Rabu, 29 Februari 2012

Cinta di Musim Dingin

            “Jika bisa, aku tidak ingin memikirkan kesedihan
Tapi hal itu akan datang lagi, kan?”
                Natsu menatap salju yang turun dari balik jendela taksi yang dinaikinya. Hari ini ia harus meninggalkan semuanya, tepatnya mengembalikan sesuatu yang dari awal memang bukan miliknya. Belum-belum ia sudah merindukan kota ini, bagaimana ia bisa menghadapi kesepian yang akan muncul sedikit demi sedikit? Namun seiring dengan taksi yang mulai berjalan, demikian pula ia harus rela melepas kenangan manis yang dialaminya di kota ini.
                “Selamat tinggal…” ia memberikan lambaian terakhir pada deretan gedung yang mulai menjauh lalu meraih ear phone yang tergeletak di sisinya. Perlahan sebuah nada mengalun di telinganya. Lagu yang sama, lagu yang mereka sukai. Apakah mereka bisa mendengarkan lagu ini bersama lagi? Ia tidak tahu…
***
Awal musim dingin, di sebuah taman di Tokyo…
                Salju pertama baru saja mulai menyelimuti kota Jepang ketika Natsu melebarkan tangannya dan menghirup udara di sekelilingnya dengan bersemangat. Demi memenuhi permintaan saudara kembarnya, Yuuki, akhirnya ia kembali menapaki kota kelahirannya yang sudah ditinggalkannya selama tujuh tahun.
“Hanya selama liburan musim dingin...” begitulah yang dikatakan oleh Yuuki ketika memohon pada Natsu untuk kembali. Natsu memang tak bisa menolak setiap permohonan Yuuki, jadinya ia langsung menyanggupi permohonan tersebut.
                Ia baru saja berniat ingin berlama-lama bermain di dalam salju, ketika sebuah suara yang asing menyebut nama yang seharusnya bukan ditujukan untuknya.
“Yuu-chan?”
Natsu berbalik, menatap pria berkaca mata yang tersenyum kaku di hadapannya. Syal berwarna abu-abu terlihat sangat cocok dengan mantel putih yang digunakannya saat ini. Membuat pria itu terlihat lebih berkilau.
“Ya?”
                Kebohongan pertama sudah dimulai.
***
“Beruntung sekali, ya? Kita bisa melewati malam Natal bersama-sama lagi. Untung kau tidak jadi berlibur ke Paris,” Yuujiro tersenyum sambil menyesap Espresso yang masih panas. Senyumnya yang tak lagi kaku seperti tadi membuat Natsu sadar kalau pria ini tak tahan terhadap udara dingin.
Ia terus berceloteh sejak pertama kali mereka bertemu. Bahan obrolannya seakan tak ada habisnya. Ia bercerita tentang Ibunya yang tiba-tiba datang ke apartemennya yang kacau –Yuujiro langsung diomeli akibat tumpukan pakaian kotor yang tak dicucinya selama beberapa bulan–,  tentang nilai mata kuliahnya yang lulus secara ajaib, dan hal-hal lainnya yang menurut Natsu tak penting untuk didengarkan. Ia heran bagaimana bisa Yuuki yang pendiam bisa bertahan dengan pria secerewet Yuujiro. Kalau saat ini Natsu sedang menjadi dirinya sendiri, mungkin ia akan meladeni ocehan pria ini. Tapi menjadi Yuuki yang kalem berarti ia harus sebisa mungkin mengubah semua kelakuannya menjadi semirip Yuuki.
Awalnya ia berpikir berakting menjadi Yuuki adalah hal yang mudah. Ia hanya tinggal menyanggupi permintaan Yuujiro untuk kencan di hari-hari selanjutnya, menghabiskan waktu di taman bermain dan tempat lainnya yang menjadi tempat favorit bagi Yuujiro dan Yuuki, serta hal-hal lain yang biasa mereka lakukan.
Tapi ternyata semuanya tidak mudah. Terlalu sering berada di sisi pria ini dan bergandeng tangan dengannya membuatnya merasakan hal yang lain. Cinta, sesuatu yang tak masuk dalam perjanjian antara Yuuki dan Natsu. Tapi ia tak bisa berbohong. Ia mencintai pria ini, dan ia berharap musim dingin kali ini akan lebih panjang dari biasanya.
***
            “Aku akan pulang besok, Na-chan!” seru Yuuki dari telepon yang berada di telinga Natsu.
“Kau… Pulang?” sahut Natsu terbata saat mendengar teriakan Yuuki.
“Tentu saja! Memangnya kau berharap aku tak akan kembali menjadi Yuuki?”
Rasanya Natsu ingin menangis saat itu juga. Kenangan musim dingin yang dilewatinya bersama Yuujiro seakan berjalan mundur di kepalanya. Akhirnya kebohongan ini harus diakhiri.
“Aku sudah memesan tiket ke London untukmu. Terima kasih ya, Na-chan… Banyak yang ingn kuceritakan tentang liburanku, tapi sayangnya kau juga harus segera pulang, kan?”
            Perkataan Yuuki barusan membuat Natsu tersadar. Musim dingin akan segera berakhir dan itu artinya ia harus segera kembali ke London untuk melanjutkan kuliahnya.
“Ya… Sayang sekali ya, Yuu-chan…”
            Sayang sekali, hanya itu yang bisa dikatakannya. Sayang sekali ia menyanggupi untuk ikut dalam sandiwara ini. Sayang sekali ia harus mengenal Yuujiro. Sayang sekali… ia jatuh cinta.
***
Akhir musim dingin, Bandara Narita…
            Natsu menghirup udara di sekitarnya sebanyak-banyaknya. Ia ingin merasakan atmosfer Negara ini sebelum ia benar-benar meninggalkannya. Secercah harap muncul dalam benaknya, ia berharap mungkin saja Yuujiro akan berlari ke arahnya, menerobos warna-warni manusia dengan koper di tangan mereka, lalu memeluknya erat. Tapi saat ia berbalik lagi, tak ada sosok Yuujiro yang muncul di hadapannya.
            Yuujiro sudah menjadi milik Yuuki lagi.
            Kecewa, hanya itu yang dirasakannya saat ini. Ia lalu menyeret kopernya untuk beranjak menuju pesawat, tapi sebuah suara membuat langkahnya berhenti seketika.
“Natsu! Jangan pergi!” Sosok seorang pria berlari ke arahnya lalu langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya.
“Yuujiro? Kenapa? Yuuki…”
“Dari awal aku dan Yuu-chan hanya bersahabat. Apa kau tak tahu? Kami memang sering menghabiskan waktu bersama-sama, tapi itu bukan kencan. Namun denganmu… kurasa itu lain cerita. Aku mencintaimu…”
            Selamat tinggal hari-hari di musim dingin. Hari-hari saat aku menjadi orang lain. Selamat datang musim yang baru… selamat datang, cinta…

Senin, 27 Februari 2012

Serenade



Hei, kamu.

Aku tahu sosok yang selalu ada di matamu bukan aku. Tapi aku sudah terbiasa dengan ini, berpura-pura. Perlu kujelaskan seberapa banyak dusta yang kulakukan pada diriku sendiri? Dusta yang kubuat supaya aku tetap tegar di hadapanmu yang tak pernah menganggapku?
Tapi aku tak pernah bisa berhenti memikirkanmu. Kamu, yang selalu memesan secangkir Latte sejak pertama kali aku melihatmu. Apa kau tahu? Potret dirimu yang menghirup aroma yang menguar dari cangkirmu adalah momen terbaik dalam hidupku.
Aku tak bisa memikirkan bagaimana jadinya hidupku tanpamu, jadi bisakah aku menghentikan monolog ini dan menggantinya menjadi dialog antara aku dan kamu?
***
"Aku sering memikirkanmu…waktu tidak berhenti bagiku
Hatiku yang kosong masih belum bisa menemukan perasaanmu
Aku ingin mendengar “lagu cinta”-mu, Aku memandang wajahmu
Aku ingin mengenalmu, karena Aku telah bertemu denganmu”*
                Aku menyanyikan sebait lagu di bawah jendela itu. Jendelamu. Dan yang kunanti-nantikan terjadi, kamu membuka jendelamu, menatap diriku yang sedang berserenade untukmu. Kamu menatapku bingung dan bertanya.
“Apa yang kau lakukan?”
                Nyanyianku terhenti, tatapan bingungmu sudah berubah menjadi tatapan marah. Belum sempat kuungkap semua, kau sudah menutup jendelamu, dan kurasa jendela hatimu juga ikut menutup.
“Apa perbuatanku ini salah?” aku berteriak ke arah jendelamu. Tak ada jawaban. Apa tak ada kesempatan lagi untukku?
                Tapi tiba-tiba jendelamu terbuka lagi. Baru saja sebuah harapan muncul dalam hatiku, kau sudah menghancurkannya lagi.
“Pulanglah…” kau berkata dengan mimik yang datar lalu sekali lagi menutup jendela tersebut.
“Kumohon berikan Aku sayap dan percaya bahwa,
hanya dengan lagu ini,
Aku bersumpah
Aku telah memutuskan untuk menerima semua masa lalu…”*
                Bait terakhir dari Serenade yang tak sempat kesenandungkan untukmu berputar-putar dalam pikiranku. Kurasa belum saatnya monolog ini berhenti.

Note : * : Lirik lagu YUI – LOVE & TRUTH

Minggu, 26 Februari 2012

Nebula


'Kacau.'
Cermin yang menggantung di depan Sasha seakan berkata kepadanya. Rambut yang acak-acakan serta bagian bawah matanya yang menghitam membuat ia merasa ngeri saat melihat sosok dirinya yang terpantul di cermin.
"Kau gagal..."
Sebuah suara berseru dalam pikirannya. Ya, ia memang gagal dalam mengikuti ujian masuk ke sebuah perguruan tinggi. Sasha masih ingat bagaimana ekspresinya saat membaca pengumuman yang dimuat hari ini di sebuah surat kabar. Namanya memang ada, tapi bukan pada jurusan yang diinginkannya. Yang bisa ia lakukan selanjutnya hanya mengurung diri dalam kamar, mematikan lampu dan menangis di sudut kamar sambil memeluk kedua lututnya. Menyedihkan memang, tapi begitulah kenyataannya.
Lagi-lagi Sasha bergidik saat melihat tampilan dirinya di cermin, lalu memutuskan untuk menjauh saja dari benda persegi itu. Ia lalu beranjak ke arah jendela, dan membiarkan angin malam memenuhi kamarnya yang gelap. Sebuah bintang yang redup menarik perhatiannya. Ahh... Dirinya seperti bintang itu, redup. Sementara yang lainnya bercahaya dan berhasil meraih apa yang mereka inginkan, ia malah terkurung dalam kamar ini, memikirkan masa depan yang sama redupnya dengan cahaya bintang yang dilihatnya sekarang.
"Apa yang harus kulakukan, bintang?" katanya bertanya-tanya. Ia mengacungkan telunjuk kanannya ke atas, menulis kata 'future' di udara lalu menatap langit dengan sendu.
"Sha... Mama masuk ya?" tiba-tiba terdengar suara dari balik pintu, diikuti dengan bunyi pintu yang dibuka secara perlahan. Dan tanpa disadarinya Mamanya sudah berdiri di sebelahnya lalu bergabung untuk menatap bintang di atas sana.
“Kau lihat bintang yang redup itu? Mungkin kau mengira kalau itu adalah bintang. Tapi sebenarnya bukan, itu adalah Nebula, awan yang bercahaya dan sering dikira sebagai bintang,” ujar Mamanya sambil menunjuk bintang redup –yang ternyata adalah Nebula- yang sedari tadi ditatap oleh Sasha.
Mamanya melanjutkan, “Nebula bisa terbentuk karena kematian sebuah bintang. Bintang baru yang tak cukup kuat untuk melewati tahap sebelum ia menjadi bintang yang sebenarnya akan hancur menjadi segumpalan kabut dan terbentuklah Nebula. Tapi lihatlah, walau bintang tersebut sudah mati, ia masih berusaha untuk memberikan sinarnya dengan menjadi Nebula. Walau cahayanya redup, yang penting ia sudah berusaha untuk mengerahkan sisa cahaya yang dimilikinya untuk menerangi malam…”
                Sasha menatap Mamanya, kemudian mengerti arah pembicaraan ini. Dirinya saat ini mungkin seperti bintang baru yang gagal untuk menjadi bintang yang berkilau seperti bintang yang lain. Tapi ia tahu, ia masih bisa menjadi Nebula. Ia masih bisa berusaha lagi untuk memberi cahaya yang ia punya.
“Masih ada kesempatan lain,” kata Mamanya sambil mengelus puncak kepalanya dengan lembut, dan itu menenangkan hatinya. Ia akan berusaha lagi.
“Jangan menyerahKita pasti bisa meraih kejayaan yang bersinar itu…”*
                Ya, ia tak akan menyerah. Ia akan mulai lagi. Dan suatu hari nanti ia yakin, ia tak akan hanya menjadi Nebula. Ia akan berubah menjadi bintang yang berkilau. Suatu hari…


Note : * : Penggalan lirik YUI - GLORIA

Sabtu, 25 Februari 2012

Ramalan


                Lala memandang langit yang terbentang di atasnya melalui sela-sela jari miliknya. Langit pada pukul 04.30 benar-benar masih terlihat gelap, padahal sebentar lagi fajar akan segera tiba. Ia selalu menyukai aktivitas tersebut. Mengendap-endap ke atas loteng di saat semuanya sudah terlelap, lalu merebahkan tubuhnya ke atas genting yang keras dan mulai menebak nama rasi bintang yang tertangkap oleh matanya.
Kali ini ia ingin berlama-lama menghitung bintang sampai bosan, namun ia tak akan pernah tidur. Karena ia takut, kalau matanya tertutup nanti, bisa-bisa ia tak akan pernah bangun lagi. Dan semuanya karena ramalan sial itu.
1 bulan yang lalu…
                “Ayo ke stand peramal!” teriak Lala bersemangat pada Sonya. Mereka baru saja memasuki liburan semester, dan hari ini mereka memutuskan untuk menghabiskannya di salah satu taman bermain di kota mereka.
                “Kau percaya pada hal seperti itu?” tanya Sonya dengan tatapan tak percaya. Namun saat ia melihat binar yang muncul pada mata Lala, ia hanya bisa menurut saja saat Lala menarik dirinya menuju antrean di depan sebuah tenda tempat seorang wanita tua dengan penampilan eksentrik menebar kartu tarotnya di atas meja.
                Antrean tersebut tak cukup panjang, Lala dan Sonya mendapat giliran setelah menanti selama kurang lebih 15 menit. Lalu tiba-tiba hal aneh terjadi. Peramal tersebut seperti kerasukan saat Lala duduk di hadapannya. Ia lalu menarik sebuah kartu, menatap Lala dari sudut matanya yang memerah, dan berbisik…
“Kau akan mati… sebulan dari sekarang…” bisiknya lalu membanting sebuah kartu tarot bertuliskan ‘Death’ ke atas meja.
                Lala menggelengkan kepalanya keras-keras saat ingatan tersebut hinggap lagi di pikirannya. Hari ini adalah sebulan setelah peristiwa tersebut, dan kalau ia tak salah ingat, peramal tersebut berkata ia akan mati di saat dua jam sebelum matahari mencapai posisinya yang paling tertinggi. Yang berarti pukul 10 pagi.
“Apakah tak ada kesempatan untuk merubah ramalan tersebut?” Lala bertutur pada udara kosong di depannya, walau ia tahu semuanya sia-sia saja.
                Tiga puluh menit sudah lewat sejak pukul 04.30, angin dingin yang berhembus membuat Lala mulai mengantuk.
‘Kau tak boleh tidur, Lala! Kau tak boleh mati!’ batinnya berseru. Tapi rasa kantuknya tak bisa ia lawan. Matanya terpejam tepat saat bintang-bintang yang dilihatnya mulai menghilang. Apakah bintang tersebut akan kembali esok? Ia tak tahu.
***
                “Lala… Bangun…”
                Sayup-sayup terdengar sebuah suara memanggil namanya. ‘Apakah aku sudah berada di surga?’ ia membatin. Saat ia membuka mata, cahaya yang menyilaukan menyerang kedua matanya. Ia melihat langit, mendengar kicau burung bersahut-sahutan, lalu suara deru mobil.
                Tunggu! Mana mungkin di surga ada mobil?
                “Lala! Bangun! Mau sampai kapan tiduran di atas genting?”
Tiba-tiba Lala tersadar lalu bangun dari tempat ia terbaring tadi. “Itu suara Ibu!” teriaknya kemudian berlari mendapatkan Ibunya yang sedang sibuk menyiram tanaman di halaman rumah. Ia sempat melirik ke arah jam dinding di ruang tamu lalu berteriak semakin keras saat jam itu menunjukkan pukul 10.23.
“Aku masih hidup, Bu! Aku masih hidup!” seru Lala sambil memeluk Ibunya.
                Ramalan tersebut ternyata keliru. Tak ada manusia yang bisa menebak tentang masa depan, karena takdir tak bisa diprediksi. Hari esok tak ada yang tahu… it’s happy line.

Jumat, 24 Februari 2012

Wanita Tua

Wanita tua menatap langit dalam diam
Entah merenung, ataukah meratapi
Pada mentari yang lenyap di kala petang

Lalu…

Wanita tua tersenyum
kepada laut yang terlihat dari jendela
Lemah… ia bersenandung, berlomba dengan suara jangkrik
yang kian nyaring memecah malam

Kemudian…

Wanita tua menggerakkan kursi rodanya
Menuju sebuah papan luncur yang berdebu di sudut kamar
Sendu… ia menyentuh guratan yang membekas di sana
Pikirnya bertanya, bisakah guratan ini bertutur?
Karena seandainya bisa… semoga ia berkata, “Jangan menangis.”

Namun…

Wanita tua akhirnya menangis
Meluapkan segala pedih
Telah lelah memeluk sosok yang hanya bisa dimilikinya
saat petang tiba, saat ia bermimpi

Dan akhirnya…

Wanita tua hanya bisa merindu
Pada sosok yang menghilang seiring terbenamnya mentari
Wanita tua hanya bisa menyesal
Karena sepasang tangan yang saling mengucap perpisahan
Wanita tua hanya bisa berserah
Akan jemari yang tak akan pernah bisa digenggamnya

Wanita tua itu… Aku

Rabu, 22 Februari 2012

Warna Kebohongan


Kenapa kau tidak mengatakan apapun?
Aku bilang, “Jika ini kebohongan, maka hentikanlah.” YUI - Swing of Lie

Awalnya aku tak tahu seperti apa warna dari sebuah kebohongan. Tapi kini kebohongan itu nyata di depanku. Warnanya biru.
"Kita mau makan di mana, nih?" Ya, kebohongan itu tidak hanya memiliki warna, tapi juga bisa berbicara bahkan bermanja. Kalau saja sosok yang berada di sampingnya bukan kamu, aku pasti tak akan merasa semuak ini.
"Terserah kamu saja, Sayang..." katamu sambil mempererat genggaman kalian. Ada senyuman yang jujur dari bibirmu, senyum yang dulu sempat kau beri untukku tapi kini sudah menguap entah ke mana.
Sejak kapan aku terhimpit di tengah-tengah seperti ini? Atau mungkin aku bahkan tak berada di antara kalian, malah sudah didepak keluar dari cerita ini. Hanya bisa menduga-duga, aku benci dengan keterbatasan seperti ini.
Kalian masih larut dalam bumi yang kalian ciptakan. Kalian bahkan tidak menyadari saat aku berjalan ke meja kalian dan siap menampar dirimu. Namun, ternyata kebohongan tak hanya memiliki satu warna. Kali ini bahkan lebih variatif, ada warna kuning lalu hijau, bahkan ada gambar tokoh kartun di atasnya.
"Papa! Mama!" anak kecil itu menghambur ke arah kalian, kamu dan gadis dengan terusan biru itu, lalu kalian tertawa bersama.
Awalnya aku tak tahu seperti apa warna dari sebuah kebohongan. Tapi hari ini kamu menunjukkan berbagai warna untukku.
Kurasa aku tak butuh warna yang lain lagi.

Selasa, 21 Februari 2012

'Memasak'

Minestrone

                Sierra mengecek persediaan bahan makanan yang masih tersisa. Ia berencana untuk memasak Minestrone1 untuk makan malam, tapi persediaan tomat, wortel, buncis, dan jagung di kulkasnya sudah habis.
“Sepertinya aku harus pergi berbelanja…” gumam Sierra sambil mengusap-usap dagunya tanda sedang berpikir. Setelah menimbang tentang membeli bahan makanan yang kurang untuk membuat Minestrone atau membuat makanan lain dengan bahan yang tersedia, akhirnya Sierra pun menenteng keranjang belanjaannya lalu bergegas menuju Quickmart yang berada di seberang rumahnya.
                Kehangatan musim semi menyambut Sierra saat ia melangkah di jalanan sekitar kompleks rumahnya. Dedaunan yang bergerak mengikuti tiupan angin begitu enak dipandang mata. Jalanan pun terlihat lenggang, artinya ia tak perlu banyak-banyak menghirup asap kendaraan bermotor yang berpotensi merusak paru-parunya. Di kejauhan terlihat danau yang berada di taman kota yang sedang dipenuhi oleh orang-orang yang sedang asyik memancing. ‘Hmm… Mungkin aku akan memancing hari minggu nanti,’ kata Sierra dalam hati.
Akhirnya sebuah gedung bercat kuning dan beratap merah menyambutnya. Buru-buru ia membeli semua bahan makanan yang dibutuhkannya, lalu kembali ke rumah.
“Minestrone… Minestrone… Malam ini makan Minestrone…” Sierra bernyanyi asal di perjalanan menuju rumah. Ia terus bernyanyi sampai akhirnya ia tiba di depan kompor dengan panci di tangannya.
                “Ayo memasak!” serunya bersemangat.
***
‘Your Sim failed to get a skill increase.’
“Ahh! Sial!” Sierra berteriak sambil membanting handphonenya di atas kasur.
“Kenapa kamu?” tiba-tiba Ibunya muncul di balik pintu dengan tampang kaget. Jelas saja ia kaget, mana ada anak gadis yang teriak-teriak tengah malam begini.
Sierra nyengir, diraihnya handphone yang tergeletak di atas kasur lalu menunjuk ke arah layar benda tersebut dengan tampang bersalah.
“Lagi main game The Sims, Ma. Hehe…” katanya sambil terkekeh.
“Kamuuuuuuuuu…! Yang benar saja… Anak gadis teriak-teriak malam begini! Bikin seisi rumah bangun! Ternyata cuma gara-gara game! Sini hp kamu Mama sita!” omel Mamanya lalu merebut handphone yang berada di genggamannya. Tamat sudah riwayatnya.
Dan akhirnya Sierra hanya bisa memasang tampang kesal, seperti Sim2 dalam game di handphonenya yang kesal karena Minestronenya hangus.


Note : Minestrone : Sup kental asal Italia yang dibuat dengan sayuran, sering dengan penambahan pasta atau nasi.
Sim : Istilah dalam game The Sims untuk tokoh yang dimainkan. Dalam cerita ini, Sierra menamai Simnya sesuai dengan namanya.

Senin, 20 Februari 2012

Survive...



“Kusangka angin kan terus lembut berhembus
Saat langkah ini tersesat dalam kota yang asing
Tapi ternyata… Badai tak pernah mengenal kata permisi.”

                Aku menatap bangunan putih yang berdiri megah di depanku. Hari ini aku harus meninggalkan tempat ini, tempat yang sejak dulu menjadi saksi bisu atas proses diriku menuju kedewasaan. Bunga berwarna-warni yang tumbuh di sekelilingnya bergerak tertiup angin, entah ingin memanggilku kembali atau mungkin malah mengucapkan selamat tinggal.
                Ya, hari ini aku harus meninggalkan rumah ini. Hatiku masih terasa sakit bila mengingat bagaimana kami sekeluarga diusir secara tidak hormat oleh pihak pengadilan yang akan menyita rumah kami. Pakaian kami dilempar begitu saja keluar, Ibuku bahkan sempat ditampar oleh salah satu dari pihak penyita itu. Mengapa ini semua harus menimpa keluargaku?
                Selama ini hidup kami baik-baik saja. Ayah yang bekerja sebagai pejabat pemerintah tak pernah terkait kasus apapun. Beliau juga terkenal dengan sikapnya rajin beramal. Sampai akhirnya media masa mencantumkan nama Ayahku dalam salah satu oknum yang terlibat dalam sebuah kasus korupsi.
                Tak ada yang tahu tentang kebenaran hal tersebut karena Ayah terlanjur pingsan karena terkenan serangan jantung. Sudah dua bulan beliau dirawat di rumah sakit. Sementara kasus itu terkatung-katung, orang-orang yang tak tahu apa-apa itu malah menyita seluruh asset milik keluargaku dan kami pun tiba-tiba menjadi semelarat ini.
                “Sabar ya, nak. Semua pasti ada jalan keluar…” Ibuku terlihat menenangkan adik perempuanku yang menangis sambil memeluknya. Jalanan terlihat begitu ramai, aku sudah lupa berapa banyak kata maaf yang kuucapkan pada orang-orang yang kutabrak karena berjalan sambil melamun. Aku benci untuk mengatakan hal ini, tapi pernahkah kau merasa untuk lebih merasa kasihan terhadap hal lain dibanding kasihan pada anak kucing yang dibuang? Ya, aku benci untuk mengatakan hal ini, karena percaya atau tidak aku lebih memilih untuk merasa kasihan pada diriku yang sekarang.
***
                “Lalu apa rencanamu sekarang?” Gea menyeruput es jeruknya sambil menatap ke arahku. Hari ini aku memutuskan untuk menceritakan semua keluh kesahku pada Gea. Tapi kurasa Gea tak banyak membantu, ia malah membuatku tambah pusing saja.
                “Aku tidak tahu. Apa kau tak bisa mencarikanku pekerjaan?” kataku sambil memelas.
                “Kau tahu aku tak punya banyak koneksi.”
                Kami berdua sama-sama menghela nafas panjang. Aku menyesal telah melibatkan Gea dalam masalahku. Bukankah yang tertimpa masalah adalah keluargaku? Kenapa aku malah memintanya untuk sama-sama merasa pusing memikirkan jalan keluarnya.
                “Lucu ya… bagaimana takdir mempermainkan kita. Kemarin aku masih bisa bersantai denganmu di mall. Makan di restoran mahal, membeli barang-barang bermerk dan menghambur-hamburkan uang orangtuaku. Tapi lihatlah yang terjadi hari ini. Aku miskin…”
                Keheningan yang cukup panjang terjadi di antara kami. Otakku menangkap sebuah potret bahagia yang tersimpan dalam memoriku. Aku bersama keluargaku tertawa sambil menanti pergantian tahun di taman rumah kami. Adik-adikku tertawa dan berlari kesana-kemari. Ahh… andai saja semuanya bisa kembali lagi.
                “Kau tahu, seharusnya kau tak boleh hanya duduk di sini dan mengeluh…”
                Perkataan Gea tiba-tiba terasa menusuk. Apa maksudnya? Kenapa ia seperti tak peduli dengan penderitaanku?
                Kupikir ia akan berhenti sampai di situ, tapi ternyata tidak. Ia melanjutkan, “Kau bukan Rapunzel. Kau bukan putri yang hanya bisa menanti seorang pangeran menyelamatkan dirimu yang terperangkap dalam menara yang dijaga oleh seekor naga. Kau harus berusaha untuk bangkit dan maju. Jangan mau ditertawakan oleh takdir…”
                Aku terperangah mendengar perkataan Gea. Ia benar, aku tak boleh seperti ini. Aku tak boleh mengeluh.
“Inilah hidupku, aku yakin akan baik-baik saja.
Kuulangi kata-kata ini di hatiku.”*
Hidupku sepenuhnya berada di tanganku. Takdir tak boleh mempermainkanku. Asalkan aku berusaha, pasti ada jalan. Aku percaya akan hal itu. Aku percaya...

Note : Lirik lagu YUI - It's My Life