibelinya dari mesin minuman
di kantor Diandra. Sudah sepuluh menit ia berada di situ, tapi Diandra
sepertinya belum mau membuka mulutnya sama sekali.
Ia tahu ini sepenuhnya
kesalahannya. Dirinya tak bisa berpikir jernih saat Diandra dengan bersemangat
bertanya padanya tentang pengagum rahasia yang dulu sering menyelipkan sebuah
surat ke dalam tas Diandra dan langsung mengaku sebagai pengagum rahasia itu.
Padahal hari itu ia hanya ingin melihat rumah Diandra saja dan berpikir tentang
cara mendekati gadis tersebut. Diandra memang berbeda dengan gadis lainnya.
Entah kenapa Tian tak pernah mendapat celah untuk mendekati Diandra. Bahkan
sampai hari kelulusannya, ia tak pernah berhasil untuk mengajak Diandra
berkenalan.
“Diandra… Maaf…” Tian masih
berusaha membujuk Diandra, tapi Diandra tak bergeming. Diandra terus menatap ke
arah lain dan tak mau menatap Tian.
“Kamu tau, kan? Aku benci dibohongi…”
Tian mengangkat kepalanya lalu menyadari sorot mata Diandra yang
menghunjam padanya.
“Ya, karena itu…”
“Kamu juga tau, kan? Bagaimana pria itu… Papaku… mengkhianati Mama?”
Tian tak bisa menemukan kata-kata untuk membela dirinya. Diandra benar,
hatinya sudah terlalu sakit untuk menerima kebohongan lagi. Tapi Tian tak bisa
melepas Diandra begitu saja.
“Diandra…” Tian meraih sepasang
tangan milik Diandra ke dalam genggamannya, “lihat ke dalam hatimu. Kamu pasti
tau apa yang lebih penting.”
“Aku nggak tau… sama sekali
nggak tau…”
Keheningan merayap di antara
mereka. Tian memilih untuk menatap langit yang mulai gelap dari jendela kantor
Diandra sedangkan Diandra mulai menyesap kopi yang dibelikan oleh Tian tadi.
aroma Latte memenuhi ruangan saat Diandra membuka tutup dari gelas plastik
tersebut.
“Berjanjilah…” Diandra membuka
mulutnya setelah kopi dalam gelasnya habis, “berjanjilah untuk menjadi diri
sendiri mulai sekarang. Berhenti menggunakan embel-embel pengagum rahasia itu.
Cintai aku sebagai Septian Rajasa, bukan yang lain…”
Binar kebahagiaan muncul di mata
Tian. Ia dan Diandra memang tak pernah bertengkar dalam jangka waktu yang lama,
tapi ia tak menyangka kalau Diandra bisa memaafkannya kali ini.
“Kira-kira apa yang akan terjadi
besok, ya?” Diandra memutar posisi duduknya lalu menatap langit yang memerah
saat senja tiba.
“Entahlah… Tapi sepertinya semua
akan baik-baik saja bila kita melewatinya bersama.”
Tian menggenggam tangan Diandra
dengan lembut lalu ikut menatap langit di luar sana. Matahari mulai menghilang
di kaki langit. Ia tak peduli tentang apa yang akan dibawa oleh hari esok,
namun ia tahu ruang di hatinya hanya ada untuk Diandra.
Buktikanlah cinta ini
Dan kita berdua kembali membicarakan tentang
masa depan
Menghabiskan setiap hari tanpa peduli.*
Ya, semua akan baik-baik saja
bila mereka bersama.
***
“Ada surat.”
Tian mengikuti arah yang
ditunjukkan oleh telunjuk Diandra lalu melihat ujung amplop yang menyembul dari
kotak pos. Mereka baru saja pulang dari kantor Diandra dan tiba-tiba dikagetkan
oleh sebuah surat yang berada dalam kotak pos dengan ciri-ciri yang sama dengan
yang sering dikirimkan oleh pengagum rahasia itu.
“Coba lihat apa lagi yang dia
tulis sekarang?” Tian menarik surat tersebut dengan tidak sabaran lalu membaca
isi surat tadi bersama Diandra. Dan mata mereka melotot hampir bersamaan saat
membaca nama pengirim yang tertera di bagian akhir surat itu.
"Hah?!"
***
“Believe… Love will find a way.”
Seorang anak kecil bersayap tersenyum saat melihat sepasang manusia
berlainan jenis terkejut menatap surat terakhir yang diletakkannya di kotak pos
gadis tersebut.
Dear Diandra dan Tian,
Aku sempat ragu saat mendapat tugas untuk menautkan benang
merah di antara kalian. Apa kalian tahu? Sudah lama aku melihat benang merah antara
kalian yang selalu menegang layaknya terkena sengatan listrik ketika kalian
berpapasan. Tapi sayangnya entah kenapa benang tersebut tak kunjung bertaut.
Aku tak tahu apa yang salah, sepertinya seluruh prosedur sudah kulaksanakan
dengan benar.
Aku mulai menulis surat untuk Diandra. Aku tahu mungkin ini
agak konyol. Mana mungkin Cupid mengirim surat untuk manusia? Tapi begitulah,
aku sudah putus asa dengan ketidakpedulian antara kalian berdua, jadi aku
memilih untuk menempuh cara ini.
Jadi, selamat! Akhirnya kalian menjadi pasangan. Aku berharap
hubungan kalian akan awet (aku menjamin keawetan hubungan kalian. Aku Cupid,
ingat?) sampai seterusnya.
Selamat berbahagia, Diandra dan Tian. Tetaplah untuk saling
menjaga cinta dalam ruang di hati kalian.
Sincerely,
Cupid
"Yang benar saja! Surat ini dari Cupid?!"
Anak kecil bersayap itu tersenyum saat mendengar namanya disebut lalu
terbang menjauh dari dua manusia tadi. Akhirnya pasangan yang selama ini begitu
sulit untuk disatukannya kini bisa saling mencintai dan ia sangat bahagia saat
melihat benang merah antara keduanya saling bertaut dengan erat. Sepasang
manusia berhasil menemukan takdirnya lagi. Who’s
next?
Note : * : Lirik lagu YUI – a room