Uap yang
mengepul dari gelas di hadapanku mulai menghilang. Hampir tiga puluh menit aku
menanti di tempat ini, untuk seseorang yang bahkan tak ku ketahui rupanya. Modalku
hanyalah sebuah nama, Ridwan, yang tak sengaja terucap dari mulut Ayah saat
bertengkar dengan Ibu dua hari yang lalu. Tapi sepertinya sekarang aku tak bisa
menyebutnya Ayah lagi, karena nyatanya ia bukan Ayah kandungku.
Aku merogoh
saku celana lalu mengeluarkan handphone. Sebuah nomor telepon –yang ku duga sebagai
nomor wartel- tertera di panggilan masuk. Telepon yang masuk tepat sebelum jam
makan siang dan membuatku mengambil keputusan untuk pergi ke sebuah warung pinggir
jalan yang menyajikan kopi tubruk sebagai menu satu-satunya. Merasakan jenis
kopi ini saja tidak pernah. Palingan untuk soal kopi aku lebih memilih minum
kopi di café. Tapi begitulah, demi seseorang yang tak ku kenal aku memilih
untuk datang di tempat yang sama sekali asing bagiku serta memesan minuman yang
tak pernah ku teguk.
Sungguh hebat.
Waktu
jam makan siang kantorku mulai habis, sama seperti kesabaranku. Namun saat aku
hendak beranjak dari tempat ini, sebuah tepukan dari belakang menghentikan
langkahku.
“Mengapa kau tak menyentuh kopimu?”
Aku berbalik dan menatap sosok
pria berpenampilan lusuh yang tadi menepuk pundakku. Jenggotnya yang dibiarkan
tumbuh begitu saja mengingatkanku pada sosok teroris yang sempat muncul di TV. Tapi
ku rasa orang ini bukan teroris atau semacamnya.
“Aku sedang tidak berselera,”
jawabku pendek, mengisyaratkan bahwa aku tak ingin melanjutkan pembicaraan ini
dan akan segera pergi. Tapi sepertinya pria ini belum ingin berhenti bicara
denganku.
“Biar ku tebak, kau pasti belum pernah
meminum kopi di emperan seperti ini. Pilihanmu pasti lebih pada jenis kopi
mahal yang dijual di tempat yang jauh lebih bagus…” katanya lagi, kali ini
sambil tersenyum. Dan aku hanya bisa menganggukkan kepala saja.
“Begitulah manusia, kita akan
selalu memilih yang terbaik. Seperti halnya memilih kopi...”
Ia melanjutkan, “Seringkali orang
mengira bahwa kopi yang mahal, yang namanya bagus, pasti rasanya tak sebanding
dengan kopi murah seperti ini. Padahal sebenarnya tidak begitu…” katanya lagi
sambil mengulurkan gelas kopi yang ku tinggalkan tadi. Aku pun menerimanya lalu
meneguk kopi yang sudah dingin itu secara perlahan. Enak, pasti akan lebih enak
jika diminum saat masih panas.
Seakan mengerti dengan
ekspresiku, pria itu tersenyum.
“Setiap manusia berhak untuk
memilih. Sekarang kau mengerti, kan?” dengan senyum yang belum hilang dari
bibirnya ia berujar kepadaku lalu berjalan keluar dari tenda warung kopi tubruk
ini. Meninggalkanku yang masih bertanya-tanya maksud perkataannya tadi.
“Sudah untung aku tidak membiarkanmu jatuh miskin sama si Ridwan itu.
Anakmu dengannya juga mau aku anggap anak sendiri!”
Sebaris kalimat yang diucapkan
Ayah saat bertengkar dengan Ibu terngiang di telingaku, lalu berganti dengan
ucapan pria tadi tentang kopi tubruk yang dijual di emperan dan kopi yang
mahal, dan mendadak aku mengerti.
Segelas
kopi tubruk dingin yang baru kuminum setengah, seakan menjelaskan semuanya. Dan
aku yakin, pasti akan ada hari selanjutnya. Akan ada kopi tubruk yang bisa ku
nikmati selagi panas. Akan ada pertemuan lain. Akan ada…
akhirnya agak ngegantung gini >.<
BalasHapusIya, tam. --a
HapusBingung soalnya. Mau dipanjangin, jadinya malah cerpen. :p
Dibikin lebih pendek. Kyknya ada yg kurang. --a
Itu hampir pas 500 kata *bts ff* :p