Kau
masih duduk di situ, di beranda rumahmu. Dengan wajah tak sabaran kau
menanti-nanti. Aku bertanya, ‘Apakah aku
yang kau tunggu?’ Tapi aku tahu itu adalah hal yang tak mungkin.
Lalu hujan turun. Awalnya hanya
rintik, tapi kemudian berubah menjadi deras. Raut wajahmu kini berubah menjadi
masam. Aku tahu bahwa kau tak membenci hujan, kau malah menyukainya karena kau
bisa melihat pelangi setelah hujan reda. Tapi tentu saja kau lebih menyukai senja,
yang selalu kau nantikan setiap harinya. Namun hari ini senja itu harus tiada
karena hujan, dan pelangi sepertinya tak bisa menghiburmu.
Dengan
kecewa kau berbalik lalu berjalan menuju pintu. Aku ingin berteriak, ‘Tunggu!’ tapi seperti biasanya… nyaliku
terlalu kerdil untuk melakukan hal tersebut.
Dan seperti yang sudah-sudah, saat
hujan turun di kala senja, aku menatap ke arah langit dan merapalkan sebuah
mantra dalam hatiku. Hujan berhenti, kau tersenyum, dan aku bahagia karena bisa
mewujudkan keinginanmu. Akhirnya kau tak melewatkan sebuah senja lagi hari ini.
Lalu diapun muncul, keluar dari
rumahmu. Merebut tempat yang berada di sisimu yang seharusnya menjadi milikku,
namun kenyataan tak selalu sama dengan apa yang kita harapkan. Sisi di sampingmu
adalah miliknya.
“Melihat
senja lagi?” aku mendengar dia berkata padamu sambil menyandarkan kepala di
bahumu. Hal yang selalu dia lakukan saat menemanimu menikmati senja setiap
harinya. Yang berarti tambahan satu torehan lagi pada hatiku.
“Ya,
untung tadi hujannya cepat reda…” katamu sambil tersenyum, dan kalian kembali
menikmati senja sama seperti hari sebelumnya.
Dan
kau tak pernah tahu tentang aku… Tak akan pernah tahu. Karena kau akan selalu
mencintai langit senja dan tak akan pernah menyadari pelangi pada langit yang
sama, yang tersamar oleh senja.
Pelangi
itu, Aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar